Lihat ke Halaman Asli

Ama Kewaman

Penulis Lepas

Perempuan Tanpa Nama

Diperbarui: 3 November 2021   08:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Ama Kewaman 

Senja di akhir minggu ini datang lagi dengn guyuran hujan yang lebat. Aku sediri saja berjalan-jalan di hamparan pasir yang basah. Langkahku meninggalkan bekas-bekas kaki yang tertinggal diatas pasir yang basah dan laut yang surut.

Senja jatuh perlahan-lahan dan menghilang dibalik bukit. Bayang-bayang pohon kelapa yang tidur di genangan laut semakin memudar. Burung-burung laut berterbangan di langit senja tanpa mengepakan sayapnya, mengingatkan aku akan pertemuanku dengan seorang wanita di sebuah kota yang ramai dengan hiruk pikuk masyarakat yang serba hedonis, dan di antara lorong pembatas tokoh masuk ke perumahan warga.

***

Beberapa tahun silam di kota itu, semua peristiwa itu terjadi. Ketika itu aku baru pulang dari kampus. Karena hujan deras aku berteduh di emperan tokoh. Pada emperan tokoh yang lainnnya berdiri seorang perempuan tinggi mengenakan tas kecil, sweater yang lembab dan rambutnya terurai berantakan di bahu karena habis dikeramas air hujan yang belum berhenti ini. Ia masih berdiri berpayung telapak tangannya setelah keluar dari dalam angkot karena hujan masih merembes membasahi emperan tokoh itu. Sudah barang tentu kami yang berteduh di emperan tokoh tidak diperbolehkan untuk masuk karena pintu masuk tokoh itu telah diberi pembatas.

Aku memberanikan diri menyeberangi hujan, berpindah ke emperan tokoh tempat di mana perempuan itu berteduh. Sudah tentu dengan maksud untuk berkenalan dengannya. Hujan perlahan-lahan mulai redah dengan sisa-sisa gerimis yang masih berjatuhan di langit senja. Pelangi datang dengan segala keindahannya sebelum hujan benar---benar berakhir dengan sempurna. 

Meski sudah berada disampingnya dengan badan setengah basah, aku merasa sedikit gemetar. Bukan karena dinginnya hujan tetapi seperti ada desakan dari dalam tubuh seperti gejolak jiwa yang tunduk pada hati dan pada padangan pertama. Lidahku kaku, mulutku sulit untuk berucap. Aku menoleh kearahnya sesekali untuk mengajaknya bicara namun apa daya aku tak mampu.    

Senja menghilang di kaki langit yang muram meninggalkan sisa-sisa gerimis yang menawarkan datangnya pelangi untuk bumi. Fortmat formasi pelangi yang indah terbentang di seperempat khatulistiwa. Langit senja mekar dan merona dalam rupa yang begitu indah. Perempuan itu mengurai rambutnya yang masih basah dan dibagian ujungnya butir-butir air masih bergelantungan bagai embun di dahan subuh.

Aku melihat matanya sejurus tertuju pada senja yang mekar dengan pelangi senja yang dihiasi gerimis yang belum benar-benar berhenti itu. Kudapati ekor matanya melirik ke arahku sebelum akhirnya malu-malu berpaling muka memandang pelangi. Ia berpaling dengan sedikit senyum tersungging pada bibirnya seperti malu pada dirinya sendiri atau malu pada diriku.

Ia melangkah keluar dari emperan tokoh setelah berpamitan denganku. Ia melepaskan tasnya dari bahu dan memayungi kepalanya dari gerimis yang tersisa dari hujan dan genangan hujan dimana-mana  mengalir menuju selokan. 

Aku tersadar ketika salah satu sopir angkot berhenti didepan tokoh dan membunyikan klaksonnya memberi isyarat aku akan ikut dengannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline