Lihat ke Halaman Asli

Core Business : Fix, Sell, or Closed

Diperbarui: 3 Desember 2015   14:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mathias Thaib, CEO Alomet and Friends, sempat menyebut semakin besar suatu perusahaan, kian berat pula badai yang menerpa. Badai ini bukan sekedar beratnya kompetisi, melainkan ambisi cepat membesar sang pengusaha. Ambisi cepat membesar, sekalipun  dengan menepikan dan akhirnya meninggalkan core business perusahaan.

Rumput halaman rumah tetangga sering lebih hijau dari milik kita. Besaran pasar yang dimiliki “rumah” lain, sering menggoda kita untuk melakukan pengembangan yang gegabah. Acap energi yang ditumpahkan untuk “bisnis sampingan” melebihi energi untuk memutar roda-roda core business. Bukan hanya terganggunya core business, potensi kekacauan blue print bisnis pun muncul.  

Kesadaran biasa muncul, ketika “bisnis sampingan” sudah tidak semewah seperti yang dibayangkan. Sialnya, untuk kembali ke core business juga sulit. Karena seiring waktu, core competition para kompetitor pun kian meningkat.

 

Tidak Fokus Dan Gagal 

Kesalahan ini pernah menimpa Netscape, pencipta salah satu browser internet pertama dan paling populer. Sampai sekitar 1995, browser Netscape telah menjadi standar resmi bagi komputer berbasis windows. Sayangnya, ketimbang memperkuat browser, Netscape malah terfokus pada penciptaan bahasa pemrograman yang sama sekali baru. Walhasil, ketika head to head dengan internet explore-nya microsoft, Netscape mulai keteteran. Selepas dibeli America Online (AOL), per 1 Maret 2008, Netscape benar-benar ditinggalkan.

Hal serupa terjadi pada Nokia. Sebelumnya, Nokia sempat mengumumkan rencana mem-PHK 10 ribu karyawannya. Pasar gadget dan smartphone Nokia memang habis dikoyak-koyak Apple yang kesohor akan penguasaan aspek software dan hardware. Bersama Samsung, Apple kini menguasai 75 % pangsa pasar smartphone global.

Uniknya, Nokia ternyata perusahaan multinasional yang gandrung berganti core business. Nokia adalah perusahaan pengolahan kayu yang kemudian masuk ke pembangkit listrik dan akhirnya menggeluti wajah industri telekomunikasi dunia. Bandingkan dengan Apple yang sejak didirikan Steve Jobs hingga sekarang masih berpijak pada core business yang sama –produk teknologi informasi.

Trend ini juga berkembang di Indonesia. Core business PT Barito Pacific Tbk beralih dari perkayuan ke petrokimia. PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), BUMN bidang sawit dan sapi, berencana merambah sektor properti. BUMN lain pun serupa. PT Pos Indonesia bersiap membangun mal, apartemen dan hotel. Demikian pula dengan Pertamina hendak kian mengembangkan bisnis apartemen, hotel dan pusat kuliner. Bandingkan dengan Eastman Kodak dan Ford Motor Company, yang malah menjual beragam bisnis yang tidak berelasi dengan core business-nya.

Tidak Haram, Tapi Makruh

Ibarat cerai, beralih core business bersifat makhruh. Tidak dilarang, tetapi sebaiknya jangan. Ada bahaya besar di dalamnya. Misalnya, seorang dokter spesialias kulit akan membuka klinik layanan perawatan kulit. Setelah bertahun-tahun praktik sang dokter pun semakin mahir dari segi keahlian dan proses bisnis kliniknya. Jaringan konsumennya tersebar luas. Loyalitas pelanggan muncul. Layanannya pun semakin unggul.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline