Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Ibu Kartini dan Gen-Z

Diperbarui: 8 Mei 2024   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber: tribunnews.com)

IBU KARTINI DAN GEN-Z

(Sebuah Refleksi di Hari Ibu Se-dunia)

 Oleh: Alfred B. Jogo Ena

"Tahukah engkau semboyanku? 'Aku mau!' Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata 'Aku tiada dapat!' melenyapkan rasa berani. Kalimat 'Aku mau!' membuat kita mudah mendaki puncak gunung."

Kutipan di atas merupakan semboyan yang inspiratif dari RA Kartini, pejuang kebebasan perempuan Indonesia yang hari rayanya kita kenang setiap 21 April. Ibu Kartini menekankan betapa pentingnya memilih kata-kata positif dan konstruktif. Pilihan kata bisa menentukan arah dan tujuan pencapaian kita. "Aku tidak dapat, melenyapkan rasa berani. Aku mau, membuat kita mudah  mendaki gunung."

Kedua kata ini - aku tidak dapat dan aku mau - seakan mewakili kita yang sering bersikap ambigu dengan diri sendiri. Di satu sisi kita suka katakana tidak dapat, tetapi di lain sisi kita menyatakan aku mau. Dua sikap ini kadang menghambat kita untuk maju. Semboyan aku mau yang diwariskan Kartini sejatinya mengajak kita untuk selalu teguh dengan sikap diri untuk membiasakan dan menghidupi kata aku mau dalam hidup kita.

Meski peringatan Hari Kartini sudah lewat 21 April yang lalu, alangkah masih relevan jika kita masih membacanya hari ini di Hari Ibu Sedunia. Semoga inspirasi dari RA Kartini menggugah kita zaman ini, para ibu dan terutama gen-Z untuk terus membumikan semangat dan perjuangannya dalam aneka situasi kekinian.

Fasih Bahasa Belanda

R.A. Kartini yang lahir di Jepara 21 April 1879 dan meninggal dalam usia sangat muda pada 27 September 1904, adalah seorang putri pejuang emansipasi yang hebat. Meski dibesarkan dari keluarga ningrat Jawa ia berjuang agar perempuan bisa menentukan hidupnya, termasuk pendidikannya. Perempuan bukan sekedar "konco wingking", perempuan dianggap sebagai orang yang lemah sehingga harus selalu berlindung di balik atau di belakang suaminya.

Kartini, sebagai wanita cerdas dari keluarga terpandang. Ayahnya bernama Raden Mas Ario Adipati Sosroningrat, adalah Bupati Jepara masa Hindia Belanda. Karena kedudukan ayahnya, ia bisa menikmati pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar berbahasa pengantar Bahasa Belanda. Suatu kesempatan yang sangat langka dimiliki dan dilewati oleh para perempuan seumuran dia di masa itu. Namun ketika ia sudah berusia dua belas tahun, dia tidak diperkenankan untuk sekolah lagi. Karena menurut tradisi pada masa itu, anak gadis yang sudah berusia 12 tahun sudah bisa dipingit atau dijodohkan. Kartini pun mengalami nasib yang sama.

Sebagai gadis yang fasih berbahasa Belanda, Kartini rajin bersurat-suratan dengan teman-temannya di Belanda. Dan kumpulan surat-suratnya itu lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang atau yang dalam Bahasa Belanda disebut Door Duisternis tot Licht. Buku ini amat fenomenal karena dari situ kita bisa mengetahui buah-buah pikiran Kartini tentang perjuangannya untuk memajukan perempuan sebangsanya. Perjuangan Kartini begitu menginspirasi banyak perempuan Indonesia, sehingga untuk meneruskan semangat juangnya didirikan banyak sekolah Kartini di beberapa tempat seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun bahkan Cirebon.

(sumber: ternate.tribunnews.com)

Garis dan Jalan Hidup 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline