Lihat ke Halaman Asli

Hajar Alfarisy

Menulis mengabadikan masa depan

Kelahiran dan Tangisan

Diperbarui: 16 Januari 2017   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: http://www.tksdbudhaya2.info/


Kelahiran selalu ditandai dengan tangisan, tetapi bukan karena tangisan itu ia adalah suatu yang tak perlu. Tangisan dari setiap kelahiran adalah tanda adanya suatu yang baru. Karenanya tangisan selalu menjadi penanda kelahiran yang selalu ditunggu dan dicari.

Apakah memang kelahiran mesti ditandai dengan tangisan? Sering pula kita mendengar keterlepasan suatu hal yang tergenggam dari yang azali dan karena itu tangisan pecah. Mungkin untuk menemukan yang lepas itu ia harus ditemukan pula dengan tangisan.

Apa yang lebih dari soal kelahiran, muasal keadaan manusia yang menjadi sesuatu wujud. Tak luput Al-Qur’an kitab samawi merekam kisah sebelum kelahiran itu. “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, “Betul engkau Tuhan dan kami menjadi saksi”. Dialog yang bukan sekedar pertanyaan tetapi lebih dari itu; suatu perjanjian suci, karena selanjutnya Sang Pencipta menjadikan skenario logis itu dalam menolak gugatan pada-Nya kelak.

Rumi pelaku sufi, bicara pula soal negeri kelahiran dalam pepuisinya “Dan selalu kita melupakan negeri kelahiran, kecuali di awal musim semi, ketika samar samar ingat menjadi hijau lagi”. Bagi Rumi kembali ke Kota kelahiran dialami dalam kesamaran untuk menjadi hijau –laku tumbuh.  Rumi memaknai kelahiran adalah misteri nyata yang rahasia pula. Kelahiran adalah misteri yang tersamarkan. Bagi rumi kita telah terpisah dari rumpun bamboo, semisal bunyi ney – seruling adalah derita keterpisahan.

Tak luput pelaku Gnostic kristian Paolo Chelo dalam perjalanannya ke Santiago  membicarakan ihwal kelahiran itu ‘Belajarlah untuk lahir kembali agar engkau tak menyakiti dirimu’.

Kalimat yang menyihir siapa saja untuk tenggelam dalam misteri yang paling hening. Sebagai gnostik, ia menyelamkan kita pada bahasa muasal manusia, bagaimana manusia belajar mengasihi diri. Menyakiti adalah kita yang tak pernah lahir. Untuk itu, dalam rentang waktu  kita setiap saat mesti mengalami kelahiran yang baru.

Lao Tzu penganjur Taoisme, menyebut dirinya sebagai bayi yang baru lahir pula. Ia tak mampu tersenyum dan tak tau tempat kembali. Mengaggap dirinya bodoh dan tak mampu berbuat apa-apa.  Tak ada alasan lain karena ia hanya memeroleh kehidupan dari asupan Sang Ibu. Lao Tzu mengalami kelahiran baru.

Tangisan penanda kelahiran. Menjadi bayi yang tak terikat pada apa apa.  Segala yang terikat tak bisa lepas sebagaimana bayi yang  merasa butuh pada asupan hanya pada Sang Ibu. Karena itu tangisan tanda keterlepasan pada ikatan yang membelenggu dalam diri seorang bayi.

Pada tangisan tentang kelahiran ia juga merupakah sejarah ketakutan penguasa. Tangisan bayi musa menjadi penanda runtuhnya kekuasaan Fir’aun. Tangisan bayi Muhammad menjadi penanda hancurnya “berhala - hala” diri. Dan kedua tangisan itu dihalangi oleh kekusaan. Tapi bayi musa mengalir bersama aliran sungai nil mencari tempat untuk kelahiran selanjutnya. Kelahiran zaman yang baru

Dalam dunia ini, kelahiran bukan sekedar perkara yang ‘tak nyata’ soal perjanjian suci semata yang harus berhenti setelah itu. Kelahiran  adalah keadaan yang terus terjadi kemudian, perubahan menjadi yang paling‘nyata’ . Derita sekaligus kebahagiaan. Rumi, Paolo Chelo, pula Lao-Tzu memang tak menyebut ‘tangisan’ sebagai tanda menemui kelahiran. Tetapi kelahiran yang hidup mesti diawali dari tangisan dan selalu merentang sepanjang kehidupan; tangisan yang membebasakan. Tangisan adalah suara  'seorang bayi, manusia besar' yang tak membentuk bahasa, ia suara yang hanya terdengar dalam sunyi. Tangisan tanda kelahiran.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline