Lihat ke Halaman Asli

Wahyu NH. Aly: Jawaban Penentuan 1 Syawal Musti Berbeda

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini merupakan hasil dialogku, call via Hp (Jakarta-Brebes) dengan budayawan muda, Wahyu NH. Aly (Wahyu Nur Hidayat) pada malam lebaran 1432 H (Rabu, 31 Agustus 2011). Sebenarnya dialognya lumayan panjang, karena juga membicarakan hal yang lain. Namun yang berhubungan dengan penentuan 1 Syawal kemarin sepertinya hanya ini. Dialog ini sebelumnya tidak bermaksud untuk kuposting karena tidak terpikiran, akan tetapi setelah membaca dan mengikuti Kompasiana rupanya polemik seputar perbedaan hari lebaran masih hangat sehingga membuatku teringat dialog ini. Berikut hasil dialogku dengan Mas Wahyu, semoga bermanfaat.

Bagaimana pandangan Mas Wahyu mengenai perbedaan penentuan 1 Syawal?

Ya, mustinya memang begitu. Karena yang namanya waktu, itu 'kan berkaitan dengan lokasi. Jadi, perbedaan sudah suatu hal yang pasti. Kecuali, bumi itu rata dan posisi bulan dan matahari selalu tetap.

Mengapa terjadi perbedaan penentuan 1 Syawal di Indonesia?

Hahaha....

Mengenai perbedaan penentuan 1 syawal di Indonesia, kalau ditinjau secara lokasi tentunya tidak begitu berpengaruh karena perbedaannya tak sampai dengan hitungan hari. Perbedaan yang ada di Indonesia, dalam hal ini dua ormas yang paling berpengaruh, NU dan Muhammadiyah, itu lebih kepada sumber hukum dan mekanismenya. NU mengambil dasar hukum dari hadits Nabi yang bunyinya, "Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)"

Muhammadiyah juga menggunakan dalil naqli. Hanya saja sumber primer yang dipakainya berbeda dengan NU. Dalil yang digunakan Muhammadiyah, di antaranya mengambil dari Qs. ar-Rahman: 5: "Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan"

Dengan dasar liru'yatihi (melihat hilal), NU menggunakan cara rukyat dan apabila tidak bisa dirukyat maka dengan istikmal (digenapkan 30 hari). Sehingga, NU memosisikan hisab hanya sebagai alat bantu untuk menentukan kapan saat rukyatnya. Sedangkan Muhammadiyah, menggunakan mekanisme hisab hakiki yang standarisasinya wujudul hilal yang cara mengukurnya apabila sudah ijtimak atau terjadi konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari tenggelam, serta tatkala tergelincirnya matahari posisi bulan di atas ufuk.

Keduanya, Muhammadiyah ataupun NU, menggunakan dasar primer yang tidak sama karena adanya perbedaan cara pandang, perbedaan interpretasi atas dalil-dalil yang mereka pakai. Ketidaksamaan inilah yang kemudian berpengaruh atas penentuan bulan puasa, yang tentunya berkaitan juga dengan 1 syawal. Karena ada beda dasar hukum primer dan interpretasi juga, sehingga melahirkan ketidaksepadanan dalam mekanismenya, langkah-langkah dalam menentukan awal Ramadhan ataupun 1 syawal.

Kalau begitu, lebih baik mana antara rukyat dan hisab?

Keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Kalau tujuannya persatuan, seperti membuat kalender, menurut saya cukup dengan hisab. Tapi kalau tujuannya keakuratan waktu, dengan rukyat menurut saya lebih terukur namun tetap dibantu dengan hisab agar tidak ketar-ketir saat menentukan kapan melakukan rukyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline