Lihat ke Halaman Asli

Pentingnya Syariah Governance dalam Operasional Lembaga Keuangan Syariah

Diperbarui: 13 Juni 2022   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan industri keuangan syariah khususnya di sektor perbankan di Indonesia tentunya membutuhkan sistem tata kelola yang menjamin tercapainya tujuan-tujuan Lembaga Keuangan Syariah. Sistem tata kelola Lembaga Keuangan Syariah tentunya memiliki perbedaan dengan sistem tata kelola perbankan konvensional. Hal ini dikarenakan adanya keharusan bagi Lembaga Keuangan Syariah untuk memastikan terlaksananya prinsip-prinsip syariah pada seluruh produk, instrumen, operasi, praktek dan manajemen perbankan syari’ah.

Fungsi atau pentingnya Syariah Governance pada semua Negara yang menerapkannya adalah sama, yaitu untuk menjauhkan laba/profit/keuntungan dari semua Lembaga Keuangan Syariah dari sistem ribawi dan berbagai cara yang tidak halal lainnya. Hal ini untuk menjaga kemurnian dari seluruh laba agar tetap terjamin kehalalannya.

Kedudukan dari Syariah Governance pada Lembaga Keuangan Syariah di seluruh dunia adalah vital dan tidak dapat diganggu gugat, tanpa adanya Syariah Governance, Lembaga-Lembaga Keuangan tidak akan bisa menjalankan Syariah Compliance dengan baik, dan mengatasnamakan Lembaga mereka sebagai salah satu Lembaga Keuangan Syariah. Dan tanpa Syariah Governance maka mereka tidak bertanggung jawab dengan Allah SWT, mereka hanya bertanggung jawab kepada manusia, yaitu para stakeholders perusahaan.

Tata kelola syari’ah bagi Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia dan Malaysia masing-masing sama dinyatakan dalam UU dan peraturan teknis. Perbedaan teretak pada Malaysia mengembankan framework yang lebih komprehensif dengan menggunakan istilah khusus, ‘Shariah Governance’. Sementara di Indonesia masih menggunakan perspektif tata kelola perusahaan bagi Lembaga Keuangan Syariah.

Indonesia dan Malaysia bersama menggunakan pendekatan dua level pengawasan, yaitu pada level makro terdapat dewan fatwa syariah yang berfungsi dalam standarisasi dan harmonisasi ketentuan syariah, dan pada level mikro terdapat dewan syariah yang melakukan pengawasan implementasi fatwa tersebut di tingkat perusahaan. Perbedaannya terletak di Malaysia berstatus organisasi pemerintah di bawah bank sentral (Bank Negara Malaysia). Sementara di Indonesia berstatus organisasi non-pemerintah di bawah MUI. Perbedaan status keorganisasian ini tentunya berimplikasi pada status hukum atas fatwa yang dikeluarkan.

Pengaturan Syariah Governance di Malaysia lebih komprehensif dan lebih luas cakupannya, mereka juga terkenal ketat dan tegas dalam pembentukan atau perekrutan tenaga kerja pada lembaga-lembaga terkait penerapan Syariah Governance, dan pada aspek batasan rangkap jabatan dan kompetensi bagi anggota dewan syariah di Malaysia cenderung menggunakan pendekatan ketat. Sementara di Indonesia lebih bersifat moderat dalam hal ketentuan rangkap jabatan bagi dewan syariah, sehingga Malaysia lebih diakui secara global untuk penerapan Syariah Governance daripada Indonesia.

Perbadaan kerangka regulasi tentang sistem tata kelola syariah bagi Lembaga Keuangan Syariah di masing-masing yurisdiksi tersebut tentunya harus direspon secara baik oleh otoritas terkait demi meciptakan harmonisasi regulasi dalam rangka menciptakan integrasi sistem keuangan di antara negara-negara yang menerapkan sistem keuangan syariah seperti di Indonesia dan Malaysia.

Indonesia harus bisa mencontoh Malaysia dalam beberapa hal terhadap penerapan tata kelola syariah (Syariah Governance), agar bisa lebih diakui oleh Dunia/Global, hal ini sangat perlu dilakukan mengingat Indonesia adalah Negara dengan jumlah pemeluk Agama Islam terbesar di Dunia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline