Lihat ke Halaman Asli

Rumitnya Kehidupan

Diperbarui: 21 Maret 2017   06:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

     Brakkkk… suara pintu yang barusan aku tutup dengan sangat kerasnya. “Mengapa semua jadi begini… mengapa tidak ada yang mau mengerti aku” teriakku dengan kerasnya. Aku menghempaskan tubuhku ke kasurku dan menutup tubuh ku dengan selimut. Tidak terasa cairan bening itu mulai mengalir dari mataku. Hal ini terjadi karena kepalaku sudah pening untuk memikirkan semua masalah ini. Aku menangis karena tidak ada yang mau berpikir dewasa diantara kami. Yang ada hanya memikirkan siapa yang benar. Betapa malangnya nasibku ini.

     Tidak terasa pagi sudah tiba, sinarnya mulai masuk dibalik sela-sela jendela kamarku. Kriiiing… begitulah suara jam wekerku berbunyi. Suara itu membangunkanku dari mimpi indahku dan membuat aku kembali ke dunia yang menurutku sangat buruk. Dengan langkah gontai aku berjalan mengambil handuk dan menuju cermin besar di kamarku. Aku melihat bayanganku sendiri betapa mengharukannya nasib gadis yang ada didepanku sekarang. Aku melihat mata pandaku, mataku sembab menggambarkan seorang yang rapuh. Melihat sosok dicermin itu aku hanya bisa tersenyum pahit. Setelah melihat diriku yang sangat miris ini dengan malas aku menuju kamar mandi. Dengan buru-buru aku menuju rak sepatu untukmengambil sepatu.

     “Yesss…selesai” aku baru sajaselesai mengikat tali sepatuku. Aku lari menuruni anak tangga satu per satu. Lalu aku segera mengambil sepedaku di belakang rumah. Tanpa sarapan dan pamit kepada kedua orang tuaku aku pergi berangkat sekolah. Hal itu aku lakukan karena aku masih sangat sebal mengingat kejadian kemarin. Aku mulai mengkayuh sepedaku dengan lambat. Betapa bahagianya aku melihat burung-burung berterbangan di pagi hari. Ketika melewati sebuah rumah seseorang aku melihat anak kecil yang disuapi ibunya. “Hidup mereka sangat bahagia tidak seperti hidupku yang kelam ini” batinku.

     Sambil mengayuh sepeda memori otakku kembali berputar pada kejadian malam kemarin, dimana menurutku adalah malam yang sangat menyedihkan bagiku. Rasanya aku ingin pergi dari dunia ini melepas semua beban hidupku betapa beruntungnya orang-orang diluar sana yang memiliki keluarga harmonis. Tidak terasa mata ini mulai basah aku tidak kuat menahan air mataku. Sungguh tidak terasa aku sudah sampai di sekolah. Aku mengahapus air mataku dengan tanganku dan menuju parkiran sepeda sekolah.

     Dengan pelan dan lemas aku berjalan menuju kelas. Setelah memasuki kelas aku menuju bangkuku. Aku duduk dengan menelungkupkan kepalaku. Kepalaku sangat pening sekali. Teman-temanku melihatku dengan heran.

      “Jesy, kamu gak kenapa-kenapa kan?” tanya Milla khawatir.

     “Aku gak kenapa-kenapa kok” ucapku.

     “Serius kamu gak kenapa-kenapa, kalo ada yang mau kamu ceritain ke aku aku siap kok dengerin ceritamu.”

     “Iya sahabatku yang cerewet aku gak kenapa-kenapa” jawabku sambil tersenyum.

     “Kamu habis nangis ya?” tebaknya.

     “ Emmm… iya tapi tenang hanya masalah kecil, ayah dan ibuku.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline