Lihat ke Halaman Asli

Interupsi Ketua Majelis Hakim MK Memperjelas Perbedaan Indonesia dengan Negara-negara Liberal

Diperbarui: 27 Februari 2017   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang berbeda dalam sidang lanjutan judicial review pasal-pasal kesusilaan KUHP di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (07/11/16) silam. Ketika Dr. Bagus Riyono, ahli yang diajukan oleh Yayasan Peduli Sahabat, tengah menyampaikan pandangannya, ia mendapatkan interupsi dari Ketua Majelis Hakim MK, Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.

Awalnya, Bagus tengah menjelaskan tentang revolusi seks yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 70-an dan 80-an. Revolusi tersebut menyebabkan banyak orang melakukan hubungan seks dengan cara-cara yang jauh melanggar norma-norma kemanusiaan yang wajar.

“Bisa dibayangkan dampak moralitasnya seperti apa jika semua itu tidak dihambat, tidak dilarang dan tidak diatur dalam hukum,” ujar Bagus menyimpulkan uraiannya.

Pada saat itulah Hakim Arief menginterupsi untuk mengajukan sebuah pertanyaan. “Apakah ada pengalaman dari kasus-kasus di Amerika itu, (apakah) diselesaikan secara hukum atau melalui mekanisme non-hukum?” ujarnya.

“Di Amerika diselesaikan dengan terapi, Pak,” ungkap Bagus. “Memang kalau di Amerika ‘kan tidak ada larangan berhubungan seks, karena mereka membolehkan free sex,” papar Bagus lebih lanjut.

“Atau begini, supaya kita mempunyai pemahaman yang komprehensif. (Yang seperti) itu di Amerika karena liberal, tapi apakah ada contoh yang berkembang di negara lain yang nilai-nilai lokalnya mirip Indonesia? Adakah kasus yang demikian, yang kemudian diselesaikan melalui sarana hukum atau yang lainnya, yang bisa menjadi referensi kita?” tanya Hakim Arief lebih lanjut.

“Yang saya tahu itu di Singapura, Malaysia, hukumnya jelas. Di Austria juga pasangan gay tidak diijinkan menikah lantaran bangsa Austria mayoritas beragama Nasrani, dan agama Nasrani melarang perbuatan itu,” ungkap Bagus lagi.

Selanjutnya, Hakim Arief sendiri menyatakan persetujuannya terhadap pandangan yang dikemukakan oleh Bagus. “Saya baru saja berkunjung ke Strasbourg, ke Mahkamah HAM Eropa. Perkawinan sejenis di Belanda itu diperbolehkan karena masyarakat Belanda sudah sangat liberal, tapi di Irlandia ditolak karena masyarakat Irlandia masih sangat agamis,” tandasnya.

Dengan demikian, posisi Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa jelas berbeda dengan negara-negara liberal dalam memandang seks. Karena itu, penegakan aturan yang jelas dalam hal tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline