Lihat ke Halaman Asli

Tradisi Monuntul: Dulu, Kini, dan Nanti

Diperbarui: 9 Mei 2021   12:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi monuntul di Desa Otam


"Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal."(QS. Al-Hujarat: 13)


Perbedaan merupakan keniscayaan yang diciptakan Tuhan. Seperti kutipan ayat Al-Qur'an di atas, yang secara tekstual pun dapat kita pahami bahwa Ia menciptakan manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku, termasuk budaya yang beranekaragam - saya tidak sedang menginterpertasi teks kitab suci tersebut, karena memang dengan segala keterbatasan pengetahuan saya tentang ilmu tafsir agama.

Berdasarkan yang saya pelajari, para Kiai yang ada di Indonesia membahas tema tersebut mengatakan bahwa, setiap bangsa mempunyai nilai tersendiri, mempunyai adat dan budayanya sendiri-sendiri. 

Bangsa Amerika mempunyai nilainya tersendiri, Eropa, Afrika, Asia termasuk Indonesia mempunyai nilai yang khas ia miliki. Maka menyesuaikanlah dengan nilai-nilai bangsa atau adat masing-masing.

Agama; khususnya Islam, tidak pernah melarang budaya, selagi tidak keluar dan tidak bertentangan dengan koridor tuntunan ajaran agama tersebut.

Namun sudah merupakan rahasia umum bahwa ada segelintir orang yang menolak budaya atau adat yang sudah menjadi nilai dari bangsa atau daerah tempat mereka tinggali. Mereka berdalih bahwa, hal itu (tradisi) tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw, para sahabat, tidak ada dalil, dan sebagainya. Mereka sering disebut berpaham Wahabi, yang mengidentikkan: 'Islam identik dengan Arab, dan Arab identik dengan Islam'. 

Pemahaman semacam ini cenderung lupa di mana mereka berada, apalagi di luar Arab. Kesemuanya dari mereka serba Arab; pakaian, pemahaman, bahkan cara bicara dengan orang; akhi dan ukhti, dsb. Padahal, menurut Prof. Dr. KH. Quraish Shihab, seorang Ulama Tafsir terkenal asal Indonesia, beliau mengatakan bahwa itu bukan merupakan kosa-kata agama, melainkan hanya bahasa Arab saja. 

Mereka (wahabi) yang berpaham demikian, juga cenderung menolak identitas dan kultur yang berlaku di daerah mana mereka tinggali.

Di daerah saya, Bolaang Mongondow, berlaku tradisi di setiap penghujung Bulan Ramadhan, tepatnya malam ke-27, yaitu tradisi monuntul dan arukus, yang kemudian diletakkan di depan rumah masing-masing. Tradisi ini sudah berlangsung cukup lama.

Monuntul adalah akar dari kata tuntul yakni bahasa asli Bolaang Mongondow, yang artinya lampu. Sering disebut tradisi monuntul yang artinya malam pasang lampu.

Jika dilihat dari sejarahnya, monuntul merupakan upaya untuk menerangi jalan yang dilalui orang-orang untuk pergi Ibadah ke mesjid, dan untuk menerangi para leluhur atau nene moyang zaman dahulu untuk pergi membayar zakat fitrah di penghujung Bulan Ramadhan, dulu belum ada listrik, dengan suasana terang-benderang lampu tuntul, maka orang-orang akan semakin giat meramaikan penghujung bulan Ramdahan dan menyambut hari kemenangan, Hari Raya Idul Fitri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline