Sintaks Integratif Deep Learning: Fondasi Pedagogi Baru Menuju Indonesia Emas 2045
Oleh: A. Rusdiana
Mengawali tahun baru Hijriah dan tahun ajaran 2025/2026, dunia pendidikan di Indonesia kembali dipanggil untuk berefleksi dan berinovasi. Tantangan era 5.0 tidak hanya menuntut literasi digital, tetapi juga literasi nilai dan kemanusiaan. Kurikulum Cinta dan Gapura Panca Waluya hadir sebagai respons visioner terhadap perubahan ini, dengan Deep Learning sebagai pendekatannya. Michael Fullan dkk. menekankan bahwa Deep Learning bukan sekadar metode, tapi pendekatan pembelajaran yang memungkinkan transformasi sistemik dari ruang kelas hingga sistem pendidikan nasional. QS Al-Hasyr: 18 dan hadis "Barangsiapa hari ini lebih baik dari kemarin, maka ia beruntung" menjadi semangat spiritual dalam membentuk generasi pembelajar sepanjang hayat. Namun, degradasi nilai dalam keluarga dan masyarakat kini menjadi ancaman serius terhadap efektivitas pendidikan. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan menjabarkan bagaimana sintaks integratif Deep Learning dapat diterapkan melalui model PBL dalam kerangka Kurikulum Cinta dan Gapura Panca Waluya, guna membangun karakter bangsa yang unggul dan inklusif. Berikut Lima Sintaks Integratif Deep Learning dalam Konteks Panca Waluya:
Pertama: Orientasi Siswa pada Masalah (Tahap 1); Penerapan Kurikulum Cinta menuntut pembelajaran yang berakar pada empati dan realitas sosial. Guru memulai pembelajaran dengan menghadirkan masalah autentik yang mencerminkan tantangan global dan lokal seperti kemiskinan, ketimpangan digital, atau krisis iklim. Dalam semangat Deep Learning, masalah dirancang untuk menggugah kesadaran siswa sebagai warga dunia dan sebagai insan yang berdaya cipta. Guru memfasilitasi penggalian informasi awal yang tidak hanya bersumber dari buku pelajaran, tetapi juga dari pengalaman lokal, cerita rakyat, serta fenomena sosial yang dekat dengan kehidupan siswa---sehingga nilai, pengetahuan, dan aksi menyatu dalam proses belajar.
Kedua: Mengorganisasi Siswa untuk Belajar (Tahap 2); Kolaborasi merupakan salah satu prinsip kunci dalam Gapura Panca Waluya. Di tahap ini, guru membentuk kelompok belajar heterogen agar siswa terbiasa bekerja lintas latar belakang dan potensi. Setiap siswa didorong untuk mengambil peran yang aktif dan otentik, sehingga pembelajaran bersifat demokratis dan memberdayakan. Guru bukan satu-satunya pusat kontrol, melainkan fasilitator dalam proses pengambilan keputusan substantif kelompok. Di sinilah nilai gotong royong dan tanggung jawab sosial dilatih sejak dini, memperkuat fondasi kebhinekaan dan inklusivitas sebagai ciri khas bangsa Indonesia.
Ketiga: Membimbing Penyelidikan Individual dan Kelompok (Tahap 3); Tahap ini menempatkan siswa sebagai aktor utama dalam pencarian makna dan solusi. Dengan pendekatan Kurikulum Cinta, siswa diajak keluar dari ruang kelas, baik secara fisik melalui outing class maupun secara virtual melalui interaksi dengan narasumber dari berbagai latar. Mereka belajar mewawancarai, mengevaluasi sumber, dan membandingkan perspektif, memperkuat literasi data dan empati. Guru membimbing bukan dengan memberi jawaban, melainkan dengan bertanya secara reflektif, mendorong munculnya daya kritis dan semangat bertanya sebagai bagian dari spiritualitas pembelajaran.
Keempat: Mengembangkan dan Menyajikan Hasil Karya (Tahap 4); Hasil dari penyelidikan tidak berhenti di tataran kognitif, tapi dikembangkan menjadi karya nyata yang mencerminkan kreativitas dan kebermaknaan. Dalam semangat Deep Learning dan Kurikulum Cinta, siswa tidak sekadar membuat poster atau laporan, tetapi menghasilkan solusi yang berdampak---seperti kampanye sosial, prototipe teknologi ramah lingkungan, atau dokumentasi kearifan lokal. Presentasi bukan hanya evaluasi hasil, tetapi juga ruang latihan public speaking, argumentasi, dan refleksi sosial. Nilai-nilai Panca Waluya seperti daya cipta, keberanian moral, dan jiwa melayani tumbuh secara natural di tahap ini.
Kelima: Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Pemecahan Masalah (Tahap 5); Refleksi adalah jantung dari pembelajaran mendalam. Di akhir proses, guru dan siswa bersama-sama melakukan evaluasi formatif terhadap proses, bukan hanya hasil. Ini adalah momentum untuk membangun kesadaran metakognitif apa yang dipelajari, bagaimana belajar, dan bagaimana meningkatkan proses belajar ke depan. Evaluasi tidak bersifat menghakimi, tetapi mendewasakan. Dengan prinsip Kurikulum Cinta, umpan balik bersifat empatik dan transformatif. Di sinilah guru memainkan peran sebagai "pendidik jiwa" yang menumbuhkan karakter substantif: rendah hati, bersyukur, dan haus akan perbaikan.
Sintaks integratif Deep Learning dalam model PBL bukan sekadar teknis pembelajaran, melainkan strategi holistik yang menyatukan pengetahuan, karakter, dan aksi. Dalam konteks Gapura Panca Waluya, pembelajaran ini membangun insan Indonesia yang cerdas, kolaboratif, kreatif, dan berjiwa pembaharu. Disarankan agar pemangku kebijakan pendidikan di daerah terutama Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, dan penggerak komunitas belajar menjadikan pendekatan ini sebagai kerangka utama pelatihan guru dan pengembangan kurikulum daerah, terutama di Jawa Barat sebagai pelopor Kurikulum Cinta.
Pembelajaran tidak lagi sekadar soal transfer ilmu, tetapi tentang bagaimana menghidupkan jiwa dan membentuk masa depan. Deep Learning yang diterapkan secara integratif akan menjadi jembatan kokoh menuju Indonesia Emas 2045, di mana generasi muda tidak hanya pintar, tapi juga punya makna, cinta, dan daya ubah. Wallahu A'lam.