Lihat ke Halaman Asli

Mahasiswa Terjebak Pragmatisme

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahasiswa Terjebak Pragmatisme

Tidak dapat dimungkiri, peran mahasiswa sangat signifikan dalam lembaran-lembaran sejarah bangsa Indonesia. Mulai dari gerakan Boedi Oetomo tahun 1908, Indonesche Vereeninging tahun 1922, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Gerakan mahasiswa Orde Lama, Orde Baru dan Peristiwa Reformasi 1998. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa yang berasal dari dunia kampus kerap mengusung ide pembaharuan yang berdiri diatas pijakan idealisme dan moralitas. Oleh karena itu, mahasiswa merupakan bagian dari struktur sosial yang tidak bisah dipisahkan dari masyarakat, maka tidak heran apabila mahasiswa disebut sebagai agent of change and social control karena punya kesadaran intelektual untuk melakukan perubahan.

Kesadaran intelektual ini harus dapat mewujudkan gerakan yang kritis, independen, dan sosial dalam pengertian mau membela dan memihak kaum tertindas dan lemah. Mahasiswa dalam pandangan  Antoni Gramsci dalam bukunya ”Prison Notebooks” menyebutkan bahwa setiap manusia mempunyai pontensi untuk menjadi intelektual, tapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial. Menurut, Moeslim Abdurrahman menyebutnya sebagai  intelektual akar rumput. Dalam penafsiran saya, Antoni Gramsci dan Moeslim Abdurrahman ingin menggambarkan mahasiswa yang peka dengan realitas sosial, problem ketidakadilan, dan ketertindasan dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Menurut penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan mahasiswa terjebak pragmatisme. Pertama, Orientasi gerakan lebih berfokus pada pragmatisme sesaat yang bersifat politis. Lihat dalam sejarah aktivis 1998 yang dulunya vokal dan kritis terhadap pemerintah, kini harus menjadi bagian dari pemerintah. Atau setidaknya mereka menjadi bagian dari sistem politik yang saat ini amat korup dan rapuh. Walaupun ada paradigma di kalangan aktivis bahwa untuk mengubah masa depan sebuah bangsa harus lewat kekuasaan, tapi paradigma ini tidak harus menjebak para mahasiswa dalam sikap pragmatisme. Kita dapat melihat seolah-olah mengubah masyarakat harus dari sentral kekuasaan. Cara pandang inilah yang membuat mahasiswa tidak fokus dalam mengusung perubahan untuk masyarakat.

Kedua, pengaruh budaya barat yang tidak tersaring telah meracuni mahasiswa. Mereka dengan mudah meniru budaya asing tanpa menyadari resikonya di masa yang akan datang. Seperti halnya kebiasaan perpesta pora, dan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

Ketiga, pengaruh dari sistem pendidikan yang membentuk mahasiwa dalam berpikir pragmatisme. Sistem yang digunakan oleh Orde Baru untuk melenyapkan idealisme serta daya kritis, yaitu dengan menerapkan sistem kapitalis.

Lantas bagaimana agar gerakan mahasiswa tidak terjebak pragmatisme. Dalam hal ini yang menjadi titik tekan mahasiswa yakni gerakan moral dan idealisme. Dimana gerakan moral dan idealisme merupakan benteng kehidupan bangsa untuk menggugat praktik kekuasaann yang tidak terkait dengan kepentingan politik. Gerakan mahasiswa merupakan pelurus sejarah kebenaran, yang tidak pernah berubah setiap masa, walaupun pelakunya silih berganti. Sebagai gerakan moran dan idealisme tidak berkepentingan dengan siapa yang akan dimundurkan dan siapa yang akan menggantikan, sejauh dapat diterimah dengan rasional konsitusioanal.

Sebagai gerakan moral dan idealisme yang rasional, gerakan mahasiwa yang intelektual perlu ditunjukan dengan sikap demokratis dan antianarkisme. Hanya satu kata perjuangan yaitu bersatu, rapatkan barisan, bahu membahu, dan tegakan kebenaran dijalan yang benar. Hidup mahasiwa, hidup rakyat Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline