Lihat ke Halaman Asli

Agung Han

TERVERIFIKASI

Blogger Biasa

Suasana Pelabuhan Sunda Kelapa dalam "Kampoeng Tempo Doeloe"

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14331128801928237347

[caption id="attachment_421631" align="aligncenter" width="557" caption="KTD tampak dari pintu gerbang (dokpri)"][/caption]

Imajinasi manusia sungguh luar biasa dipenuhi ketidakterdugaan, ide yang terus berhamburan menunggu realisasi. Kesungguhan beraksi musti mengiringi buah pikiran, agar menghadirkan sesuatu yang semula terkesan mustahil. Kecanggihan tehnologi dan kemajuan massa, membuat manusia makhluk sempurna tak henti berkreasi.

Minggu siang yang terik ini saya berkesempatan hadir, dalam acara Jakarta Fashion and Food Festival. Bertempat di Lapiazza Kelapa Gading Jakarta Utara, saya menempuh satu setengah jam dengan roda dua dari Tangsel. Beruntung background sebagai marketing tak kesulitan, menemukan lokasi yang sudah cukup tersohor ini. Saya yang datang saat jam makan siang, cukup tepat waktu untuk mengisi perut. Suasana siang mirip seperti hiruk pikuk, pelabuhan Sunda Kelapa Batavia pada abad XVIII. Dua pos panitia persis di pintu gerbang, didekorasi lukisan dinding batu bata bak benteng kompeni. Sampan kayu lengkap dengan dayungnya, membuat atmostif pelabuhan terasa sempurna. Lagu lagu dari seniman Betawi kenamaan, mengalun sepanjang pengunjung berada di Pelabuhan. Suara penyanyi legenderis Benyamin Sueb, berduet dengan Ida Royani bergantian dengan penyanyi Grace Simon. Lirik yang lumayan familiar di pendengaran, adalah satu lagu "Abang Pulang" yang dibawakan di satu film Bang Ben bersama Ida Royani pada tahun 1975.

Nah Abang Pulang. Bakul nasi goyang goyang

Dek, abang pulang. Dari kota pulang kandang


Abang bawa apaan? Abang bawa bungkusan
Eh bungkusannye apaan? Beginian
Apaan sih isinye bang? Ntar aje loe liat
Buka donk aye liat, Loe liat pasti melotot


[Buka donk bang, buka, Udeh gak sabar nih aye bang apaan sih isinye.
Eh, eh, sabar, sabar, nyebut..]


Duh, abang sayang. Pulang pasti banyak uang
Duh, dek sayang. Gue gak bisa bilang dah. Terserah.


Abang bawa apaan? Abang bawa bungkusan
Eh bungkusannye apaan? Beginian
Apaan sih isinye bang? Ntar aje loe liat

Buka donk aye liat, Loe liat pasti melotot
[Nih..! Ahh.., sepatu butut]

[caption id="attachment_421632" align="aligncenter" width="480" caption="Suasana batavia Tempoe Doeloe (dokpri)"]

1433112999315313761

[/caption]

Lagu lagu Bang Ben yang lain juga berkumandang, memenuhi udara Kampoeng Tempo Doele. Tepat di tengah arena estival terpasang layar lebar, menayangkan gambaran suasana Batavia masa lampau. Dengan gambar agak bergetar warna hitam putih, pengunjung bisa menyaksikan ruang dan waktu pada masa lalu. Beberapa tempat yang tampak terpampang di layar, seperti daerah Gondangdia, Pasar Senen, tanjung priok, pasar baru dan masih banyak lagi. Pengujung seperti diajak mengarungi perjalanan masa, melalui tayangan yang disajikan panitia.

[caption id="attachment_421633" align="aligncenter" width="569" caption="Jajanan jaman bahela (dokpri)"]

14331131111156445109

[/caption]

Satu sudut yang lumayan menarik perhatian saya, sebuah stand yang menjual aneka camilan masa lampau. Kompasianers yang semasa kecil berada di era 70 atau 80-an, mungkin menjumpai permen rokok, kwaci cap gadjah, gulali, kue kecil dengan permen dipucuknya, snack lidi, sagon kelapa, kue susu, kacang gajih, simping kencur dan banyak aneka makanan yang lain. Stand dibangun berjajar dilengkapi ornamen klasik, dengan warna kuning ngejreng khas tempo dulu. Makanan yang disajikan khas citarasa nusantara, tak melulu makanan betawi seperti kerak telor, sayur besan dan sejenisnya.

[caption id="attachment_421634" align="aligncenter" width="543" caption="Racikan ie Balitong (dokpri)"]

14331131961832108300

[/caption]

Dengan kartu KTD (Kampoeng Tempo Doeloe), sangu dari mbak admin Kompasiana. Saya cukup bisa memesan makanan kesukaan, setelah memilih aneka menu yang dihidangkan. Pilihan saya jatuh pada mie Balitung, kebetulan dijual paket dengan minuman teh produk dari sponsor. Selain mie kuning sebagai bahan dasar makanan ini, terdapat potongan lainnya yang membuat tampilannya menggungah selera. Kentang rebus berbentuk kotak dadu, berpadu dengan tauge, potongan tahu, irisan timun. Kemudian disiram dengan kuah agak kental, saya menebak kuah ini ada campuran tepung sagu layaknya capcay. Pada bagian terakhir baru ditutup dengan emping melinjo, dan sambal dan kecap sesuai selera.

[caption id="attachment_421635" align="aligncenter" width="539" caption="Penampakan mie Balitung (dokpri)"]

14331132771299339801

[/caption]

[caption id="attachment_421637" align="aligncenter" width="603" caption="Juice Durian (dokpri)"]

1433113330385045050

[/caption]

Ada rasa manis pada mie belitung ini, namun sambal yang pedas bisa mengimbangi. Cukup pas di lidah jawa saya, dan saya tergolong tak rewel masalah makanan. Mie belitung yang disajikan dalam kondisi panas, membuat keringat berlelehan berbaur dengan suasana panas arena festival. Sambalnya yang cukup nendang membuat lidah terasa terbakar, tetapi justru disitu letak sensasi bersantap siang yang terik ini. Saya pribadi cukup menikmati mie belitung, sambil menikmati atmosfir pelabuhan yang dihadirkan. Untk minuman terdapat teh dalam botol dalam kondisi dingin, lidah ini rasanya ibarat langsung salju. Setelah panas dan pedas yang super, mendadak ditimpa manis dingin. Masih ada saldo tersisa di kartu Kampoeng Tempoe Doeloe, saya memanfaatkan membeli juice durian. Rasa buah durian asli menjadi penawar, setelah menikmati semangkok penuh mie Balitung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline