Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Refleksi Hari Batik Nasional: Mencari "Trade Off" Batik yang Ekonomis, Berbudaya, dan Peduli Lingkungan

Diperbarui: 2 Oktober 2021   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Batik Nasional| Sumber: https://batik.kompas.id/

Selamat Hari Batik Nasional! Hari ini (02/10) Bangsa Indonesia sedang memperingati momen dikukuhkannya batik sebagai warisan asli Indonesia, setelah sebelumnya sempat terjadi ketegangan dengan negara tetangga yang lebih dulu mengklaim batik sebagai warisan budaya mereka. 

Namun seiring pengukuhan yang diberikan oleh Unesco terkait batik sebagai salah satu warisan budaya dunia asal Indonesia, polemik klaim kebudayaan itu pun hilang dengan sendirinya. Sekarang waktunya bagi kita menunjukkan kebanggaan terhadap batik kepada dunia.

Berbicara tentang batik, maka yang paling sering terngiang di pikiran kita adalah batik Pekalongan. Kota Pekalongan selama ini dikenal luas sebagai sentra penghasil batik terbesar di tanah air. 

Sehingga tidak mengherankan orang-orang dari berbagai penjuru tanah air berbondong-bondong datang ke sana untuk mendapatkan batik yang diinginkan. Setiap kali datang ke Pekalongan, maka "oleh-oleh" khasnya adalah batik.

Sekitar dua bulan lalu saya dan keluarga tengah melakukan perjalanan ke wilayah Bogor menggunakan kereta listrik (KRL) dari arah Tangerang menuju Bogor. Selepas keluar dari stasiun di daerah Bogor menuju rumah salah seorang kerabat di sana, kami mempergunakan layanan go-car untuk mengantar kami ke tujuan. 

Kebetulan driver transportasi online yang kami kendarai waktu itu adalah seseorang yang berasal dari Pekalongan. Selayaknya Pekalongan yang top mindset-nya tidak jauh-jauh dari batik, maka batik itu juga yang menjadi topik obrolan saya dengan sang driver

Pada saat melakukan obrolan itulah saya mendapatkan pengetahuan baru perihal kondisi "perbatikan" di kota batik, Pekalongan. Batik yang selama ini kita pandang sebagai sebuah warisan besar budaya bangsa ternyata menghadirkan sisi lain yang tidak mengenakkan. 

Lingkungan di sekitar sentra produksi batik mengalami pencemaran cukup parah. Kondisi air tidak layak dikonsumsi dan menyebabkan gatal-gatal pada kulit.

Air sungai tercemar sedemikian parah dan air sumur pun mengalami nasib serupa. Sehingga kebutuhan akan air bersih mayoritas mengandalkan suplai dari PDAM. Namun hal ini bukan berarti masalah teratasi mengingat pencemaran yang terjadi pada sungai memberikan konsekuensi yang berbuntut panjang. 

Kebiasaan para pembuat batik yang membuang limbahnya ke sungai adalah penyebab utama pencemaran pada air sungai. Demikian halnya dengan mereka yang membuang sisa limbah batik ke dalam tanah juga menghadirkan pencemaran air sumur sehingga menjadi tidak layak pakai. 

Ada selentingan dari beberapa kalangan terkait industri batik agar mulai ditinggalkan karena tidak ramah lingkungan. Akan tetapi ajakan ini rawan menciptakan permasalahan sosial lain mengingat batik adalah sumber utama penduduk Pekalongan khususnya dalam mencukupi kebutuhan ekonominya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline