Lihat ke Halaman Asli

Perlunya Pejabat Publik Menjaga Lisan

Diperbarui: 15 Februari 2020   00:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi lisan          Foto: Kompas.com

Dalam 3 bulan terakhir, sedikitnya 3 orang pejabat publik telah membuat pernyataan yang kontroversial dan membuat heboh masyarakat.

Pertama adalah pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi soal larangan penggunaan cadar dan celana cingkrang bagi aparatur sipil negara (ASN) yang dilontarkannya pada November 2019. Pernyataan itu sontak mengundang polemik, memicu amarah dan protes dari masyarakat. Setelah mendapat tekanan, Fachrul Razi akhirnya minta maaf.

Pernyataan kontroversial kedua datang dari Menkumham Yasonna Laoly.

Dalam sambutannya pada acara 'Resolusi Pemasyarakatan 2020 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS)' di Lapas Narkotika Kelas IIA Jatinegara, Jakarta, Kamis (16/1/2020), Yasonna menyatakan bahwa di Tanjung Priok banyak kriminalitas karena wilayah itu termasuk daerah miskin. Dia membandingkan Tanjung Priok dengan kawasan Menteng.

Warga Tanjung Priok tersinggung dan marah dengan pernyataan Yasonna tersebut. Mereka pun melakukan aksi unjuk rasa ke kantor Kemenkumham. Yasonna pun akhirnya minta maaf.

Yang ketiga, the last but not least, adalah ketika Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi diwawancarai oleh reporter detik.com pada Februari 2020. Dalam wawancara tersebut, Yudian menegaskan bahwa musuh utama Pancasila adalah agama. Pernyataan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini pun menuai polemik dan protes dari masyarakat.

Tidak tanggung-tanggung, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Presiden Jokowi untuk memecat Yudian dari jabatan Kepala BPIP. Berbeda dengan Fachrul Razi dan Yasonna yang telah meminta maaf, Yudian sama sekali tidak meminta maaf karena tidak merasa bersalah. Dia malah mengklarifikasi pernyataannya bahwa tidak ada pertentangan antara agama dan Pancasila.

Ada ungkapan "Mulutmu adalah Harimaumu". Sebagai mahluk sosial, kita dianjurkan untuk menjaga lisan kita. Jangan begitu mudah membuat penyataan yang dapat menyinggung perasaan orang, apalagi disampaikan oleh pejabat publik. Pejabat publik adalah representasi dari pemerintah. Baik buruknya pemerintah tercermin dari sikap dan tingkah laku pejabat publiknya.

Pejabat publik harus menjaga amanah dari Presiden yang telah menunjuk dan melantik mereka. Itu artinya, pejabat publik harus menjaga nama baik Presiden. Pernyataan kontroversial dari ketiga pejabat publik di atas setidaknya telah berpengaruh negatif terhadap reputasi Presiden Joko Widodo. Akibat ulah lisan mereka, kredibilitas Presiden jadi terganggu.

Apalagi di era digital sekarang ini, arus informasi berseliweran dengan begitu deras dan cepat. Sedikit saja salah ucap atau ngomong keceplosan, apalagi keluar dari mulut pejabat publik, akan menjadi makanan empuk bagi publik, terutama pihak-pihak yang aliran politiknya berseberangan dengan pejabat publik tersebut. Mereka bisa dengan mudah menggoreng isu dan memutarbalikkan fakta.

Kondisi ini makin diperparah dengan sikap masyarakat yang terlalu responsif terhadap suatu isu. Begitu muncul satu isu, langsung ditelan mentah-mentah tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu. Selain itu, masyarakat sekarang suka dengan isu-isu yang seksi dan bombastis, apalagi yang sensitif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline