Lihat ke Halaman Asli

Adi MC

Lectio contra est

Menemukan Jati Diri Orang Rote dari Petikan Sasando

Diperbarui: 6 Januari 2022   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar sasando klasik yg biasa terdapat di rumah-rumah penyair/travel.detik.com

Catatan tentang kepergian

31 Desember 2021, Pagi itu ketika cahaya matahari masih samar-samar keluar dari pangkuan semesta, saya bertolak dengan kapal dari ibu kota propinsi Nusa tenggara timur menuju salah satu kabupaten di selatan Indonesia. Ya, Kabupaten Rote Ndao.  Kabupaten yang menadapat julukan negeri seribu lontar ini menjadi tujuan saya untuk menghabiskan masa liburan.

Kurang lebih empat jam perjalanan laut saya akhirnya tiba di pulau Rote, setelah itu dengan melanjutkan perjalanan darat yang memakan kurang lebih dua jam saya akhirnya tiba di tempat tujuan saya di Dengka Kecamatan Rote Barat Laut. 

Saya memang mejadwalkan diri untuk bertemu dengan tokoh adat di sana guna mencari dan mengetahui hakekat hidup suku Rote. Dengka menjadi pilihan yang tepat menurut saya karena dari segi historis masyarakat dan suku Rote kebanyakan mereka masih tetap setia memegang ajaran nenek moyang secara turun temurun selain itu juga banyak penyair yang masih ada hingga saat ini salah satu adalah ajaran tentang syair adat dalam petikan sasando/sasandu.

Dalam catatan sejarah sasando dibuat dari daun lontar yang utuh berbentuk setengah bola, di dalamnya di pasang  tabung bambu yang direntangi beberapa senar,   (Fox 1996) ada sasando yang berjumlah duapuluh sampai duapuluh depalan senar bahkan ada yang sampai dengan delapan puluh empat senar, tergantung dari jenis sasando yang ingin dibentuk oleh pengrajin, sasando juga sudah banyak mengalami perkembangan dan modifikasi menjadi sasando modern/electric.

Dibawah naungan Pohon lontar, angin berhembus melambat mayang-mayang lontar bergerak kesana kemari searah dengan daunnya saat itu saya bertemu seorang tokoh adat setempat, terlihat ada kebingungan terpancar di wajahnya mungkin karena kedatang saya yang tiba-tiba, tapi entah lah.  Setelah beberapa detik menatap dengan seksama tokoh adat itu mempersilahkan saya untuk duduk di sebuah dedegu (semacam tempat duduk panjang yang dibentuk melingkari pohon) yang terpasang di depan halaman rumahnya.

Setelah berdiskusi selama sejam lamanya dia kaget ketika saya memberikan sebuah tanggkapan layar tentang pemerintah Sri Langka yang ingin medaftrakan alat musik sasando ini menjadi Hak kekayaan Intelektual dari negara mereka. Menatap layar itu ia kaget bukan main mukanya mengkerut, hembusan napasnya tidak stabil.  usianya sudah tidak mudah lagi sehingga kerutan sangat nampak ketika Ia marah ataupun sedang kesal. 

Itu tergambar jelas di wajah Opa Azar, ya Orang-orang Dengka menyebutnya dengan sebutan Opa Azar. (seorang tokoh yang pernah saya temui tahun 2012 ketika sedang itu ia berjalan dengan sambil memainkan sasando di depan penginapan saya. Baca di sini)

Saat Ia mengangkat kepalanya dan sedikit memusatkan pandangannya pada saya kemudian berkata;

 "Hidup dan mati, kami abdikan bagi nusa ini. Kami hidup dari nenek moyang kami yang bernaung di bawah pohon lontar. 

Dari lahir tali pusar kami sudah dipotong dengan daun lontar yang tajam, ari-ari kami di tanam di bawah naungannya, kami hidup dengan air nira yang menetes dari mayang-mayang lontar yang ujungnya disadap. 

Ketika dewasa rumah kami tempat berlindung adalah bagian dari seluruh pohon lontar, kami beratapkan daun lontar tiang induk rumah kami merupakan lotar.bahkan ketika kami matipun kami akan mati di bawah naungan lontar, raga kami akan tetap di dalam pelukan pohon lontar sebagai tempat terakhir yang menghantarkan kami ketika raga kami taklagi bernyawa. 

Lalu bagaimana bisa kami hanya diam saja ketika ada orang lain yang mencuri barang milik nenek moyang kami?"

Baginya jati diri orang Rote itu terletak pada gambaran dan praksis dalam budayanya sehingga sangat berbahaya jika ada orang luar ataupun negara luar yang mencomot serta mendeklariskan diri sebagai pemilik sah dari adat dan istiadat milik masyarakat Rote. 

"Ini juga merupakan bentuk penghinaan terhadap terhadap negara karena itu pemerintah sebaiknya berperan penting untuk  secara cepat mengatasi masalah ini, baik pemerintah daerah di Kabupaten Rote Ndao atau Pemerintah Propinsi Nusa tenggara timur ataupun Pemerintah pusat".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline