Lihat ke Halaman Asli

Pulang ke Rumah Tua

Diperbarui: 18 November 2016   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: fiqhmenjawab.net

Kita akan selalu melihat pagi berganti siang
Dan kemarau hilang saat hujan mulai turun
Begitulah waktu mengukuhkan ketidak pastiannya

Di sebuah kurung waktu
Malam datang mematahkan cahaya terang
Itu sudah kelaziman
Saat itu barangkali kita akan gelisah
karena lampu kamar tak lagi menyala

:ada apa?

Inilah getar hatiku untuk kesekian kalinya
Bukan hanya soal laku kita saja
Aku melihat ada ruang imajinasi yang tiada batas
Sementara, kita baru saja melepaskan ribuan anak kata di sana

:untuk apa?

Hati dan akal kita memang tetap selalu ada
Tetapi, tidakkah kau takut keduanya bercerai sebelum kita menemukan-Nya?

Jika tata tertib selalu kita guncang
Status yang lain kita ancam dengan tafsiran liar
Keganjilan kita pelihara sebagai bagian dari peradaban
Roh dan jasad sendiri kita pacung dengan segala pembenaran
Maka, cerita apa yang bisa kita sampaikan untuk menghibur sepi?.

Sudah,
Tak usah lagi kau ajari aku bagaimana memintal angin
Kau ajari aku bagaimana mencipta geram di laut yang samar

Cukup,
Kau ajari saja aku bagaimana meraba dan merasakan dingin
Bukankah pada dingin kadang ada rindu yang lebih kental?
Kadang pula ada dasar rasa yang menyimpan cinta sekaligus mutiara?

Dalam ruang temu yang mungkin tak sempurna
Bersama sehelai rindu dan pemakluman
Sebagai kejutan atas adanya ke-tidak pastian
Demi sepenggal kenangan di batas keangkuhan
Sebelum kita benar-benar menerjemahkan akutnya celoteh
Mari, aku mengajakmu kembali

:Pulanglah ke rumah tua !




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline