Lihat ke Halaman Asli

Menyehatkan Jiwa, tak Hanya Raga

Diperbarui: 10 Oktober 2016   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Refleksi bersama hari kesehatan jiwa sedunia di Indonesia

Peningkatan pelayanan kesehatan jiwa dinegeri kita tercinta sudah saatnya menjadi prioritas. Berawal dari orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang belum sepenuhnya terlindungi hak-haknya sebagai seutuh-utuhnya manusia. Lingkungan sosial masyarakat yang belum ramah baginya sehingga urgensi perbaikan di segala lini pelayanan menjadi PR besar bagi bangsa kita saat ini.

Momen hari kesehatan jiwa sedunia sebagai buah hasil Federasi Dunia untuk Kesehatan Jiwa (WFMH) hanya terdengar sayup-sayup dinusantara tercinta. Selebrasi yang mulai dihelat per tahun 1992 ini masih belum populer dikalangan negeri. Mayoritas dari kita masih memandang kesehatan fisiklah yang lebih utama. Padahal esensinya, jiwalah yang menjadi inti terpenting dalam diri seorang manusia, tanpa adanya kebugaran jiwa seorang manusia hanyalah seonggok daging dan literan darah.

Badan kesehatan dunia, WHO, dalam laporannya menyampaikan 21% dari total populasi terdiagnosa gangguan jiwa. Sebagian kecilnya dalah orang sehat paripurnasementara mayoritas sisanya hanyalah orang yang terlihat sehat. UU Kesehatan Jiwa nomor 18 tahun 2014 mendefinisikan ODGJ sebagai orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia.

Nilailah diri kita, masuk dalam kategori yang manakah kita saat ini? Akan tetapi, lihatlah orang disekitar kita saat mereka memiliki gangguan jiwa, apa yang ada dipikiran kita?

Merujuk pada UU Kesehatan Jiwa seseorang bisadikatakan sehat jiwa saat dimana seorang individu dapat berkembang secarafisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadarikemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, danmampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

Potret yang begitu menyayat hati tergambar dari tingginya prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% atau sekitar 14 juta orang, lebih mencengangkannya lagi, prevalensi gangguan jiwa berat (schizophrenia) rasionya 1,7 per 1000 penduduk (400.000 orang). Angka bunuh diri yang menjulang tinggi, penjaringan dinas sosial pada tunawisma bermasalah kejiwaan selalu tinggi, bullying didunia nyata maupun maya meroket, praktik pemasungan yang tak ada habisnya. Kepercayaan yang salah akan gangguan roh-roh halus mengakar dan mendarah daging bagi sebagian besar masyarakat kita, dan begitu banyaknya fenomena kesehatan jiwa yang tak terdeteksi apalagi tertangani dengan baik.

Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah serius dengan efek yang sangat merugikan secara personal, social maupun ekomoni. Semua kondisi ini menjadikan kualitas hidup ODGJ menurun, membahayakan diri dan orang sekitarnya,  serta perubahan kondisi fisik yang menjadikannya berbeda. Biaya perawatan kesehatan jiwa mulai dari pemeriksaan, terapi obat, dan opname berdurasi yang lama pun menyerap finansial yang begitu banyaknya. Prof. Askobat Gani (2005) menyatakan bahwa beban penyakit gangguan mental mencapai 13,8% dari seluruh beban penyakit di Indonesia.  WHO pun memprediksikan pada 2020 mendatang depresi dan mental psikiatri lainnya akan menjadi penyakit urutan kedua dalam menimbulkan beban kesehatan.

Praktik pelayanan kesehatan yang telah diatur dalam UU Kesehatan Jiwa belumlah optimal dalam menangani problema yang ada. Strategi WHO, Mental Health Action Plan 2013-2020, masih belum menggaung keantero negeri. Promosi yang kurang menarik atensi, kekurangan sarana maupun prasarana, maupun ketidakmauan ODGJ maupun keluarga dalam merawat kesehatan jiwanya. Sudah menjadi kewajiban pemangku kebijakan untuk membuat petunjuk teknis yang mewadahi peningkatan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat dan niat kebersamaan untuk merealisasikannya untuk Indonesia yang lebih sehat jiwa.

Ketangguhan diri dan cara merespon suatu keadaan menjadi kunci utama untuk mencapai kesehatan jiwa prima. Masalah sebesar apapun menjadi mudah bila kita segera menyelesaikannya, bukan memikirkannya. Selain kekuatan mental, faktor diluar diri kita seperti kasih sayang orang terdekat, dukungan masyarakat disekeliling maupun kesiapan penyedia pelayanan kesehatan paripurna. Profesional kesehatan jiwa memiliki peran esensial sebagai pemberi layanan. Perawat jiwa harus lebih mendayagunakan diri sebagai “hati” tenaga kesehatan harus mampu, mau, dan bersatu padu menyehatkan jiwa masyarakat Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline