Bab 1: Jejak yang Tertinggal di Jalanmu
Langit pagi Yogyakarta tampak membiru perlahan, seolah malu-malu membuka hari. Udara masih basah oleh embun, dan aroma kopi dari warung kecil di sudut jalan menggoda langkah-langkah yang ragu. Aku menyusuri jalan itu sendiri, jalan yang pernah kita lalui bersama saat segalanya masih sederhana: cinta belum punya definisi, dan masa depan belum menjadi beban.
Setiap gang sempit yang kulewati seakan menyimpan potret kenangan. Dinding-dindingnya masih memantulkan gema tawa yang pernah kau lontarkan; lampu-lampu temaram masih menyinari bayangan dua remaja yang tak berani menggenggam tangan. Hanya tatapan malu-malu dan degup jantung yang saling menebak arah.
Di Malioboro, keramaian tak pernah benar-benar berubah. Pedagang kaki lima, deru becak, dan suara musisi jalanan masih bernyanyi, seperti dulu. Di sana, aku pernah berjalan di sebelahmu, terlalu canggung untuk mengakui rasa, terlalu muda untuk mengartikan apa itu cinta. Tapi malam-malam itu begitu manis, seperti puisi yang dilagukan dengan tatapan, bukan kata.
Kita pernah bicara tentang mimpi di bawah pohon akasia---tentang rumah, tentang anak-anak, tentang "selamanya." Suaramu saat itu adalah nyanyian kecil yang aku simpan dalam hati. Namun seperti senja yang meredup, mimpi itu memudar saat kita terpisah oleh pilihan dan waktu. Ada luka yang tak terucap, tapi selalu terasa di ujung hati.
Bertahun-tahun aku jauh dari sini, tapi Yogyakarta... kau tak pernah menua. Di warung kopi kecil yang dulu hanya kami tahu, alunan gamelan terdengar pelan, seperti bisikan masa lalu yang meminta untuk dikenang. Senyummu hadir kembali---tak melalui wajah, tapi lewat aroma, lewat kursi kosong, lewat setiap napas yang kutarik dalam-dalam.
Aku kembali hari ini, bukan untuk menagih rindu. Aku datang untuk menerima, untuk berdamai dengan waktu yang telah melahirkan jarak. Jalan-jalan ini seperti puisi panjang: kadang menyakitkan, kadang indah tanpa sebab. Ada pahit yang tersisa, namun manisnya jauh lebih tajam---seperti kopi hitam yang kau sukai.
Yogyakarta memelukku tanpa tanya. Ia tidak bertanya mengapa aku pulang, tidak menuntut penjelasan. Ia hanya menyambut, seperti ibu yang tahu anaknya kembali bukan untuk tinggal, tapi untuk mengenang.
Setiap sudut kota ini seakan menyanyikan lagu yang tak lagi kau dendangkan---tentang cinta muda yang terlalu polos untuk bertahan, terlalu jujur untuk dilupakan. Aku masih melihatmu di bayangan toko buku, di suara penjaja batik, di derap kaki yang terburu ke arah kampus. Dan aku bertanya dalam hati: apakah kau juga pernah kembali, diam-diam, menapaki jejak yang sama?
Aku tahu, cinta remaja memang tak dirancang untuk masa depan. Tapi ia akan tetap hidup, di kota seperti ini---di Yogyakarta, tempat segala rindu menetap. Kau, aku, dan kenangan kita... mungkin tak pernah selesai, tapi tidak perlu lagi diakhiri.
Bab 2: Surat-Surat yang Tak Pernah Sampai