Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Sedekah Itu Soal Rasa Bukan Nominal

Diperbarui: 11 April 2022   10:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi tradisi sedekah bumi.| KOMPAS.com/USMAN HADI

Kita semua tahu bulan Ramadhan adalah bulan sedekah. Bulan untuk mengasah dan meningkatkan kualitas personal dan sosial. Kualitas personal digembleng melalui puasa, kualitas sosial diasah melalu sedekah.

Problema yang kerap dihadapi adalah paradigma tentang sedekah yang disyarati oleh sejumlah kekayaan. Sedekah identik dengan aktivitas orang-orang kaya, minimal, memiliki nominal uang lebih untuk disedekahkan.

Benarkah paradigma demikian itu? Sedangkan Tuhan menganjurkan tetaplah bersedekah dalam keadaan lapang maupun sempit (Q.S. Ali Imran: 134). Tuhan tidak menyebut secara spesifik, misalnya, dalam keadaan kaya maupun miskin. Atau ketika memiliki uang berlimpah atau sama sekali tidak punya uang.

Orang yang memiliki kekayaan berlimpah belum tentu hidupnya diliputi kelapangan. Bisa saja ia diimpit kesempitan-kesempitan, kepicikan-kepicikan, kekurangan-kekurangan yang tidak selalu terkait dengan uang.

Ia kaya dalam kemiskinan. Dan ini bukan persoalan banyaknya kekayaan yang berhasil dikumpulkan, melainkan sikap individual yang menjerumuskannya ke dalam mental kemiskinan.

Mentalitas itu dipicu dua hal: takut hartanya berkurang dan takut jadi miskin. Yang pertama, ketakutan hartanya berkurang, menyebabkan perilaku kikir. Yang kedua, takut miskin, menjadikannya orang yang serakah.

Pada sisi fakta yang lain, kita juga menjumpai orang-orang kecil yang hidupnya pas-pasan. Konotasinya, hidup orang kecil ini dianggap melarat karena tidak menampilkan sama sekali indikator-indikator material yang disebut kaya.

Hari ini dapat rezeki seratus ribu, ia bilang, "Alhamdulillah, cukup." Dapat rezeki tujuh puluh ribu, ia berkata, "Ya, Alhamdulillah, mudah-mudahan cukup." Dapat rezeki lima puluh ribu, ia berbisik "Alhamdulillah, dicukup-cukupkan."

Ia miskin dalam kekayaan. Dan ini bukan persoalan banyaknya uang yang berhasil dikumpulkan, melainkan sikap individual yang menjadikannya tatag dan selalu bersyukur.

Demikian profil dan sikap orang yang hidup dalam kelapangan, kendati orang lain menilai ia hidup dalam kesempitan. Namun, inilah hidup: bukan apa kata orang tentang hidup kita, tapi bagaimana sikap mental kita menjalani hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline