Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Tiga Macam Kebenaran

Diperbarui: 14 Juni 2016   02:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Manusia Beradab | hernistn.blogspot.com

Jujur, kalau dipikir-pikir hampir semua perintah Tuhan tidak enak dan berat untuk dijalankan. Baik perintah menjalani ibadah maupun perintah meninggalkan larangan. Apalagi perintah atau larangan itu dibingkai dalam term kewajiban: wajib dijalankan atau wajib ditinggalkan. Berat bukan main.

Rasa berat saat menjalankan perintah atau meninggalkan larangan sebenarnya wajar dan manusiawi karena kita adalah makhluk kemungkinan. Tuhan telah menginstal software kemungkinan ini ke dalam jiwa manusia. Manusia mungkin bisa meraih kedudukan mulia sebagai insan bertakwa (muttaqun), namun mungkin bisa terjerembab ke dalam dasar kehinaan (asfala saafilin).

Kita tentu sepakat selain Nabi dan Rasul tidak ada manusia yang seratus persen pasti baik dan pasti benar. Atau seratus persen pasti dalah dan pasti jahat. Kemungkinan untuk menjadi manusia yang benar selalu bersanding dengan kemungkinan menjadi manusia yang salah. Apabila terdapat keunggulan, kebaikan, kemuliaan di dalam perilaku hidup seseorang tentu terdapat pula di dalamnya kelemahan, keburukan, kejahatan.

Maka, bukan hanya terlihat konyol dan naif ketika kita menyaksikan perlombaan saling membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Tuduhan-tuduhan semacam itu jelas tidak benar dan menyesatkan. Sungguh, terdapat lipatan-lipatan lembut nan berlapis-lapis dalam jiwa dan hidup kita yang tidak serta merta diringkas dan dipadatkan oleh satu atau dua sangkaan dan tuduhan.

Tiga Macam Kebenaran

Dalam khasanah budaya Jawa, ada tiga tingkat kebenaran. Benere dhewe atau benarnya sendiri. Benere wong akeh atau benarnya orang banyak (mayoritas). Bener kang sejati atau benar yang sejati.  

Benere dhewe atau benar menurut diri pihak yang menyatakan bahwa dirinya benar bukan kebenaran yang mutlak. Bahkan kebenaran menurut benarnya sendiri merupakan hasil dari kesalahan proses berpikir yang produk perilakunya diyakini sebagai kebenaran.

Benere dhewe tidak terbatas pada lingkup personal individual. Kasus perda larangan membuka warung makan di siang hari pada bulan Ramadhan dalam takaran yang lebih adil termasuk kategori benere dhewe. Fakta yang bertabrakan dengan kepentingan perda berada di posisi salah.

Lalu ada benere wong akeh atau benarnya orang banyak. Model kebenaran yang juga tidak selalu benar. Kita bisa mensimulasikan beberapa contoh kasus yang masuk kategori kebenaran mayoritas. Kebenaran yang rentan disalahgunakan karena mayoritas yang bersepakat terhadap kebenaran kerap tidak bisa melepaskan diri kepentingan golongan.

Dan bener kang sejati. Benar yang sejati. Kebenaran yang terselip di hati nurani setiap manusia. Bisikan-bisikan lembut dari dalam hati yang sangat tidak pernah dihitung untuk mengambil keputusan. Saya yakin Maman Lutfi, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kota Serang, atau siapapun hati nurainya pasti berontak dan menolak ketika melakukan penggusuran-penggusuran dengan cara yang kasar.

Itulah manusia: makhluk dengan segala lipatan dimensi jiwa dan beragam kemungkinan perilaku. “Saya hanya menjalankan tugas,” demikian ungkapan yang kerap kita dengar. Ungkapan yang masih bertanda baca koma: “…, meskipun sebenarnya hati nurani saya tersiksa!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline