Lihat ke Halaman Asli

Sri Wintala Achmad

TERVERIFIKASI

Biografi Sri Wintala Achmad

Fajar di Langit Donan [Babad Cilacap]

Diperbarui: 20 Februari 2018   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BUKIT menyingkap selimut kabut. Hingga tubuh bukit yang masih basah embun itu tampak kehijau-biruan di naungan pendar sinar matahari. Burung-burung saling memamerkan kicauan emasnya di dahan-dahan pepohonan. Sekawanan kupu berebut menghinggapi bunga wijen yang menyerupai terompet. Capung-capung berkejaran serupa anak-anak bermain jethungan.

Aliran sungai yang membelah bentangan sawah bertingkat-tingkat di kaki bukit serupa arus waktu. Membuka-tutup hari dengan kunci matahari. Tanda yang mengisyaratkan petani untuk berhelat dengan tanah garapan. Sejak fajar hingga ambang siang. Sejak lepas dluhur hingga ambang senja.

"Betapa agung! Banyumas serupa cuwilan surga." Begitu bisik Raden Ngabehi Cakradimeja seusai mengelilingi wilayah pedesaan di bawah kuasa Tumenggung Cakrawedana ayahnya. Dalam hati, ia merasa kebahagiaannya mengalir bersama darah dan napas saat menyaksikan kesuburan tanah dan kemakmuran hidup kawula Banyumas. Namun, ia yang hanya terlahir dari selir harus merelakan bila bumi Banyumas tidak terengkuh tangannya.

Benar kata orang bijak. Manusia berada di antara suara Tuhan di sisi kanan dan bisikan iblis di sisi kiri. Semakin Cakradimeja ingin merelakan bumi Banyumas, semakin ingin menguasainya. Merebut dari tangan pewarisnya. Putra sulung Cakrawedana yang lahir dari garwa padmi.

Hasrat untuk merebut bumi Banyumas itu disampaikan Cakradimeja pada kedua abdinya -- Dipayuda dan Singayuda. Mendengar rencana Cakradimeja, kedua abdi itu bersilang pendapat. Dipayuda yang menghamba pada laku utama itu menentangnya. Sebaliknya, Singadjaya yang suka memboroskan waktu di arena sabung jago, permainan dadu, dan pertunjukan lengger itu mendukungnya. Dengan harapan, ia kelak diangkat sebagai pejabat tinggi yang berkubang uang.

Tanpa sepengetahuan Cakradimeja dan Singayuda, Dipayuda menghadap Tumenggung Cakrawedana. Di dalam ruangan tertutup, ia melaporkan rencana Cakradimeja. Sontak wajah penguasa Banyumas itu serupa piringan tembaga terbakar. "Dipayuda! Apa yang kamu laporkan itu dapat aku percaya?"

"Bila berbohong, leher hamba menjadi taruhannya."

Cakrawedana menggeram serupa singa murka. "Tangkap Cakradimeja! Hadapkan padaku! Dasar anak tidak tahu diri. Ia pantas mati."

"Seribu ampun,  Gusti Nggung!" Dipayuda menghaturkan sembah dengan setangkup telapak tangan bergetar. "Apakah hamba diperkenankan untuk mengajukan pendapat?"

"Asal baik, aku terima."

"Terima kasih." Dipayuda menenangkan pikiran dan rasanya. "Sebaiknya Gusti Nggung tidak menjatuhkan hukuman mati pada Denmas Cakradimeja. Sungguhpun rencana Denmas Cakradimeja terbilang jahat, beliau masih darah daging Gusti sendiri. Memberi hukuman mati pada Denmas Cakradimeja, artinya memberi hukuman mati pada bagian tubuh Gusti sendiri."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline