Lihat ke Halaman Asli

Abas Basari

Guru Biologi SMA Al Masoem

Pisang Panggang Tanda Sayang

Diperbarui: 16 September 2022   04:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Pagi-pagi tidak seperti biasanya perut ini mulai terasa lapar. Meja makan masih kosong belum ada makanan. Hanya tiga sisir pisang raja yang tergeletak di kursi makan, satu diantaranya sudah agak matang. Tetangga yang kerja di  komplek sebelah, memilih pisang terbaik untuk mengisi toko kue terkenal di Bandung. Sisanya yang kurang bagus dibawa pulang dan dibagikan. Daripada dibuang, sayang. Memang  kurang menarik karena warna kuningnya belum rata. Jadi bisa disebut belum matang.

Naluri untuk buat makanan cemilan dieksekusi langsung. Sehubungan minyak goreng mahal maka otak pun mulai bekerja mencari solusi. Ya ternyata ada sisa mentega saat bazar di sekolah. Beli sendiri nih meneganya. Lumayan bisa gantikan minyak goreng. Walau pisang belum matang, dipanggang saja pikirku tak lama kemudian. Panci pero juga keluar tempatnya menuju meja makan.

Bismillah, ucapan basmallah keluar spontan menandai kegiatan. Pagi ini akan membuat pisang panggang. Pisang raja kiriman tetangga yang dipakai.

Pisang raja dikupas satu per satu sampai selesai. Semuanya masuk ke panci apa  ketel ya. Saya sebut sih panci pero saja biar gampang. Panci pero pun bertengger di atas kompor, api sedang saja biar tidak gosong. Sambil menunggu panas, mentega sudah tak sabar ingin segera menemani pisang raja yang sudah lebih awal di panci pero. Gula pasir sang pemanis, walau manis tidak ikut bergabung karena ingin menemukan sensasi lain pisang panggang tanpa gula.

Hangat dari api kompor yang menerpa tangan secara perlahan menerjang hampir ke seluruh tubuh. Padahal diluaran sana, suhu lingkungan terasa dingin. Tubuh pun lebih hangat karena tangan bergerak terus. Sambil terus dibolak-balik, aroma wangi pisang kena panas bertemu dengan mentega pun keluar. Wanginya menyeruak mengisi dapur dan ruangan lain.

Rasa lapar sengaja di tahan beberapa saat, paling hitungan menit. Untuk mendapatkan pisang panggang sesuai selera sendiri saja. Namun pikiran ini menerawang ke masa kecil saat di Sumedang. Saat makan pisang raja. Ibu saya sangat menyukai pisang, termasuk pisang raja. Jadi lebih sering ada pisang tersimpan dimeja makan.

Saat disunat, hidangan selain makanan berat, pisang raja yang sudah matang disajikan sebagai bagian penutup makan. Hampir di setiap hajatan warga setempat, pisang raja selalu hadir menemani tamu undangan bersantap makanan. Makan pisang menjadi hari-hari tak terlupakan. Pisang raja yang belum matang pun disantap apalagi yang sudah matang.

Sambil terus dibalik-balik, pisang panggang nampak berubah warna, ada bagian yang berwarna lebih gelap. Artinya pisang panggang siap diangkat dari panci pero. Kemudian dipipihkan dengan spatula plastik. Saya ambil tiga buah di piring. Disimpan di meja makan. Dengan rasa bangga saya persilahkan anak saya yang bungsu untuk mencicipinya.

Menunggu sebentar, sudah tidak terlalu panas, terlihat anak saya menyantapnya dengan tenang. Sesaat kemudian  "Manisnya sudah pas, rasa ketir tidak dominan, dan empuknya dapet..Yah", komentar Emir seolah memberikan penilaian.

Si Teteh malah menambahi krim kental manis yang rasa coklat. Waduh..seperti apa ya komentarnya. "Enak....Yah. Lebih manis, ada rasa coklat dari krim kental manisnya. Disantap hangat-hangat...duh serasa di cafe", celoteh berpanjang ria saking senangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline