Lihat ke Halaman Asli

Abanggeutanyo

TERVERIFIKASI

“Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Singkil Belajar Singkirkan Intoleransi Beragama

Diperbarui: 8 Juli 2019   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahasiswa asal Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, membawa poster dan spanduk saat berunjukrasa di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Selasa (13/10). (AntaraFoto/ Ampelsa)

Hati siapa yang tak gundah melihat tempat (rumah) ibadahnya terbakar atau dibakar, bukan? Sama halnya ketika umat muslim teriris hatinya saat terjadi peristiwa pembakaran sebuah masjid hingga menimbulkan beberapa korban jiwa di Tolikara, Papua Barat beberapa waktu lalu, begitu juga ummat Nasrani teriris rasanya melihat rumah ibadahnya terbakar di Singkil.

Emosi bercampur aduk dengan tanda tanya mendalam. Gelora panas berkecamuk, bergemuruh tiada hentinya bikin marah rasanya. Logika berpikir tersapu oleh aneka informasi, tulisan dan berita yang memperkeruh suasana apalagi bernuansa mengompori keadaan dengan harapan terjadinya kekacuan intoleransi ummat beragama di  tanah air.

Begitu juga yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil, provinsi Aceh pada 13 Oktober 2015 lalu. Tidak disangka dan diduga ternyata persoalan menahun berdirinya TANPA IZIN rumah atau tempat beribadat ummat Kristen di 10 lokasi di Aceh Singkil yang telah mencapai titik temu persetujuan warga nasrani dengan pemerintah setempat sehari sebelumnya ternyata berujung pada tindakan makar .

Sebagaimana kita ketahui bersama, akibat peristiwa itu berbagai informasi dan tulisan menuding aksi intoleransi itu sebagai tindakan biadab dan tentu saja mencoba menggoyang kesatuan negara Republik Indonesia melalu cara-cara adu domba umat beragama.

Setelah penulis amati dengan seksama, persoalan inteloransi ummat beragama di Aceh berbeda motif dengan peristiwa intoleransi di berbagai tempat di tanah air. Peristiwa di Aceh Singkil meski sama dampaknya (trauma, ketakutan, perpecahan dan permusuhan) namun motifnya adalah motif antisosial yang ditunggangi provokator, kongkritnya adalah reaksi sosial masyarakat setempat yang dimanfaatkan oleh provokator. Alasannya adalah :

  • Sehari sebelum peristiwa anarkis tersebut, Bupati Aceh Selatan dan pihak yang terkait telah melakukan pertemuan yang kesekian kalinya mencari solusi dan jalan keluar yang terbaik. Pada pertemuan terakhir -menurut informasi harian lokal- telah ditemukan kesepakatan berupa solusi yakni persetujuan warga Kristen dan pengurus rumah ibadah yang tidak mendapat izin bahwa mereka bersedia memindahkan dan membongkar rumah ibadahnya sendiri.. Padahal selama beberapa tahun terakhir pemda setempat telah diingatkan bahwa tempat tersebut bukan sebagai tempat ibadah yang tepat karena berbagai alasan.
  • Janji memindahkan rumah ibadah tersebut keesokan harinya (13/10) ternyata duluan didatangi oleh sejumlah warga bersenjatakan bambu runcing hingga menyerang dua dari sepuluh lokasi rumah ibadat yang disebut untuk dibongkar sendiri oleh warga penganutnya sehingga satu gereja terbakar.
  • Masalah yang terjadi di Singkil BUKAN masalah agama dalam pandangan warga Aceh pada umumnya. Sebab, warga Aceh pada umumnya mampu bergerak serentak kemanapun dan di manapun JIKA masalahnya adalah masalah politik dan agama.
  • Beberapa tulisan warga di beberapa media lokal menyajikan pandangan penyesalan dan tanggapan mengkritik pelaku makar yang mencoba membuat Aceh bergolak menunggangi issue agama.
  • Issue hangat tentang akan adanya serangan balik dari dari kelompok nasrani dari Sumatera Utara jelas dan murni tindakan paling disenangi provakator untuk membuat sebagian warga cemas sehingga ada yang melarikan diri ke Sumut sementara yang tertinggal mempersiapkan dirinya seadanya. Ternyata, warga yang tertinggal dengan persiapan seadanya TIDAK terjadi apa-apa pada mereka.
  • Dua hari setelah peristiwa tersebut atau pada 15/10/2015 sejumlah warga yang minggat ke Sumut kembali lagi ke Aceh Singkil dan tidak terjadi apa-apa pada tumah dan perkebunan atau tempat usaha yang mereka tinggalkan.
  • Ironisnya hasil pengamatan intelijen, yang mengungsi justru warga yang jauh (lebih 1 jam perjalanan) dari lokasi tempat kebakaran Gereja, sementara warga yang tinggal sekitar Gereja terbakar TIDAK mengungsi, sebagaimana diungkapkan Pandam Iskandar Muda, Mayjen Agus Kriswanto kepada pers, Sabtu 17/10/2015.
  • Hari ini, suasana telah normal kembali. Sebagian besar pengungsi yang berjumlah 5000-an orang telah kembali ke rumahnya tanpa gangguan apapun. Bupati Aceh Singkil, Safriadi dalam kata sambutan dan suasana haru biru menyambut kepulangan kembali warganya menyatakan telah mengeluarkan surat izin bagi sebuah rumah ibadat yang disambut tepuk tangan dan teriakan gembira para warga yang sempat cemas dengan aksi di tempatnya pada Selasa kelabu yang lalu. Sementara itu, di daerah tetangga penggalangan dana untuk pengungsi Singkil(kotak amal) langsung beredar, seperti di Sibolga dan di Dari.

Dari beberapa indikasi di atas menunjukkan bahwa dampak negatif kerusahan berat yang diharapkan oleh provokator tidaklah separah yang diharapkan meski sempat mencederai hubungan ke dua umat yang telah hidup damai berdampingan berpuluh tahun lamanya.

Peristiwa itu jelas membuat malu karena mau tidak mau melekat stigma tak sedap tentang Aceh: barbar, egois, intoleransi dan dominan atau tidak menjadi pelindung bagi minoritas mencuat ke seantero dunia, menodai sikap toleransi yang justru melekat dan sangat dijaga selama ini, bahkan selama 30 tahun konflik politik dan keamanan masa lalu pun kondisi kerukunan ummat beragama dapat dipelihara.

Meski kecolongan karena warganya ditunggangi provokator menyebabkan salah seorang warga penyerang meninggal dunia tapi Pemda dan aparat keamanan cepat dan sigap menangkap provokator yang dituding sebagai pengipas dan pemanas melalui sms dan pelaku yang dituduh melakukan aksi pembakaran.

Harus kita akui proses penanggulangan dan koordinasi penanganan kasus Singkil sangat baik. Beberapa jam lalu -saat tulisan ini dibuat- Polda Aceh telah menangkap tiga orang yang disangka membakar rumah ibadah (gereja), yaitu Irwan (20), warga Buluhseuma, Kecamatan Suro, Nawawi (35), warga Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan, dan Saiful (27), warga Tanah Merah, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil.

Badan Intelijen Negara republik Indonesia (BIN) mengakui BIN tidak kecolongan. Pihaknya yang bertugas di Aceh telah memberi informasi pada pihak terkait tentang potensi ancaman yang ditimbulkan oleh provokator yang menunggangi situasi tesebut sehari sebelum peristiwa yang kita sesalkan tersebut. Hal ini disampaikan oleh kepala BIN, Sutyoso kepada pers kemarin (16/10). Sumber :kompas.com

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline