Mohon tunggu...
Kirana
Kirana Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kyai Ma'ruf Turun Gelanggang Lagi untuk Bereskan Urusan Kebangsaan

17 November 2018   17:38 Diperbarui: 17 November 2018   17:42 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diakui atau tidak, kondisi Indonesia hari ini ditandai dengan besarnya dosis agama yang kembali menguat di setiap momen menghadapi kontestasi politik untuk merebut jabatan-jabatan publik.

Penggunaan dosis agama (atau tepatnya libido agama) dalam berpolitik inilah yang sering kita sebut dengan politisasi agama, yakni upaya menjadikan agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan politik.

Seturut catatan kita, politisasi agama dengan cara yang lebih vulgar hadir pada Pemilu 2014 lalu. Kala itu, terdapat salah satu calon presiden diidentikkan sebagai musuh agama tertentu, bahkan disebut sebagai musuh ulama.  

Sentimen tersebut tak mati meskipun kontestasi telah usai. Pilkada DKI Jakarta 2017 benar-benar memberi pelajaran berharga betapa politisasi agama menyebabkan polarisasi tiada akhir di masyarakat.

Ini bukan soal tak bisa move on, tetapi kita memang harus menjadikan Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 lalu, sebagai arena pertarungan politik agama terakhir supaya perpecahan di masyarakat lekas berakhir.

Akan tetapi, politik identitas yang menonjolkan isu berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) diperkirakan akan kembali menggejala, terutama di Pemilu Presiden 2019. Langkah antisipasi mesti dioptimalkan, termasuk dengan menyempurnakan regulasi terkait dengan penggunaan isu SARA.

Mengingat pada kontestasi politik di tingkat lokal pada tajuk Pilkada Serentak tahun ini, terbukti tren peningkatan politisasi agama itu tak kunjung turun. Menurut catatan Setara Institute, penggunaan agama sebagai instrumen politik, politik kekuasaan, dalam pilkada itu sangat marak sejak Februari hingga masa pencoblosan.

Hasil temuan Setara Institute menunjukkan bahwa politisasi agama yang banyak digunakan terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu gerakan tidak memilih pemimpin yang tidak seagama dan kampanye hitam atau black campaign. Cara memolitisasi agama pada pilkada kemarin adalah merekayasa fakta.

Kondisi di atas bertubi-tubi menghujani kehidupan berbangsa kita. Ini gawat sekaligus darurat. Bila diteruskan maka akan berurat akar dalam kehidupan anak cucu kita nanti.

Di tengah kondisi seperti ini, maka bisa dikatakan tepat jika seorang ulama (sesungguhnya) ikut dalam kontestasi politik. Tujuannya bukan menegaskan politisasi agama, melainkan untuk mendamaikan persoalan kebangsaan dan keagamaan.

Kita sadar bahwa akar dari polarisasi agama di momen kontestasi politik itu karena elit-elit politik menggunakan kaki-tangan ulama tertentu untuk memobilisasi dukungan yang bertendensi ke 'aku' dan 'mereka' atas dasar agama. Di sana telah hilang identitas bersama sebagai satu bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun