Mohon tunggu...
Suparmin
Suparmin Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Tebarkanlah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar #4 | Biarin

25 Februari 2020   08:03 Diperbarui: 25 Februari 2020   08:26 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya mulai tulisan ini dengan cerita sederhana tapi cukup menohok untuk pembelajaran kita di sekolah. Cerita pertama dimulai ketika saya mengantar istri ke pasar. Pagi-pagi di hari Ahad. Setelah sampai di pasar, saya mempersilakan istri untuk berbelanja dan membuat janji tempat jemputan lengkap dengan waktu yang disepakati.

Saya dan anak yang kebetulan ikut pagi ini melanjutkan perjalanan ke sebuah gerai Anjungan Tunai Mandiri. ATM-nya terletak di sebuah pusat perbelanjaaan berjejaring nasional. Setelah mengambil uang di ATM, anak saya merengek untuk dibelikan sesuatu. Saya belikan, bayar di kasir, lalu meluncur untuk menjemput istri. 

Ketika sampai di pasar, istri telah menunggu di pinggir jalan. Motor saya hentikan pas di depannya. Anakku yang tadi saya belikan sesuatu, tiba-tiba berteriak ke ibunya. "Mak, saya dipassangin oleh ayah untuk membeli ini." Katanya sambil memperlihatkan apa yang dibelinya. Saya langsung berkerut. 

Sebagai guru bahasa Indonesia, sedikit kaget dengan kalimat yang baru terlontar dari anakku. "Passangin" kata ini agak janggal. Entah dari mana dia menemukannya. Terus terang, sudah 4 tahun lebih bersamanya, saya tidak pernah mengucapkan kosa kata itu di depannya. Ternyata, maksud "Passangin" adalah dibiarkan. 

Wow, campur kode bahasa Makassar dan dialek Jawa. Ha..ha... mungkin gabungan itu dia peroleh setelah mendengar sinetron-sinetron atau acara-acara di televisi. Tapi, begitulah merdeka belajar dalam bahasa sehari-hari. Yang paling penting adalah lawan bicara paham dengan apa yang diucapkan. Senyuman pun, terkadang mampu dimaknai panjang lebar tanpa diikuti sepatah kata. Demikian untuk cerita yang pertama.

Kita lanjutkan ke cerita kedua. Kejadiannya masih di hari Ahad. Kalau cerita pertama pagi, kali ini waktunya sore hari. Setelah saya salat Asar, saya singgah berbelanja di sebuah toko penyedia sembilan bahan pokok. Istri memesan sesuatu. Saya tanyakan ke penjual dan ternyata ada. Oh, ternyata yang menjaga toko tersebut alumni sekolah tempat saya mengajar. 

Tidak hanya di situ, ternyata dia adalah anak perwalian saya ketika masih duduk di bangku SMA. Saya merunut ingatan. Sempurna. Saya mengingatnya sebagai siswa yang berprestasi. Sikap dan karakternya pun baik. Sayang, dia memilih untuk tidak kuliah. Atau mungkin terpaksa untuk tidak kuliah. Cukup. Lanjutkan saja ke pesanan saya tadi. 

Saya tanya mengenai harganya. Dia sampaikan, 4.500 rupiah. Saya pesan empat. Diambilnya empat lalu diserahkan kepada saya dalam kantongan kecil. Kuserahkan uang 100 ribu rupiah. Lama kutunggu kembaliannya. Kuintip ke dalam, rupanya dia mengambil kalkulator lalu menghitungny. Tangannya pelan menekan tombol pada kalkulator telepon genggamnya. "Delapan belas ribu, Pak". 

"Iya," jawabku. Kuambil kembaliannya lalu segera menuju sepeda motor. Menggelengkan kepala dan sedikit heran. Empat barang dengan harga 4.500 rupiah per satuan mesti dihitung dengan kalkulator oleh lulusan SMA yang, seingat saya, berprestasi? Apa yang salah ya? Apakah dia sudah sedikit amnesia? Atau dia hanya butuh ketelitian? Atau perintah pemilik toko, setiap transaksi wajib menggunakan kalkulator? Entahlah. Saya tetap berpikir positif.

Merdeka belajar

Yang saya ingin diskusikan kali ini adalah tujuan pembelajaran di sekolah. Tujuan pembelajaran, biasanya, selama ini hanya disusun oleh pendidik dengan mengikuti regulasi kurikulum yang ada. Tujuan pembelajaran yang tertera pada struktur kurikulum dan buku teks, itu pulalah yang dikopi mentah-mentah oleh pendidik dalam menyusun rencana pembelajaran. 

Padahal, seharusnya pendidik dan peserta didik pada pertemuan awal mesti mendiskusikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Tujuan pembelajaran ini mesti berdampak nyata dalam kehidupan peserta didik. 

Apa manfaatnya kita mempelajari sebuah materi atau topik. Apakah materi tersebut memiliki manfaat langsung terhadap diri peserta didik atau hanya menjadikan peserta didik untuk menghayal dalam pembelajaran tanpa mengetahui ke mana arah tujuan pembelajaran tersebut.

Cerita pertama dari anak saya menggambarkan bahwa merdeka belajar itu menggambarkan kemerdekaan dalam memilih sesuatu terhadap pembelajaran. Intinya, apa yang kita pelajari dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Logat Jawa dalam sinetron yang sering menambahkan morfem --in (biarin, antarin, sayangin, dan simpanin) setiap akhir kata telah dicerna dengan baik oleh anak saya. 

Dia lalu berusaha untuk menggunakannya dalam keseharian yang dia tidak paham bahwa komunitasnya bukan orang Jawa. Lahirlah kata 'passangin' itu yang dia maknai "membiarkan". Bukankah komunikasi itu adalah saling paham. 

Cerita kedua di sebuah toko sembako menggambarkan sesuatu yang agak aneh buat saya. Apalagi, penjaganya seorang lulusan SMA. Hitungan sederhana harus dilakukan dengan menggunakan kalkulator. Terlepas dari standar kerja, pertanyaan saya mengawang-awang, apa yang perlu diperbaiki dalam pembelajaran yang telah dilaluinya selama 12 tahun. 

Bahkan pada tingkat SMA, pembelajaran perhitungan sudah semakin variatif. Mulai dari hitungan sederhana, hingga hitungan yang rumit sekalipun. Semuanya muncul dan dipelajari dengan sangat telaten. Lalu, ketika berada pada dunia kerja, perhitungan 4.500 rupiah dikali 4 pun harus menggunakan kalkulator. 

Saya teringat dengan sebuah toko penjualan alat-alat listrik yang pernah saya kunjungi. Penjaganya, yang tidak lulus SMP, mampu menghitung dengan cekatan pembelanjaan saya yang mencapai ratusan ribu rupiah. Tanpa kalkulator pastinya.  

Inilah perlunya tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran itu mesti didiskusikan. Mesti dikaitkan ke dunia nyata peserta didik. Harapannya, proses yang dilakukan dengan intens di sekolah mampu berimplikasi positif terhadap kehidupan nyata peserta didik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun