Mohon tunggu...
AMIR EL HUDA
AMIR EL HUDA Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Laki-laki biasa (saja)

Media: 1. Email: bangamir685@gmail.com 2. Fb: Amir El Huda 3. Youtube: s https://www.youtube.com/channel/UCOtz3_2NuSgtcfAMuyyWmuA 4. Ig: @amirelhuda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

'Pesantren Kesehatan Mental', Lokasi Terapi Gangguan Jiwa di Pulau Dewata

26 Oktober 2016   15:10 Diperbarui: 26 Oktober 2016   17:25 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
papan nama ponpes, di tepi jalan utama lintas selatan

Berbicara tentang pondok pesantren di Pulau Jawa, itu sudah hal yang lumrah alias biasa. Lalu bagaimana halnya dengan keberadaan pondok pesantren di Pulau Dewata, tentu ini menjadi hal yang luar biasa. Kedua-duanya membawa tujuan yang sama, membangun sumber daya manusia yang tangguh, tahan banting, menyebarkan misi damai dalam Islam, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Namun, tantangan yang dihadapi sangat berbeda.

Ponpes Thoriqul Mahfudz, salah satu ponpes di Bali berdiri sejak tahun 1996 tepat di tepi jalan utama Bali, yaitu Jalan Raya Gilimanuk - Denpasar Km 12, Sumbersari Melaya, Jembrana, Bali. Perbincangan dengan Kyai Marzuki, pengasuh Ponpes Thoriqul Mahfudz berjalan ke belakang menembus ruang waktu, menuju kenangannya di masa lalu, masa awal embrio ponpes ini muncul. Awalnya, bangunan ponpes yang sekarang ditempati sekitar 70-an santri putra-putri ini hanya berupa gubug bambu dan bangunan yang ala kadarnya saja, tempat mengaji sederhana sekaligus tempat beristirahat para santri ponpes yang mengusung metode sistem tradisional (salaf) ini.

Pengasuh yang merupakan alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, Situbondo, menceritakan bahwa pada awal pendirian ponpes ini menghadapi banyak tentangan dari masyarakat sekitar yang tidak beragama Islam, dan juga cibiran pesimis akan keberlangsungan ponpes ke depannya.

Penentangan masyarakat pada dasarnya karena belum tahu visi dan misi ponpes sebagai lembaga pengembangan kualitas sumber daya manusia, utamanya yang beragama Islam. Mereka menganggap bahwa ponpes adalah lembaga berbahaya yang mengancam kehidupan masyarakat di sana, dalam filosofi Arab diterangkan “Al Insaanu A’daau maa jahiluu” (manusia akan memusuhi apa yang tidak diketahuinya).

Ditambah dukungan dari pemerintah daerah yang sangat kurang, semakin membuat pertumbuhan ponpes ini terseok-seok dan berjalan lamban. Akan tetapi hal itu semua tidak membuat Sang Kyai berputus asa, beliau sangat yakin bahwa mendakwahkan Islam tidak bisa ditempuh dengan instan, memaksa masyarakat, akan tetapi dengan kelembutan, contoh yang baik, kesabaran, pendekatan sosial-budaya, serta memaksimalkan semua ilmu yang sudah dipelajarinya.

bangunan di samping masjid adalah kelas, sekaligus kamar santri
bangunan di samping masjid adalah kelas, sekaligus kamar santri
Rata-rata penduduk muslim di Bali lebih tertarik untuk memondokkan putra-putri mereka di Pulau Jawa. Banyak alasan yang mempengaruhinya, seperti usia pondok-pondok pesantren di Jawa jauh lebih tua, sehingga dianggap lebih baik sistem pendidikannya karena melihat kiprah para alumninya. Lingkungan sekitar pesantren lebih populer dijadikan alasan orang tua untuk memondokan anak-anaknya di Jawa dibandingkan di Bali.

Kondisi masyarakat Bali yang multi kultural, pergaulan bebas yang terkenal, paha-paha mulus dan dada putih yang banyak berseliweran memang menjadi hal yang layak diwaspadai oleh orang tua manapun. Karena sedikitnya santri, pengasuh pondok terjun langsung ke masyarakat dan mengumpulkan anak-anak yatim/piatu, pemuda yang tidak mampu mondok di Jawa atau sekolah umum, pengguna narkoba yang menginginkan sembuh akan tetapi malu ataupun tidak mempunyai biaya rehabilitasi, dapat belajar ilmu agama secara gratis di Ponpes Thoriul Mahfudz.

Hal ini bukan berarti kyai menginginkan punya santri, atau kepengen diakui sebagai tokoh agama, akan tetapi menunjukkan kesungguhan dan keikhlasan seorang kyai untuk menyelamatkan putra-putri bangsa dari pergaulan yang salah, untuk mengarahkan pemuda dan pemudi bangsa ke arah masa depan yang cerah.

Sistem ngaji atau sistem belajar menggunakan kitab kuning sebagai mana yang jamak dilakukan di Jawa tidak serta merta bisa dilakukan di sini. Pada tahap awal santri diajari dasar-dasar agama, penanaman nilai-nilai tauhid (ketuhanan), dan pengetahuan agama secara umum. Mayoritas santri yang baru masuk masih asing dengan huruf serta tulisan Arab, kalau langsung diajari kitab kuning yang tanpa tanda baca, bukan pemahaman yang akan santri dapatkan, melainkan tambahan mumet, tidak mengerti, dan malah akan menjauh dan membenci belajar. Sebagai solusinya Santri menerima pelajaran berdasarkan catatan-catatan Pak Kyai merujuk pada kitab kuning.

Disinggung mengenai penamaan 'ponpes kesehatan mental', Pak Kyai gagah berkumis lebat ini tersenyum sambil menjelaskan bahwa ponpes sering didatangi orang untuk berkonsultasi dan berobat gangguan kejiwaan. Yang menjadi 'dokter' penyakit jiwa di ponpes ini adalah Pak Kyai, asatidz (guru-guru), juga para santri. Bagi santri, hal ini merupakan bekal berharga bagi mereka setelah terjun ke masyarakat nantinya. Metode pengobatan dilakukan menggunakan air yang diberi nama 'hydro teraphy' dilakukan dengan membaca doa dan dzikir.

Pasien yang beragama Islam diajak berdzikir dan berdoa bersama, sementara itu yang beragama selain Islam atau bahkan tidak beragama dipersilakan untuk berdoa sesuai dengan keyakinannya. Setelah pembacaan doa, air yang sudah diberi doa diminumkan dan dimandikan kepada pasien.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun