Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Yang Mulia dan Akal Sehat

17 Desember 2015   05:18 Diperbarui: 17 Desember 2015   10:34 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Tak dapat dipungkiri, manusia adalah makhluk Allah yang mulia. Kemulian manusia di atas  semua makhluk, termasuk malaikat. Kemulian manusia tergambar sangat jelas sejak awal penciptaannya. Allah SWT memerintahkan malaikat juga iblis untuk hormat kepada nabi Adam as, bapak manusia. Malaikat menaati, iblis menolak perintah.  Allah SWT memuliakan Adam as karena telah mengajarkannya berbagai pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimiliki menjadikan Adam as lebih mulia dibanding dengan malaikat dan iblis.

Lebih jauh, kemulian manusia dikarenakan akal yang dimilikinya. Akal tidak dianugrahkan Allah pada makhluk lain. Akal telah mengangkat derajat manusia. Karenanya akal harus dijaga. Tidak berfungsinya akal akan mejatuhkan manusia pada derajat terendah. Dalam Al Alquran dijelaskan, mereka yang memiliki mata tapi tak melihat, memilki telinga tapi tak mendengar, memilki akal tapi tak bisa berpikir diibaratkan seperti binatang, bahkan lebih sesat. Untuk itu, Allah SWT seringkali memperingatkan manusia, apakah kalian menggunakan akal? Apakah kalian berpikir?

Akal menjadi sesuatu yang sangat berharga. Keberadaannya menunjukkan keberadaan manusia. Manusia yang tak berakal karena gila misalnya tak bisa lagi menyandang predikat manusia, sang khalifah bumi. Akal merupakan identitas manusia yang tak terpisahkan. Akal didefinisikan sebagai suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikanformal maupun informal, dari manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah. (https://id.wikipedia.org/wiki/Akal)

Akhir-akhir ini, publik dipusingkan dengan “Yang Mulia”. Sebuah sebutan yang khusus ditunjukkan kepada anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Dalam persidangan etik dengan teradu Ketua DPR, Setya Novanto dalam kasus papa minta saham,  MKD mengaharuskan pemanggilan atau penyebutan mereka dengan “Yang Mulia”. Entah apa motivasi dan tujuannya? Bisa jadi sebagai upaya menjaga kehormatan dan kemulian mereka secara verbal. Atau mereka sedang mempertahankan kemanusian  yang disandang, sebagai makhluk Allah yang termulia. Walau demikian, kehormatan dan kemulian mereka tetap dipertanyakan. Tentu bukan karena ungkapan “Yang Mulia” yang digunakan dalam persidangan tapi lebih jauh karena prilaku, sikap, pola pikir, logika yang dipertontonkan oleh mereka sendiri, yang jauh dari akal sehat.

Ungkapan “Yang Mulia” bukan saja terasa ganjil di telinga, tapi menunujukkan bentuk feodalisme. Dan ungkapan itu sebenarnya sudah lama dihapus dari bumi Nusantara. Seperti yang diingatkan oleh Martin Hutabarat, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Parta Gerindra, bahwa sebutan “Yang Mulia” itu sudah dihapus  sejak 50 tahun yang lalu. Sebutan “Yang Mulia” telah dihapus oleh MPR dengan TAP MPR Nomor XXXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan “Paduka Yang Mulia” (PYM), “Yang Mulia (YM), “Paduka Tuan” (PT dengan sebutan Bapak/Ibu/ atau Saudara/Saudari.

Keputusan yang ditunggu

Setelah kurang lebih satu bulan, kasus perpanjangan Freeport, pencatutan nama Presiden atau yang lebih dikenal dengan papa minta saham menjadi perhatian masyarakat, MKD telah menggelar sidang sebanyak empat kali. Tiga kali dilakukan terbuka, satu kali tertutup. MKD telah menyidangkan Sudirman Said sebagai pengadu, Setya Novanto sebagai teradu, dan dua orang saksi yakni Ma’ruf Syamsuddin serta Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan.  Dalam sidang MKD, rekaman pembicaraan Setya Novanto, Reza Chalid, dan  Ma’ruf Syamsuddin yang menjadi alat bukti diperdengarkan. Masyarakat dengan sangat jelas memahami betapa tidak etis pembicaran mereka.

Kaitan dengan pertemuan,  baik Setya Novanto maupun Ma’ruf Syamsuddin telah mengakui, membenarkan. Bedanya, Setya Novanto  menolak rekaman dijadikan alat bukti karena dianggap ilegal. Setya Novanto juga  mempertanyakan kembali legal standing pengadu. Padahal dalam sidang sebelumnya MKD telah mendatangkan ahli bahasa untuk meminta pendapat terkait pasal tentang pengaduan. Dan MKD telah memutuskan untuk melanjutkan, memproses pengaduan Sudirman Said.

Sepanjang persidangan, akrobatik politik dilakukan oleh anggota MKD. Berbagai cara, pola, logika ditampilkan. Sebagian anggota MKD sudah tak mampu melihat kebenaran dengan akal sehat. Logika mereka terlihat berputar-putar, mengesampingkan akal. Pertanyaanya, mampukah MKD menggunakan akal sehatnya dalam mengambil keputusan? Bila tidak, maka kemulian “Yang Mulia” akan menjadi bahan olok-olokan.

Rakyat dibuat gemas, kesal, dan marah menyaksikan mereka. Kepercayaan masyarakat pada MKD khususnya atau DPR umum berada pada titik paling rendah. Tokoh masyarakat hingga Presiden mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya dengan cara dan logika masing-masing. Bahkan seorang sosiolog Imam Prasejo mengungkapkannya dengan puisi yang bernada pedas, ijinkan aku meludai wajahmu yang mulia.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun