Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

OTT, Masih Perlukah?

17 September 2017   15:11 Diperbarui: 17 September 2017   21:38 2357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang menarik untuk didiskusikan terkait apa yang disampaikan sejumlah kalangan terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK). Jaksa Agung HM Prasetyo misalnya,  menilai praktik pemberantasan korupsi melalui operasi tangkap tangan ( OTT) kerap menimbulkan kegaduhan. OTT tak mampu meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. 

Walau HM Prasetyo tak menyebut penegak hukum yang dimaksudnya kerap melakukan OTT, jelas semua pihak memahami kepada siapa ungkapan itu ditujukan. KPK tentunya. Sebab selama ini  KPK-lah  yang sering melakukannya. OTT menjadi senjata andalan KPK dalam memberantas korupsi. Keinginan Presiden Jokowi guna memperkuat KPK seperti bertolak belakang dengan pandangan Jaksa Agung. Sikap dan pernyataan HM Prasetyo itu berimplikasi pada posisi pemerintah yang dianggap melemahkan KPK.

Setali tiga uang, politisi partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan OTT KPK telah menunjukkan kelemahan bangsa Indonesia. OTT membuat malu bangsa ini di mata dunia internasional. Pemerintah  harusnya lebih fokus dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. OTT  hanya menghabiskan energi bangsa. Terlalu banyak energi nasional dihabiskan untuk urusan-urusan seperti ini. Kita sepantasnya sudah pandai bagaimana menggunakan  energi untuk kepentingan dan kebaikan bangsa ini.

Lebih jauh, wakil ketua DPR Fahri Hamzah mengaku prihatin dengan gencarnya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK). Bagi Fahri, langkah KPK ini telah merusak citra positif Indonesia yang tengah dibangun oleh Presiden Joko Widodo. Dalam berbagai kesempatan  Presiden Jokowi menarik investor  datang ke Indonesia. Come to Indonesia, invest, besok ada hakim ditangkap. Come to my country, invest, besok Dirjen ketangkap. Come to Indonesia, invest, besok jaksa ditangkap. Dalam pandangan politisi yang statausnya tak diakui oleh fraksinya PKS tersebut,  OTT seakan merusak nama baik Indonesia.

Menanggapi hal di atas, juru bicara KPK Febri Diansyah menegaskan. KPK memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sedangkan OTT diatur dalam  KUHAP. Selama ini KPK  telah mematuhi aturan yang ada. Kalau ada pihak yang keberatan terhadap OTT yang dilakukan KPK, misal pihak tersangka atau pihak yang dirugikan keberatan dengan seluruh proses penanganan kasus di KPK, ada jalur hukum yang bisa ditemuh seperti praperadilan atau menyampaikan pembuktian dalam proses persidangan.

Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Jaksa Agung, politisi Nasdem Johnny G Plate dan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah merupakan sesuatu yang tak lazim, tak etis. Tak sepatutnya mereka (sebagai pejabat dan tokoh politik) memberi tekanan kepada KPK. KPK sebagai penegak hukum wajib diberi kesempatan berdiri tegak dalam menegakkan keadilan. Siapa pun tak boleh melakukan intervensi, Presiden sekalipun. Hukum kudu berada pada zona nyaman dan aman dari campur tangan politik atau kepentingan apapun. Masyarakat menjadi curiga ada apa dengan mereka? Apa mereka merasa risih dengan OTT KPK? Kenapa mereka risih?

Sebagai lembaga super body yang memberantas korupsi di Indonesia, KPK berpotensi dimusuhi, debenci oleh banyak kalangan. Pihak yang terusik oleh KPK pasti tak tinggal diam. Mereka akan melakukan serangan balik terhadap lembaga yang dipimpin Agus Raharjo tersebut. Karena korupsi sudah merata, mereka pun berada di hampir semua tempat. Di kepolisian, parlemen, kementerian negara, kejaksaan dan berbagai lembaga tinggi negara. Dan OTT sebagai senjata pamungkas yang efektif membekukuk secara langsung praktik korupsi membuat tak nyaman para koruptor. 0TT pun dipertanyakan. Apa OTT masih diperlukan?

Sangat dibutuhkan

Menurut hemat saya, sebagai orang yang awam hukum, OTT tak sekadar masih diperlukan tapi sangat dibutuhkan. Tanpa OTT, KPK bagai sambal tanpa garam. Tak lengkap. Juga kurang efektif. Dan pastinya tak berwibawa lagi. Ada beberapa hal dapat dijadikan alasan. Pertama, OTT tak melanggar aturan yang ada. Seperti disinggung sebelumnya, OTT diatur dalam KUHP.  Dalam Pasal 1 angka 19 KUHP, OTT disebutkan. OTT dilakukan dengan menggunakan penyadapan.

Kedua, mengutip pendapat Eddy OS Hiariej, guru besar Fakulats Hukum UGM Yogyakarta, seperti ditulis Kompas.comdijelaskan bahwa dalam konteks hukum pidana, kejahatan suap (baca korupsi) adalah tindak pidana yang sederhana tetapi sulit dibuktikan. Biasanya antara pemberi suap sebagai causa proxima dan penerima suap selalu melakukan silent operation untuk mewujudkan kejahatan tersebut. 

Bahkan sedapat mungkin meniadakan bukti-bukti bahwa tindak pidana tersebut telah dilakukan. Oleh karena itu, untuk memberantas praktik korupsi berupa suap-menyuap haruslah dilakukan dengan silent operation pula. Nah, pada argumen ini OTT menjadi pilihan tepat bagi KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun