Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Non Muslim Mengingatkan Saya untuk Segera Sholat Berjamaah di Masjid

16 Agustus 2016   12:07 Diperbarui: 14 September 2016   11:27 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kerukunan Umat Beragama (sumber: Kompas.com)

Saat masih kuliah, bisa dikatakan saya termasuk pribadi yang berpikiran bigot. Selalu curiga dengan mereka yang berbeda agama, bahwa mereka selalu berusaha dengan berbagai cara untuk menghancurkan Islam agama saya dan membuat umat Islam terpuruk dan menderita. Hal ini akibat pengaruh doktrin dari liqo’ yang pernah saya ikuti dalam beberapa tahun dan juga pengaruh dari pergaulan dengan kalangan yang juga berpikiran bigot

Suatu ketika saat telah menjadi abdi negara, ternyata saya ditugaskan ke daerah yang kebetulan penduduknya mayoritas non muslim. Hal ini membuat terbersit keinginan untuk tidak berangkat ke tempat tugas yang berarti saya mengundurkan diri sebagai abdi negara. Akan tetapi takdir membuat saya bertahan sebagai abdi negara dan akhirnya berangkat ke tempat tugas di daerah mayoritas non muslim. Ini adalah pertama kali saya akan merasakan hidup sebagai minoritas muslim.

Dari Kapal PELNI yang yang mendekat ke pelabuhan tujuan terlihat salib raksasa terpajang di sebuah pulau. Saat menuju tempat yang akan ditinggali pun melewati banyak gereja aneka rupa di pinggir jalan. Sepanjang jalan saya tak melihat satu masjid pun. Rasa ciut, khawatir dan takut pun menghantui hati dan pikiran.

Perasaan saya lega tatkala melihat sebuah musholla kecil di kompleks perumahan pegawai. Juga terdapat sebuah masjid yang cukup besar yang berjarak sekitar 2 kilometer. Kebetulan mayoritas penghuni kompleks tersebut beragama Islam yang merupakan abdi negara yang berasal dari daerah mayoritas Islam di Indonesia. Saya pun aktif menjadi pengurus musholla kompleks.      

Saat menjelang sholat subuh, saya bergegas ke musholla untuk mengumandangkan azan. Seorang teman mengingatkan agar suara speaker disetel secukupnya saja untuk kebutuhan penghuni kompleks. Hal ini untuk menghormati penduduk sekitar yang tidak beragama Islam, agar jangan sampai mengganggu mereka yang masih beristirahat.

Selesai sholat subuh saya berpapasan dengan penduduk asli. “Bapak, selamat pagi” mereka lebih dulu menyapa dengan ramah. Sayapun membalas sapaan tersebut disertai senyuman ramah. Sama sekali tak terlihat wajah-wajah yang kesal karena merasa terganggu suara azan yang tadi saya kumandangkan. Sepertinya mereka memaklumi ritual azan, apalagi suara speaker disetel dengan lembut jangan sampai berisik dan menyakiti telinga mereka yang tidak membutuhkannya.

Di kompleks kantor, ternyata ada sebuah masjid yang cukup besar namun tidak ada gereja. Padahal daerah ini adalah mayoritas beragama Nasrani. Mayoritas pegawai yang beragama Nasrani melaksanakan ibadah di aula atau ruang rapat kantor. Meskipun begitu suasana tetap harmonis tanpa ada kecemburuan ataupun provokasi terkait hubungan dan interaksi mayoritas-minoritas.

Akan tetapi kelegaan saya kembali berkurang tatkala mengalami insiden yang kurang mengenakkan. Suatu waktu di ruang kerja, bertepatan dengan azan zuhur yang berkumandang dari masjid, ada yang memperlihatkan ketidaksenangannya (Sebut saja Mr.X). Dengan wajah kesal Mr.X membesarkan volume televisi selama azan berlangsung. Saya yang menyaksikan kejadian tersebut merasa campur aduk antara ciut dan tidak terima dengan perlakuannya. Hal ini kembali menguatkan pikiran bigot saya terhadap umat agama lain yang tidak suka dengan agama saya.

Berjalannya waktu, hidup sebagai kalangan minoritas membuat pikiran saya terbuka. Apa yang saya rasakan kala menjadi minoritas tentulah dirasakan juga oleh umat agama lain yang menjadi minoritas di daerah yang mayoritas muslim. Saya pun menjadi lebih peka dan lebih dapat menerima adanya perbedaan.

Kala aktif di kepengerusan masjid kantor, saya dan teman-teman pengurus masjid selalu memikirkan cara agar dapat terus berhubungan baik dengan pegawai dan penduduk yang mayoritas beragama nasrani. Suara speaker disetel seperlunya saja dan hanya dipergunakan saat azan atau pada kegiatan-kegiatan perayaan yang penting-penting saja.     

Dalam hubungan formal dan informal selama di kantor selalu memberikan yang terbaik untuk kebaikan bersama. Kala perayaan hari besar agama baik Islam dan Nasrani, kami semua saling mengucapkan selamat dan berkunjung ke rumah-rumah. Kebetulan juga saya memiliki sedikit pengetahuan komputer khususnya terkait Windows dan internet yang saat itu masih belum familiar di lingkungan kantor. Dengan senang hati saya berbagi informasi dan pengetahuan pada mereka yang penasaran dan ingin belajar, termasuk pada Mr.X.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun