Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengukur Rupiah BLSM Dengan Standar Orang Mampu

28 Juni 2013   10:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:18 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pro dan Kontra terhadap kebijakan pemerintah memberikan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat atau BLSM adalah sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Berbagai tanggapan, pernyataan bahkan analisis disampaikan untuk mendukung argumentasi masing-masing.

Membaca dan mencermati pendapat mereka yang menolak adanya BLSM, saya tergelitik dengan beberapa argumen yang meremehkan jumlah rupiah BLSM yang diberikan pemerintah kepada masyarakat miskin. BLSM yang “hanya” sebesar Rp150.000,- dianggap tidak berguna, membuat malas, menjadikan rakyat pengemis dan sebagainya. Ada juga yang meremehkan “besarnya” rupiah BLSM tersebut dengan mengukurnya pada pengeluaran pribadi masing-masing. “Bagi saya Rp150.000,- cuma untuk beli pulsa selama sebulan”. “BLSM tidak dapat membantu untuk membayar biaya-biaya yang melonjak seperti membayar listrik, membeli gula, dan sebagainya”. “Rp150.000,- tidak bermanfaat apa-apa bagi masyarakat”

Benarkah demikian? Untuk memastikan apakah BLSM itu bermanfaat atau bukan tentu saja kita harus menanyai satu-persatu masayarakat miskin yang menerimanya. Cukup tanyakan dua pilihan: apakah BLSM bermanfaat atau tidak? Tidak perlu dipancing-pancing dengan pernyataan dan pertanyaan yang panjang-panjang yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Bukankah sebelum ada BLSM pengemis sudah sangat banyak, pengangguran memang sebuah keniscayaan dan sebagainya? Apa hubungannya hal itu dengan argumen BLSM tidak bermanfaat, tidak menolong, membuat malas dan sebagainya?

Saya menganggap BLSM layak untuk masyarakat miskin, sekali lagi untuk orang-orang miskin. Orang miskin yang dimaksudkan tentu saja mereka yang selama ini sebelum kenaikan BBM hanya punya satu pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu memilih harga yang paling rendah diantara yang lainnya. Anggap saja kebutuhan beras telah dipenuhi oleh program raskin, namun apakah mereka hanya makan beras yang dijadikan nasi, bubur, atau bahkan kerak saja? Setidaknya mereka juga perlu membeli bahan makanan lain untuk lauk pauk yang sangat sederhana dan terbatas sebagai penambah selera dan sumber protein agar lebih fit dan kuat bekerja. Bahan makanan lain inilah (seperti mie instant, garam, bawang, sayur, dan kadang-kadang tahu, tempe, telur yang dipotong kecil-kecil agar semua anggota keluarga kebagian) yang harganya akan naik dan menjadi tidak terjangkau orang-orang miskin karena penghasilannya tidak ikut meningkat.

Mungkin ada orang-orang miskin yang malas, namun sangat banyak orang-orang miskin yang rajin berusaha namun penghasilannya menjadi tak cukup menjangkau harga-harga terendah yang sebelum kenaikan BBM masih bisa dijangkau. Disinilah peran penting BLSM. Bila sebelumnya harga garam per 250 gram hanya Rp500,- masih mampu dibeli, namun saat naik menjadi Rp600 atau lebih mereka jadi berpikir keras untuk membelinya bahkan melakukan penghematan. Saat itulah BLSM menjadi dewa penolong, kebutuhan garam yang penting untuk pelengkap rasa makanan dan gizi manusia menjadi tetap terbeli dan tak perlu dikurangi. Tempe yang semula harganya Rp5.000,- per potong menjadi naik menjadi Rp6.000,- atau lebih, satu telur yang didadar besar atau direbus kemudian dipotong empat untuk dibagi-bagi, yang mungkin hanya di makan seminggu sekali harganya menjadi Rp3.000 per butir, belum lagi minyak sayur, terasi dan kebutuhan pokok minimal lainnya yang harga-harganya juga naik. Saat itulah BLSM terasa sangat banyak manfaatnya bagi rakyat miskin.

Memang BLSM tidak akan mengangkat mereka dari kemiskinan, namun setidaknya akan mempertahankan daya beli masyarakat miskin terhadap kebutuhan pokok yang biasa mereka nikmati sehari-hari. Apalagi BLSM dimaksudkan hanya untuk sementara, setelah itu pemerintah akan membuat program-program pemberdayaan masyarakat miskin agar masyarakat menjadi mandiri. Adapun kasus-kasus yang terjadi terkait penyalahgunaan ataupun penyaluran BLSM tidak bisa menjadi pembenaran bahwa BLSM tersebut tidak berguna, tidak bermanfaat. Masih banyak masyarakat miskin yang sangat bersyukur bisa mendapatkan BLSM tersebut.

Untuk mengetahui secara pasti apakah BLSM itu berguna, bermanfaat atau tidak, maka cobalah menjadi orang miskin yang seringkali hanya bisa makan nasi dari beras raskin dengan garam, makan sehari tidak tentu kadang satu atau dua kali. Bila sudah merasakannya maka barulah kita bisa mengetahui betapa besar manfaat Rp150.000,- BLSM itu bagi rakyat miskin. BLSM bukan untuk membeli pulsa, voucher, rokok, kopi dan gula, apalagi untuk membeli BBM karena dipastikan rakyat miskin tidak mampu membeli kendaraan. BLSM diberikan agar kebutuhan minimal masyarakat miskin dapat tetap terjangkau sehingga jangan sampai usaha mereka terganggu gara-gara tidak bisa makan seperti sebelum harga BBM bersubsidi naik. Jangan ukur manfaat Rp150.000,- BLSM dari kebiasaan kita membeli pulsa, makan tiga kali sehari dengan rendang dan ayam, atau kemana-mana lancar dengan kendaraan pribadi masing-masing yang masih menggunakan BBM bersubsidi.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun