Mohon tunggu...
Amirrulloh Amril
Amirrulloh Amril Mohon Tunggu... Freelancer - personal blog

personal blog

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

penelitian waria

22 November 2012   23:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:49 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kajian Psikologi Dakwah: mengenal objek dakwah dan psikologisnya (waria)

diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas penelitian pada matakuliah Psikologi Dakwah

Disusun oleh:

Amirrulloh

1211402007

Komunikasi dan Penyiaran Islam

Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negri

Sunan Gunung Djati Bandung

2012

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang Masalah

Hampir semua orang mengenal waria (wanita tapi pria), waria adalahindividu yang memiliki jenis kelamin laki-laki tetapi berperilaku dan berpakaian seperti layaknya seorang perempuan. Waria merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat, namun demikian jumlah waria semakin hari semakin bertambah, terutama di kota-kota besar. Bagi penulis wariamerupakan suatu fenomena yang menarik untuk diteliti karena dalam kenyataannya, tidak semua orang dapat mengetahui secara pasti dan memahami mengapa dan bagaimana perilaku waria dapat terbentuk.

Perilaku waria tidak dapat dijelaskan dengan deskripsi yang sederhana. Konflik identitas jenis kelamin yang dialami waria tersebut hanya dapat dipahami melalui kajian terhadap setiap tahap perkembangan dalam hidupnya. Setiap manusia atau individu akan selalu berkembang, dari perkembangan tersebut individu akan mengalami perubahan-perubahan baik fisik maupun psikologis. Salah satu aspek dalam diri manusia yang sangat penting adalah peran jenis kelamin. Setiap individu diharapkan dapat memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya. Keberhasilan individu dalam pembentukan identitas jenis kelamin ditentukan oleh berhasil atau tidaknya individu tersebut dalam menerima dan memahami perilaku sesuai dengan peran jenis kelaminnya. Jika individu gagal dalam menerima dan memahami peran jenis kelaminnya maka individu tersebut akan mengalami konflik atau gangguan identitas jenis kelamin.

Berperilaku menjadi waria memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah: penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2000) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran. Karena belum diterimanya waria dalam kehidupan masyarakat, maka kehidupan waria menjadi terbatas terutama pada kehidupan hiburan seperti ngamen, ludruk, atau pada dunia kecantikan dan kosmetik dan tidak menutup kemungkinan sesuai realita yang ada, beberapa waria menjadi pelacur untuk memenuhi kebutuhan materiel maupun biologis. Pakar kesehatan masyarakat dan pemerhati waria, Gultom (2002) setuju dengan pendapat seorang waria yang bernama Yuli, bahwa waria merupakan kaum yang paling marginal. Penolakan terhadap waria tidak terbatas rasa “jijik”, mereka juga ditolak untuk mengisi ruang-ruang aktivitas: dari pegawai negeri, karyawan swasta, atau berbagai profesi lain. Bahkan dalam mengurus KTP, persoalan waria juga mengundang penolakan dan permasalahan, maka sebagian besar akhirnya turun dijalanan untuk mencari kebebasan (Kompas, 7 April 2002)

Perlakuan yang tidak adil terhadap waria, tidak lain adalah disebabkan kurang adanya pemahaman masyarakat tentang perkembangan perilaku dan dinamika psikologis yang dialami oleh para waria, sebab selama ini pemberitaan-pemberitaan media, baik media cetak maupun media elektronik, belum sampai menyentuh pada wilayah tersebut. Berdasar atas realitas tersebut peneliti menganggap penting untuk memahami lebih dalam mengenai waria, kebutuhan-kebutuhan atau dorongan yang mengarahkan dan memberi energi pada waria, tekanan-tekanan yang dialami, konflik-konflik yang terjadi, hingga bagaimana mekanisme pertahanan diri yang akan digunakan oleh waria tersebut. Cara yang paling tepat adalah dengan mempelajari dinamika kepribadian beserta faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan hidupnya, dimana hal ini dapat diketahui dengan menghubungkan masa lalu, masa kini dan antisipasi masa depan orang tersebut.

2.Rumusan Masalah

Dari Latar Belakang di atas, kita dapat mengambil beberapa Rumusan Masalah, yaitu sebagai berikut :

1.Apa yang dimaksud dengan Waria itu ?

2.Bagaimana pandangan Islam terhadap Waria?

3.Bagaimana keadaan psikologis seorang Waria?

4.Bagamanakahpandangan Dakwah terhadap Waria?

5.Metode dakwah apa yang tepat terhadap waria?

3.Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat selain untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah psikologi dakwah, juga betujuan untuk mengetahui hal-hal berikut di bawah ini:

1.Memahami Tentang Waria,

2.Pandangan Islam terhadap waria,

3.Psikologis seorang waria,

4.Sikap dakwah terhadap waria, dan

5.Metode dakwah terhadap waria.

4.Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode atau pendekatan eksploratif kualitatif dengan rancangan studi kasus dengan mengambil sampling sebgai objek penelitian yang dirasa cukup bisa mewakili suatu komunitas tertenu dalam hal ini “waria” sebagai sumber objek kajiannya. Penelitian dilakukan dilokasi tempat mangkal para waria yaitu di sepanjang rel kereta api (kiara condong) dan perempatan Buah batu Bandung. Untuk menperoleh data peneliti mengunakan proses wawancara atau interview, Walaupun sudah dilakukan interview, peneliti juga melakukan observasi untuk memperoleh informasi-informasi mengenai perasaan-perasaan subjek penelitian.

Untuk mendukung penyusunan laporan penelitian ini, selain metode-metode yang telah disebutkan di atas tadi, peneliti juga menggunakan metode kepustakaan, yaitu mengkaji berbagai sumber yang berhubungan dengan kajian penelitian.

PEMBAHASAN

A.Pemahaman Tentang Waria

Dunia waria merupakan kehidupan yang relatif unik dan menarik serta aneh bagi orang yang tidak mengenal sama sekali dunia tentang mereka. Bahkan kehadiran mereka pun seringkali dianggap sebagai sampah masyarakat. Dimana masyarakat hanya mengenal waria itu identik dengan para pelacur yang menjajakan seks di pinggir jalan. Kehadiran mereka di tempat-tempat umum menjadi pusat perhatian dan pergunjingan. Pusat perhatian masyarakat berkisar pada keanehan perilaku dan penampilannya, yakni seorang laki-laki yang berdandan seperti layaknya seorang wanita.

Sedangkan dalam norma sosial, masyarakat pada umumnya sangat menolak dengan tegas seorang laki-laki yang berpakaian wanita dan itu dianggap suatu penyimpangan. Akan tetapi dalam interaksi sosial masyarakat di Kota-kota besar khususnya metropolitan tidak terdapat jarak antara kaum waria dengan kaum masyarakat. Karena secara sosial sebenarnya kaum waria di Kota-kota metropolitan tersebut tidak menutup diri untuk bergaul dengan masyarakat luas disekitarnya. Dan keterbukaan akan hal itu sepenuhnya diikuti dengan penerimaan masyarakat dalam lingkungannya bahkan lingkungan mereka sendiri. Dalam perilaku dan aktivitasnya sehari-hari kaum waria di Kota-kota besar tidak ubahnya seperti wanita pada umumnya, misalnya dalam hal bersolek, berpakaian, berkomunikasi, dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, latar belakang seseorang yang menjadi waria dikarenakan faktor bawaan (gen),suka dengan sesama jenis, lingkunan yang mayoritas wanita, cinta ditolak, takdir dari Allah (Tuhan) dan adanya pengalaman pertama hubungan seks yang salah dan itu dilakukan pada usia yang relatif muda. Pengalaman ini merupakan penegasan fantasi bahwa dirinya lebih cocok berperan sebagai wanita. Dengan keadaan mereka yang seperti itu ternyata semua masyarakat disekitarnya tidak, menolak dengan kehadiran mereka, ini dapat dilihat dari penerimaan masyarakat pada keikutsertaan kaum waria dalam kegiatan kemasyarakatan. Dan masyarakatpun menempatkan mereka dalam sebuah pekerjaan-pekerjaanyang dilakukan oleh wanita.

1.Menentukan Jenis Kelamin Waria

Imam al Kasani menjelaskan tentang hukum khuntsa (waria) dengan mengatakan bahwa waria adalah orang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan wanita padahal tidak mungkin dalam diri seseorang mempunyai kepribadian laki-laki sekaligus wanita sesungguhnya. Akan tetapi, bisa jadi ia seorang laki-laki atau wanita.

Adapun penjelasan untuk mengetahui apakah dia seorang laki-laki atau wanita maka bisa melalui tanda-tandanya. Diantara tanda-tanda laki-laki setelah baligh adalah tumbuh jenggot. Sedangkan tanda-tanda wanita setelah dewasa adalah tumbuhnya payudara, mengeluarkan susu dari payudara itu, haid dan melahirkan. Hal itu dikarenakan setiap jenis dari yang disebutkan di atas memiliki kekhasan baik pada laki-laki maupun wanita yang memisahkan antara keduanya.

Adapun tanda-tanda pada saat masih anak-anak, maka dilihat pada tempat buang air seninya, berdasarkan hadits Rasulullah saw,”Waria dilihat dari tempat buang air seninya.” Apabila dia buang air seninya keluar dari alat kelamin laki-laki maka dia adalah laki-laki dan apabila dia keluar dari alat kalamin wanitanya maka ia adalah seorang wanita. Dan apabila air seninya keluar dari kedua-duanya maka lihat dari mana yang lebih dahulu keluar, karena tempat yang lebih dahulu mengeluarkan air seni itu adalah tempat keluar yang asli sedangkan keluar dari tempat yang lainnya adalah tanda kelainan.

Dan jika ternyata air seninya keluar secara bersamaan dari kedua tempat itu maka Abu Hanifah pun tidak memberikan komentar. Dia hanya mengatakan bahwa orang itu adalah khuntsa musykil (waria yang sulit dikenali jenis kelaminnya), inilah kecerdasan fiqih Abu Hanifah karena diam terhadap suatu hal yang tidak ada dalilnya adalah suatu kewajiban.

Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan dalam hal diatas ditentukan dari banyaknya air seni, karena hal itu menujukkan tempat keluarnya yang asli. Dan tatkala pendapat ini didengar oleh Abu Hanifah maka dia tidak bisa menerimanya dan mengatakan, ”Apakah engkau pernah melihat seorang hakim yang menimbang air seni.” Kedua orang itu pun terdiam dan mengatakan, ”Kalau begitu dia adalah waria yang sulit dikenali jenis kelaminnya.”

Adapun terhadap seorang laki-laki yang memiliki organ-organnya yang lengkap kemudian memiliki kecenderungan kepada sifat kewanitaan maka ini adalah perangai kejiwaan yang tidak memindahkannya kepada seorang wanita yang sebenarnya.

Namun terkadang, kecenderungan itu adalah hanya karena kemauan atau buatan sendiri melalui cara meniru-niru, maka hal yang seperti itu akan jatuh kedalam hadits Rasulullah saw yang melaknat orang yang memiliki jenis kelamin tertentu kemudian meniru-niru orang yang memiliki jenis kelamin lainnya..

Namun kecenderungan itu adakalanya merupakan suatu keterpaksaan (bukan dikarenakan pilihannya). Terhadap orang tersebut dianjurkan untuk berobat semampunya karena terkadang pengobatan berjalan sukses tetapi adakalanya gagal, maka serahkanlah semuanya kepada kehendak Allah swt.

Begitupula sebaliknya bagi wanita yang memiliki organ-organnya yang lengkap kemudian memiliki kecenderungan kepada sifat kelaki-lakian maka ini adalah perangai kejiwaan yang tidak memindahkannya kepada seorang laki-laki yang sebenarnya.

Apabila hal itu adalah dikarenakan kemauan dan buatannya maka ia berada dalam ancaman hadits diatas namun apabila itu sebuah keterpaksaan maka diharuskan baginya untuk berobat.

Diperbolehkan baginya untuk melakukan operasi pemindahan kelamin dari laki-laki menjadi wanita atau dari wanita menjadi laki-laki berdasarkan pemeriksaan dokter yang bisa dipercaya dan dikarenakan adanya perubahan-perubahan fisik dalam tubuh yang ditunjukkan dengan tanda-tanda kewanitaan atau tanda-tanda kelaki-lakian yang tertutupi (tidak tampak). Pengobatan di sini haruslah dengan alasan penyembuhan tubuh yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan jalan operasi.

Akan tetapi, jika operasi yang dilakukan hanya sebatas untuk keinginan (kesenangan) merubahnya dan bukan karena adanya perubahan-perubahan fisik yang jelas lagi dominan maka hal itu tidak diperbolehkan. Dan jika ia tetap melakukannya maka orang itu akan termasuk kedalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Anas berkata,”Rasulullah saw melaknat orang laki-laki yang berperangai perempuan dan orang perempuan yang berperangai laki-laki.’ Dan berkata,’Keluarkan mereka dari rumah-rumah kalian.” Maka Nabi saw pun mengeluarkan fulan begitu juga Umar mengeluarkan fulan.

2.Bagaimana Sikap Kita Terhadap Waria

Dalam menyikapi atau memperlakukan khuntsa ghoiru musykil (waria yang mudah dikenal jenis kelaminnya)—baik melalui tanda-tandanya setelah baligh / dewasa dengan melihat perubahan pada organ-organ tubuhnya atau pada tempat keluar air seninya apabila ia masih anak-anak—maka apabila yang dominan dan tampak dalam dirinya adalah tanda-tanda laki-lakinya maka diberikan hukum laki-laki kepadanya baik dalam pemandiannya saat meninggal, saff shalatnya maupun warisannya. Begitu pula apabila yang tampak dan dominan dalam diri seorang khuntsa ghoiru musykil adalah tanda-tanda wanitanya maka diberikan hukum wanita terhadap dirinya.

Adapun terhadap khuntsa musykil (waria yang sulit dikenali jenis kelaminnya) maka Imam al Kasani mengatakan,”Jika dia meninggal dunia maka tidak halal bagi kaum laki-laki untuk memandikannya karena adanya kemungkinan dia seorang wanita dan tidak dihalalkan bagi kaum wanita untuk memandikannya karena adanya kemungkinan dia seorang laki-laki akan tetapi cukup ditayamumkan. Orang mentayamumkannya bisa laki-laki atau wanita, jika yang mentayamumkannya adalah dari kalangan mahramnya maka bisa dengan tanpa menggunakan kain namun apabila bukan dari mahramnya maka menggunakan kain serta menutup pandangannya dari tangannya (siku hingga ujung jarinya).

Adapun berdirinya didalam saff shalat maka hendaklah dia berdiri setelah saff kaum laki-laki dan anak-anak sebelum saff kaum wanita. Dia tidak diperbolehkan mengimami kaum laki-laki dikarenakan adanya kemungkinan dia seorang wanita akan tetapi dia boleh mengimami kaum wanita.

3.Waria Pada Masa Rasulullah

Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi saw sedang berada di rumah Ummu Salamah—di rumah itu sedang ada seorang waria—Waria itu berkata kepada saudara laki-laki Ummu Salamah, Abdullah bin Abi Umayah, ’Jika Allah membukakan buat kalian Thaif besok, maka aku akan tunjukkan kepadamu anak perempuan ghoilan, ia seorang yang memiliki perut yang langsing. Maka Nabi saw pun bersabda,’Janganlah orang ini memasuki (tempat-tempat) kalian.”(HR Bukhori)

Al Hafizh menyebutkan apa yang diriwayatkan al Jurjani dalam tarikh-nya dari jalan az Zuhri dari Ali bin al Husein bin Ali berkata,”Pernah ada seorang waria memasuki rumah istri-istri Nabi dan orang itu bernama Hit.” Dikeluarkan oleh Abu Ya’la, Abu Awanah dan Ibnu Hiban seluruhnya dari jalan Yunus dari azZuhri dari Urwah dari Aisyah bahwa Hit lah yang memasukinya.”

B.Pandangan Islam terhadap Waria

Waria bisa kita defenisikan sebagai seorang laki-laki yang mempunyai jiwa perempuan dan menyukai dengan sesame jenis. Perbuatan tak terpuji ini telah terjadi jauh sebelum Allah SWT mengutus Rasulullah sebagai rahmat bagi sekalian alam, yaitu pada kaum nabi Luth A.S. Allah mengutus nabi Luth A.S kepada kaumnya untuk mengajak mereka kejalan yang benar dan agar mereka meninggalkan perbuatan homoseksual ini. Tetapi mereka menolak sehingga Allah memusnahkan mereka dari muka bumi. Kisah nabi Luth A.S ini bisa kita temukan di beberapa surat didalam al-Qur’an.

Allah SWT kemudian mengutus nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul untuk melengkapi risalah-risalah para nabi dan rasul sebelumnya. Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah secara jelas telah mengharamkan praktek homoseksual dan mengancam pelakunya dengan hukuman yang sangat berat. Dan ini juga telah diyakini oleh sahabat-sahabatnya dan seluruh kaum muslimin selama berabad-abad.

Setelah kaum nabi Luth A.S musnah dari muka bumi berabad-abad yang lalu, pada saat ini muncul generasi penerus mereka yang secara mati-matian memperjuangkan praktek homoseksual. Amerika dan Eropa berdiri di barisan terdepan, maka tidak heran jika perkawinan ala homoseksual menjadi perkawinan yang sah yang di akui oleh Negara dibeberapa Negara Eropa dan Amerika. Kita patut prihatin, tetapi yang lebih memprihatinkan adalah sikap beberapa cendekiawan muslim yang malah ikut-ikutan membelah praktek ini. Entah itu merupakan keyakian mereka atau memang pengaruh faham liberalisme barat yang sekarang ini sedang menggrogoti umat islam. Hal ini tentu menarik perhatian kita untuk membahas pandangan agama islam terhadap homoseksual.

Seluruh umat islam sepakat bahwa Waria termasuk dosa besar. Oleh karena perbuatan yang menjijikkan inilah Allah kemudian memusnahkan kaum nabi Luth A.S dengan cara yang sangat mengerikan. Allah SWT berfirman:

Îór'sù Ï$t7ÏèÎ/ ¸xøs9 Nà6¯RÎ) tbqãèt7­FB ÇËÌÈÏ8ãø?$#ur tóst7ø9$# #·q÷du ( öNåk¨XÎ) ÓYã_ tbqè%tøóB ÇËÍÈ

Artinya:
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas” (QS. As-Syu’ra : 165-166)

Bahkan Homoseksual jauh lebih menjijikkan dan hina daripada perzinahan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

أقتلوا الفاعل والمفعول به (حديث صحيح أخرجه أبو داود والترمذي)

Artinya:

Bunuhlah fa’il dan maf’ulnya (kedua-duanya) (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Oleh karena itulah ancaman hukuman terhadap pelaku homoseksual jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman bagi pelaku pezina. Didalam perzinahan, hukuman dibagi menjadi dua yaitu bagi yang sudah menikah dihukum rajam, sedangkan bagi yang belum menikah di cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Adapaun dalam praktek homoseksual tidak ada pembagian tersebut. Asalkan sudah dewasa dan berakal (bukan gila) maka hukumannya sama saja (tidak ada perbedaan hukuman bagi yang sudah menikah atau yang belum menikah).

Sebenarnya ulama-ulama fiqh bebeda pendapat mengenai hukuman bagi pelaku homoseksual. Diantara pendapat para ulama tersebut adalah:

1.Fuqoha Madzhaf Hanbali: Mereka sepakat bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual sama persis dengan hukuman bagi pelaku perzinahan. Yang sudah menikah di rajam dan yang belum menikah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Adapun dalil yang mereka pergunakan adalah Qiyas. Karena defenisi Homoseksual (Liwath) menurut mereka adalah menyetubuhi sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah. Maka mereka menyimpulkan bahwa hukuman bagi pelakunya adalah sama persis dengan hukuman bagi pelaku perzinahan. Tetapi qiyas yang mereka lakukan adalah qiyas ma’a al-fariq (mengqiyaskan sesuatu yang berbeda) karena liwath (homoseksual) jauh lebih mejijikkan dari pada perzinahan.

2.Pendapat yang benar adalah pendapat kedua yang mengatakan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati. Karena virus ini kalau saja tersebar dimasyarakat maka ia akan menghancukan masyarakat tersebut.

Syekh Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa seluruh sahabat Rasulullah SAW sepakat bahwa hukuman bagi keduanya adalah hukuman mati. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به

Artinya:
Barangsiapa kamu temui melakukan perbuatan kaum Luth (Homoseksual), maka bunuhlah al-fail dan al-maf’ul bi (kedua-duanya)”.

Hanya saja para sahabat berbeda pendapat tentang cara ekskusinya. Sebagian sahabat mengatakan bahwa kedua-duanya harus dibakar hidup-hidup, sehingga menjadi pelajaran bagi yang lain. Pendapat ini diriwayatkan dari khalifah pertama Abu Bakar As-Shiddiq. Sahabat yang lain berpendapat bahwa cara ekskusinya sama persis dengan hukuman bagi pezina yang sudah menikah (rajam). Adapun pendapat yang ketiga adalah keduanya dibawa kepuncak yang tertinggi di negeri itu kemudian diterjunkan dari atas dan dihujani dengan batu. Karena dengan demikianlah kaum nabi Luth A.S dihukum oleh Allah SWT.

Yang terpenting keduanya harus dihukum mati, karena ini adalah penyakit yang sangat berbahaya dan sulit di deteksi. Jika seorang laki-laki berjalan berduaan dengan seorang perempuan mungkin seseorang akan bertanya:”Siapa perempuan itu?”. Tetapi ketika seseorang laki-laki berjalan dengan laki-laki lain akan sulit di deteksi karena setiap laki-laki berjalan dengan laki-laki lain. Tetapi tentunya tidak semua orang bisa menjatuhkan hukuman mati, hanya hakim atau wakilnyalah yang berhak, sehingga tidak terjadi perpecahan dan kezaliman yang malah menyebabkan munculnya perpecahan yang lebih dahsyat. Wallohu A’lam.

Islam secara tegas menyatakan bahwa perilaku homoseksual maupun lesbian adalah bentuk perilaku seksual menyimpang bahkan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Hubungan seks dalam Islam tidak hanya sekadar untuk memuaskan hawa nafsu (prokreasi), akan tetapi memiliki tujuan penting menyangkut kelangsungan kehidupan, yaitu melanjutkan keturunan (reproduksi). Hubungan seks sejenis tidak mungkin akan menghasilkan keturunan, sehingga hal ini tidak sejalan dengan tujuan hubungan seks dalam Islam.

C.Sudut Pandang Psikologis Waria

Oetomo menyatakan bahwa dalam perkembangannya waria merupkan “proyek” feminitas yang artinya suatu proses keadaan maskulin ke feminin. Waria yang mempunyai tubuh atau fisik laki-laki, mempertontonkan perilaku serta atribut yang halus dari perempuan meskipun pada saat-saat tertentu mereka masih menunjukkan keagresifannya, menunjukkan aksi maskulin dan menganggap penetrator sebagai peran seksualnya. Kusumayanti, menyatakan waria atau banci adalah jenis kelamin ketiga, yang memiliki sifat antara pria dan wanita tetapi bukan penggabungan diantara keduanya. Hal tersebut merupakan sebutan awal yang menggambarkan perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Waria juga dikatakan yaitu seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik dengan identitas jenis kelaminnya.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik, psikis, dan seks. Dalam arti secara fisik dia adalah laki-laki tetapi secara psikologis perempuan. Ketidaksesuaian yang terjadi membuat waria tidak senang terhadap alat kelaminnya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubahan tersebut, maka waria bertingkah laku dan mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan.

Jenis-Jenis Waria

Kaum waria terdiri dari kelompok manusia yang tidak homogen. Mereka terdiri dari berbagai komponen yang secara ilmiah psikologik-psikiatri dapat dibedakan karena mempunyai ciri-ciri khusus. Atmojo menyatakan bahwa waria terbagi dalam kelompok kecil:

a. Kaum transeksual, yaitu kelompok waria yang mengalami ketidakserasian pada jenis kelamin biologis mereka. Ada keinginan dari mereka untuk menghilangkan dan menggantikan alat kelaminnya dan hidup sebagai lawan jenisnya. Untuk langkah awal mereka biasanya menghilangkan cirri fisik laki-lakinya, misalnya mengoperasi sebagian dari tubuhnya seperti payudara, dagu, kelopak mata, jakun, dan ciri fisik laki-laki lainnya. Minimal mereka merasa perlu merias diri dan berpakaian seperti wanita.

b. Kaum transvestisme, yaitu mereka yang hanya mendapat kepuasan dengan berpakaian seperti lawan jenisnya. Dalam pola hubungan seks, mereka adalah heteroseksual dan biasanya mereka terikat dalam suatu perkawinan atau dalam mencari pasangan selalu perempuan. Penderita kelompok ini adalah laki-laki. Jumlah mereka sedikit dan biasanya berpakaian lawan jenis pada saat tertentu saja, yaitu pada saat akan melakukan hubungan seksual. Jadi tampak bahwa pemakaian pakaian perempuan disini untuk mendapatkan gairah seksual, berbeda dengan para transeksual yang berpakaian perempuan karena merasa ada ketidaksesuaian antara fisik dengan jiwanya. Secara fisik para transvestis tetap suka dengan ciri-ciri kelelakian mereka, meskipun mereka memakai pakaian perempuan kadang mereka tetap memasang kumis dan tetap senang berhubungan seksual dengan perempuan.

c. Kaum homoseksual penderita transvestisme, yaitu mereka yang mendapat kepuasan seksual dari hubungan homoseksual dan berpakaian lawan jenis.

d. Kaum opportunities, yaitu mereka yang memanfaatkan kesempatan, dimana mereka berperilaku dan berpenampilan seperti waria untuk mencari penghasilan atau nafkah. Jadi tidak terdapat kelainan seperti 3 kelompok sebelumnya.

Faktor Penyebab Terjadinya Waria

a. Faktor Biologis

Bukti dari hasil penelitian-penelitian para ahli menunjukkan bahwa identitas suatu gender dipengaruhi oleh hormon. Misalnya penelitian Imperato- McGinley (Davison, Neale, dan Kring dalam Elvina, 2009) menunjukkan bahwa individu yang tidak mampu memproduksi hormon yang berfungsi untuk membentuk penis dan skrotum pada masa pertumbuhan janin laki-laki akan lahir dengan penis dan skrotum yang sangat kecil dan menyerupai lipatan bibir. Karena keadaan organ seksual tersebut, individu yang menunjukkan gejala seperti itu dibesarkan sebagai perempuan. Namun ketika individu tersebut memasuki pubertas dan kadar testosteronnya meningkat, organ kelamin mereka berubah. Penis mereka membesar dan testikel mengecil menjadi skrotum. Sebagian dari mereka yang awalnya dibesarkan sebagai perempuan kemudian memiliki identitas gender laki-laki.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ehrhardt dan Money (Davison, Neale, dan Kring dalam Elvina, 2009) menunjukkan bahwa anak-anak manusia dan primata dari ibu yg mengkonsumsi hormon seks semasa hamil sering kali berperilaku seperti lawan jenis dan mengalami abnrmalitas anatomis. Meskipun anak-anak tersebut tidak selalu memiliki identitas gender yang tidak normal, hormon seks yang dikonsumsi ibu semasa hamil tetap menimbulkan minat dan perilaku lintas gender dalam tingkat yang lebih tinggi dari normal.

Gladue (Davison, Neale, dan Kring dalam Elvina, 2009) meneliti kadar hormon pada orang dewasa yang mengalami gangguan dalam identitas gender. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan kadar hormone pada laki-laki yang mengalami gangguan identitas gender, laki-laki heteroseksual, dan laki-laki homoseksual. Meskipun ada perbedaan, hal tersebut sulit diinterpretasi karena banyak orang yang mengalami gangguan identitas gender menggunakan hormon seks sebagai upaya mengubah tubuh mereka agar sesuai dengan lawan jenis yang mereka yakini sebagai gender mereka.

b. Faktor Psikologis dan Sosial

Sebagian besar kemungkinan peran lingkungan dapat menyebabkan gangguan dalam identitas gender. Berikut merupakan faktor-faktor psikologis dan sosial yang diduga dapat menyebabkan seseorang berperilaku yang berlawanan dengan jenis kelaminnya:

1) Early deprivation. Deprivasi merupakan suatu istilah yang menggambarkan adanya reaksi menerima atau pasrah dari individu terhadap keadaan-keadaan yang menuntut, senang atau tidak senang ia ikut.

2) Pengasuhan orang tua yang tidak adekuat. Pengasuhan orang tua yang tidak adekuat ialah tidak tercukupinya rasa aman sehingga tidak terdapat adanya values atau norma-norma sebagai pegangan.

Menurut guru besar psikologi UGM Prof. Dr. Koentjoro (Hafidz, 2005), seseorang bisa menjadi waria sebagai akibat bila peran ibu dalam mengasuh anaknya lebih besar dan memperlakukan anak laki-laki layaknya perempuan. Mungkin dalam kehidupan keluarga mayoritas perempuan sehingga jiwa yang terbentuk adalah jiwa perempuan (Hafidz, 2005).

3) Struktur keluarga yang patogenik. Struktur keluarga yang patogenik adalah struktur keluarga yang tidak seimbang, terdapat banyak pertentangan atau pertengkaran antara orang tua sehingga anak-anak merasa kurang kasih sayang.

4) Trauma pada masa anak-anak. Mendapatkan perlakuan yang salah (abuse) pada masa anak-anak yang berbentuk fisik (physical), seksual (sexual), diabaikan (neglect), emosi (emotional). Sehingga menimbulkan trauma yang dapat mengakibatkan efek jangka pendek maupun panjang pada seorang anak.

Penelitian yang dilakukan oleh Bradley dan Zucker (Davison, Neale, dan Kring dalam Elvina, 2009) menyatakan bahwa pasien laki-laki yang mengalami gangguan dalam identitas gender mengaku tidak memiliki hubungan dekat dengan ayah mereka, sedangkan para perempuan yang mengalami gangguan dalam identitas gender menuturkan riwayat penyiksaan fisik atau seksual. Menurut Nevi, Ratus, dan Greene faktor penyebab munculnya perubahan perilaku dari laki-laki menjadi waria dapat ditinjau dari beberapa perspektif, yaitu biologis, behavioristik, dan sosiokultural. Perspektif biologis berkaitan dengan masalah hormonal, behavioristik berkaitan dengan penguatan yang diberikan oleh keluarga atau orang lain ketika anak laki-laki berperilaku/berpenampilan seperti perempuan, sedangkan perspektif sosiokultural berkaitan dengan faktor budaya yang diduga mempengaruhi perubahan perilaku dari laki-laki menjadi waria. Penelitian sebelumnya yang dilakukan terhadap beberapa kasus menyatakan bahwa faktor utama penyebab laki-laki menjadi waria adalah kesalahan dalam proses pendidikan pembentukan identitas jenis kelamin dan kesalahan imitasi yang ditunjang dengan penguatan, serta faktor bawaan yang ditunjang dengan penguatan.

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa waria terbentuk dari beberapa faktor, yaitu hormon yang dimilikinya, pengaruh lingkungan keluarga dan sosial, serta keadaan psikologis seorang individu.

D.Pandangan Dakwah Terhadap Waria

Arin (Juju), berusia 32 tahun, seorang waria yang kami temui, berkulit sawo matang, kesan tubuh tidak telalu gemuk, cendrung kurus dengan tinggi + 1.64 m; dengan berat + 59 kg dan berpenampilan cendrung kepada perempuan mengaku, bahwa menjadi waria yang dia jalani adalah sebuah pilihan takdir yang harus ia jalani. Ia memutuskan menganbil cara hidup demikian karena ia sadar dengan keadaannya sebagai seorang laki-laki yang memiliki sifat yang lebih cendrung kepada perilaku seorang perempuan. Ia merasakan nyaman dengan pilihan hidup yang dijalaninya karena merasa bebas melakukan hal yang ia suka dengan penampilannya tersebut, walau terkadangia harus merasakan pahitnya hidup yang dipilihnya karena banyak orang yang menghina dan menilai negative kepadanya. Padahal ia sendiri memandang dirinya sebagai seorang yang bisa member manfaat kepada masyarakat dengan cara menghibur disaat acara-acara tertentu.

Ketika disinggung tetang pertanyaan agama, ia banyak tahu dan sadar tentang ajaran agama yang dianutnya, ia menurturkan bahwa dirinya dulu, adalah orang yang taat beragama. Tapi keadaannya sekarang sangat jauh berbeda denga dulu, ia mengaku dalam sebulan dia kadang shalat 1-2 kali bahkan cendrung tidak pernah melakukannya. Semenjak ia memutuskan menjadi seorang waria, dia belium pernah dating pada acara yang bersifat keagamaan seperti pengajian dan sebagainya.

Ketika membahas seorang da’I sebagai subjek dakwah, ia berpendapat banyak para pendakwah menilai kelompok sepertinya hanya dari sisi negative sebagai mahluk yang melanggar dan menyimpang dari ketentuan Allah, dengan mengeluarkan kata-kata kotor bahkan sering kali di jadikan contoh jelek di hadapan masyarakat, bukan sebagai objek dakwah yang harus dicari solusinya. Ia tidak menghendaki cara penyampaian dakwah yang kasar, yang cendrung brutal dan mengakimi tanpa dilihat esensi dan efek yang ditimbulkannya. Para da’I tersebut tidak melihat dan mengetahui penyabab apa yang kiranya terjadi sehingga waria dijadikan pilihan hidup, yang menurutnya, ternyatasetelah kami menanyakan pada “Arin”, yang menjadi faktor utamanya adalah “ekonomi dan psikologis nya”. Susahnya dalam mencari materi (uang), menyebabkan setiap orang dengan mudah menghalakan segala cara termasuk yang di lakukan jalan pintas yang dipilih olehnya. Ia menjadikan pilihan hidupnya dengan melawan qadrat yang di tentukan. Selain hal itu faktor psikologis pun sangat mempengaruhi, saat ia masih kecil sering dikatakan seperti perempuan oleh ibunya karena kebiasaan jeleknya suka berdandan, hingga pada akhirnya perkataan ibunya tersebut terus melekat dalam pikirannya.

Dari pemaparan kasusu di atas, setidaknya kita bisa menarik kesimpulan bahwa bagi dakwah, waria adalah sebuah medan atau objek dakwah yang harus dihadapi dan dicari solusinya bagaimana mereka mau dan bersedia menerima pesan dakwah yang disampaikan dan menginplementasikannya dalam kehgidupan mereka sehari-hari untuk tercapainya mahluk yang taat kepada penciptanya, bukan memandang mereka sebagai aib dan bahkan menghakimi mereka sebagai mahluk hina yang sesat dari ketentuan Tuhan dan memarginalkan mereka dari peradaban dan sasaran dakwah. Mereka adalah fenomena dan kenyataan medan yang harus dihadapi oleh disiplin dakwah sebagai objek dakwah.

E.Metode Dakwah Terhadap waria

Bukan cacian yang mereka ingin dengar, bukan hujatan yang menyakitkan yang ingin mereka hampiri, bukan jalan satu-satunya yang ingin mereka pilih sebagai manusia, bukan dunia yang lebih gelap yang ingin mereka jalani, bukan tidak ingin mereka mendengarkan sejuknya pesan ilahi, bukan tidak merasa butuh terhadap dakwah yang merupakan jembatan pengetahuan mereka. Tapi cara dan metode yang mereka dapati yang menyebabkan mereka memilih menjauh dari jalan tersebut.

“kata-kata kasar yang keluar dari seorang pendakwah buakan itu yang ingin kami terima, mengatakan kami anjing, mahluk laknat, hina; kami bukan anti terhadap pesannya, tapi cara mereka menyampaikan pesan tersebut, bukan dengan cara yang kasar yang ingik kami terima, bukan tindakan menghakimi yang diinginkan, ukannya Islam itu indah? ”

Melihat kenyataan di atas, bukan tidak mungkin mereka bisa menerima pesan dakwah yang disampaikan, tapi semua itu tergantung pada metode dan teknik yang tepat yang harus diaplikasikan terhadap medan seperti mereka.

Dakwah sebagai disiplin ilmu yang mandiri tentunya sudah bisa menentukan metode-metode terhadap keberagaman medan yang dihadapinya.

Mad’u atau sasaran (objek) dakwah adalah seluruh manusia sebagai makhluk Allah yang dibebani menjalankan agama Islam dan diberi kebebasan untuk berikhtiar, kehendak dan bertanggungjawab atas perbuatan sesuai dengan pilihannya, mulai dari individu, keluarga, kelompok, golongan, kaum, massa, dan umat manusia seluruhnya. Sebagai mahluk Allah yang diberi akal dan potensi kemampuan berbuat baik dan berbuat buruk, sebagai makhluk yang terkena sifat lupa akan janji dan pengakuannya bahwa Allah adalah Tuhannya ketika di alam ruh sebelum ruh tersebut bersatu dengan jasad.

Kemudian, manusia dengan potensi ruhani yang dimilikinya dapat menerima dan menolak syari’at Islam yang diperuntukan dan berfungsi sebagai aturan dan pedoman kehidupannya baik sebagai hamba maupun sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Perilaku manusia baik penolakan maupun penerimaan terhadap ajaran Islam pada dasarnya merupakan ekspresi dan akumulasi potensi nafs (jiwa) yang dimilikinya. Potensi manusia itu dalam penjelasan al-Qur’an terbagi pada empat macam, yaitu :

1.Nafs muthmainah (QS Al-Fajr [89] 27-28).

tPuÎ)ÏN#sÏ$yJÏèø9$#ÇÐÈÓÉL©9$#öNs9÷,n=øä$ygè=÷WÏBÎûÏ»n=Î6ø9$#ÇÑÈyqßJrOurtûïÏ%©!$#(#qç/%y`t÷¢Á9$#Ï#uqø9$$Î/ÇÒÈtböqtãöÏùurÏÏ$s?÷rF{$#ÇÊÉÈtPuÎ)ÏN#sÏ$yJÏèø9$#ÇÐÈÓÉL©9$#öNs9÷,n=øä$ygè=÷WÏBÎûÏ»n=Î6ø9$#ÇÑÈyqßJrOurtûïÏ%©!$#(#qç/%y`t÷¢Á9$#Ï#uqø9$$Î/ÇÒÈtböqtãöÏùurÏÏ$s?÷rF{$#ÇÊÉÈ

“(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai Bangunan-bangunan yang tinggi (7) Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain (8), Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah (9), Dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak) (10),”

2.Nafs mulhamah supiah (QS. Al-Syam [91] 7-10)

<§øÿtRur$tBur$yg1§qyÇÐÈ$ygyJolù;r'sù$yduqègéú$yg1uqø)s?urÇÑÈôs%yxn=øùr&`tB$yg8©.yÇÒÈôs%urz>%s{`tB$yg9¢yÇÊÉÈ

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) (7), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (8). Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (9), Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10)”.

3.Nafs amarah (QS. Yusuf[12] 53)

*!$tBuräÌht/é&ûÓŤøÿtR4¨bÎ)}§øÿ¨Z9$#8ou$¨BV{Ïäþq¡9$$Î/wÎ)$tBzOÏmuþÎn1u4¨bÎ)În1uÖqàÿxî×LìÏm§ÇÎÌÈ

“Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang”.

4.Nafs lawamah (QS. Al-Qiyamah [75] 2)

IwurãNÅ¡ø%é&ħøÿ¨Z9$$Î/ÏptB#§q¯=9$#ÇËÈ

“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”.

Dengan demikian klasifikasi dan karakter dari masing-masing mad’u, maka akan membantu da’I dalam menentukan kebijakan-kebijakan dakwahnya. Umpamanya dalam menentukan materi, metode, pola, strategi, media, tujuan dari kegiatan dakwah sesuai dengan fakta objektif dari mad’unya.

Tujuan Dakwah

Pada dasarnya dakwah merupakan rangkaian kegiatan atau proses dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan sebagai pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab, tanpa tujuan yang jelas, seluruh kegiatan dakwah akan sia-sia. Tujuan utama dakwah adalah nilai atau hasil akhir yang diingin dicapai atau diperoleh oleh keseluruhan tindakan dakwah. Untuk tercapainya tujuan utama inilah maka semua penyusunan, semua rencana, dan tindakan dakwah harus ditujukan dan diarahkan.

Sedangkan tujuan jangka panjang (makro) adalah membangun kehidupan masyarakat yang berkualitas dengan perkataan lain “baldtun thoyibatun warabun ghafur” “Negeri yang baik dan Tuhan member ampunan” atau istilah lain disebut masyarakat madani yaitu suasana kehidupan masyarakat yang diliputi oleh nuansa iman taqwa. Umpamanya bagaimana membangun system social, ekonomi, politik, pendidikan yang islam (khairul immah).

Untuk melihat keberhasilan kegiatan dakwah terutama berhubungan dengan tujuan jangka panjang, tentunya memerlukan proses dan waktu yang cukup lama. Mencermati perjuangan dakwah Rasulullah saw dihubungkan dengan lamanya proses turun al-Qur’an. Dua puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh dua hari lamanya, ayat-ayat al-Qur’an silih berganti turun, dan selama itu pula Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya tekun mengajarkan al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga pada akhirnya, mereka berhasil membangun masyarakat yang di dalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah ridha dan ampunan Ilahi.

Teori Medan Dakwah

Teori medan dakwah adalah teori yang menjelaskan situasi teologis, cultural dan struktural mad’u (masyarakat) pada saat permulaan pelaksanaan dakwah Islam. Dakwah Islam adalah sebuah ikhtiar muslim dalam mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi (fardiyah), keluarga (Usrah), komunitas (jama’ah), dan masyarakat (ummah) dalam semua segi kehidupan sampai terwujud khairul ummah (masyarakat terbaik). Khairul ummah adalah tata social yang sebagian besar anggotanya bertauhid (beriman), senantiasa menegakan yang ma’ruf (tata social yang adil) dan secara berjamaah senantiasa mencegah yang munkar (tata social yang dhalim) yang inti penggerak interaksinya adalah nilai birr (kebaikan) dan taqwa 9 ketundukan dan kepatuhan terhadap aturan-aturan Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya).

Dalam prespektif yang demikian, maka tegaknya tata social yang adil dalam ridha Allah merupakan komitmen semua muslim karena dakwah diwajibkan kepada semua muslim. Dalam situasi system kemasyarakatan yang demikian, ‘pembobolan dari dalam’ struktur al-mala dan al-mutrafin dimungkinkan dapat berjalan secara bertahap jika diantara al-mala dan al-mutrafin yang memiliki kejernihan hati untuk menangkap pesan islam dan keberanian untuk bertindak ‘melepas diri’ dari kungkungan teologis, cultural dan struktural (faktor fardiyah) dan adanya kenyataan sikap istiqomah da’I dalam melaksanakan tugas dan kekuatan ukhuwah Islamiyah diantara pendukung dakwah.

Bahasa dalam Berdakwah

Melihat realita kasus di atas, bahasa dan cara menyampaikan menjadi hal yang niscaya terhadap keberhasilan berdakwah. Memilih kata yang tepat (qaulan sadida) dalam berdakwah menunjukan kedalaman pemahaman seorang da’I terhadap realitas dakwah dalam mengenal mad’u yang sangat beragam. Baik pendidikan, bahasa, tradisi, dan lain sebagainya. Realitas ini harus dibantu oleh ilmu-ilmu yang dapat menghantarkan pada gambaran utuh manusia sebagai individu, maupun sebagai mahluk social. Dari sinilah akan terlihat jelas kaitan antara keberhasilan dakwah dengan memilih kata atau bahasa yang tepat dan benar.

Dan qaulan sadida merupakan persyaratan umum, agar dakwah memilih kata yang tepat mengenai sasaran sesuai dengan field of experience dan frame of reference sebagaimana yang telah dilansir dalam al Quran. Ada beberapa jenis perkataan yang baik yang patut jadi rujukan para pendakwah dalam melakukan dakwahnya, yaitu disesuaikan dengan konteks dan siapa mad’unya, di antaranya:

1.Qaulan baligha, yaitu perkataan yang membekas pada jiwa. Perkataan dakwah yang seperti ini cocok jika ditujukan untuk mereka yang aktivitas sehari-harinya banyak menggunakan otak daripada otot.

2.Qaulan layyinan, yaitu perkataan yang lembut. Perkataan dakwah seperti ini cocok jika digunakan atau ditujukan pada penguasa yang tiran atau kejam, anak-anak yang nakal, para preman, atau kelompok orang yang ditengarai keras kepala dan tidak lemah lembut sekalipun, karena kalau kita tidak menggunakan kata yang lembut, dia akan berani melawan dan mudah tersinggung.

3.Qaulan ma’rufan, yaitu perkataan yang baik atau juga bisa diartikan ungkapan yang pantas. Jalaludin Rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah SWT. Menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang yang kaya atau orang kuat terhadap orang-orang yang miskin atau lemah. Qaulan ma’rufan berarti pembicaraan yang bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukkan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah. Jika kita tidak dapat membatu secara material, kita harus dapat membantu secara psikologis kepadanya.

4.Qaulan maisura, yaitu perkataan yang ringan atau mudah dipahami oleh objek dakwah. Seperti orang tua, orang yang tergolong didzalimi haknya oleh orang yang lebih kuat dan masyarakat yang secara social berada di bawah garis kemiskinan.

5.Qaulan karima, yaitu perkataan yang mulia, sasarannya adalah orang yang telah lanjut usia, pendekatan yang digunakan adalah dengan perkataan yang sopan, mulia penuh penghargaan dan penghormatan, dimana seseorang tidak boleh menggurui dan tidak perlu retorika yang meledak-ledak.

Upaya untuk terwujudnya jalan yang efektif dalam berdakwah harus ditempuh dengan berbagai metode yang sudah diuji dan memudahkan jalannya dakwah, agarterwujudnya kemudahan penyampaian dan penerimaan pesan dakwah dari subjek dakwah kepada objek dakewah.

KESIMPULAN

Pada dasarnya pemikiran mereka (waria) dari hati nuraninya tidak mau melakukan seperti itu, bergaya, berdandan, berpakaian seperti perempuan, karena siapa juga yang mau melakukan, menjalankan gaya hidup seperti itu. Akan tetapi mereka melakukan seperti itu ada yang semata-mata serba keterpaksaan, dikarenakan faktor ekonomi yang serba kekukrangan, dengan begitu mereka mau melakukan seperti itu, bahkan mereka melakukan seperti itu menikmati, happy-happy aja, di bawa santai, keliatannya kaya yang tidak punya beban (padahal kalau di tinjau lebih jauh lagi, mungkin banyak beban).
Ada sebuah problem yang mengganjal, yaitu mereka beranggapan bahwa mereka memiliki nasib, takdir, melakukan pekerjaan seperti itu udah dari yang maha kuasa yang menentukan pekerjaan seperti ini. Padahal kalau ditelaah lagi, mereka itu salah persepsi mengartikan pekerjaan mereka ditakdirkan seperti itu, mungkin iman mereka aja yang kurang kuat, karena manusia sendiri yang melakukan pilihan pekerjaan seperti itu, hal inilah yang menjadi problemnya. Mungkin mereka kurang mengkaji lagi atau masih awam dalam masalah urusan habluminalloh, karena mereka sendiri tidak mau mendengarkan ceramah-ceramah, atau bentuk pengajian berbau agama. Bukan berarti gak mau mendengarkan ceramah agama, pada dasarnya mereka juga mau mendengarkan, melakukan ibadah, bahkan berubah sikap, akan tetapi yang mereka temui yang menyampaikan dakwahnya itu tidak menggunakan kata-kata kaulan layinan dalam artian bersifat lemah lembut, penyampaian seprti kaulan layinan, kariman lah yang mereka ingin diinginkan, di dengar dan bisa diterima. Mungkin mereka tidak beranggapan ingin mengambil nilai-nilai yang baik dari isi ceramah yang disampaikan oleh si penceramah, tetapi merek hanya melihat dari gaya bahasa yang kurang enak didengar seperti kata-kata kasar yang disampaikan si penceramah, mereka langsung minder untuk mendengarkannya, karena mereka beranggapan bahwa si penceramah juga belum tentu baik dilihat dari kata-kata nya juga udah gak baik, inilah yang menjadi alesan mereka jauh dari nuansa agama. Akan tetapi dalam hati kecil mereka, di satu sisi mereka merasa menyesal melakukan pekerjaan seperti itu dengan berbagai macam alasan-alasan, disisi lain mereka juga suatu saat ingin kembali normal kaya orang-orang lain serta melakukan pekerjaan yang lebih baik lagi.

Wallahu ‘alam

Daftar Pustaka

Al Quranul Karim

Abu Ahmadi, Psikologi Umum. (Rineka Cipta, Jakarta), 2003.

Alsa, A. Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2003.

Enjang AS, Dkk, Dasar-dasar Ilmu Dakwah; Pendekatan Filosofis dan Praktis. (Widya Padjajaran, Bandung), 2009.

Hajiri Tajiri, Etika Dakwah; Pendekatan Teologis dan Filosofis. (Widya Padjajaran, Bandung), 2009.

Koentjoro, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Handout Matakuliah Metode Penelitian Kualitatif:UNTAG Surabaya), 2007.

Koentjoro, Metode Triangulasi: Sebuah Pendekatan Holistik dalam Memahami Phenomena Sosial dan Konstruksi Psikologis, (Handout Mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif:UNTAG Surabaya), 2007.

Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi.(Rosada, Bandung), 2008.

Jujun Junaedi, Bahasa Dakwah; Panduan Berdakwah Para dai. (Arsad Press, Bandung), 2011.

LAMPIRAN

Teks wawancar

Identitas :

Nama: Juju (Arin)

Umur: 32 Tahun

Asal: Tasik

Tempat tinggal: Kost Jl. Babakan Tarogong, Kopo, Kab. Bandung

Agama: Islam

+menurut anda, menjadi waria itu nasib atau pilihan

_ saya menjadi seperti ini adalah keputusan dan takdir yang harus saya jalani dalam hidup ini.

+ apa suka duka menjadi seorang “waria”?

_ banyak dukanya daripada sukanya, dukanya, sering menjadi olok-olok dan bahan cibiran masyarakat yang tidak suka dengan keberadaan saya, dan dipandang sebelah mata oleh mereka. Sukanya… saya bisa menjadi diri sendiri dan mengekspresikan keinginan hati.

+ Bagaimana Respon Masyarakat kepada anda?

_ ada masyarakat yang memberikan respon positif, contohnya, saya diminta mengisi aaacara pada saat-saat tertentu, membatu merias, dan lain-lain. Yang menganggap saya negative juga banyak kok….

+ apakah anda memiliki komunitas?

_ ya,,, ada, saya bergabung di komunitas yang dipimpin oleh ibu Dewi di Sorang.

+ Lalu fungsi dari komunitas itu untuk anda apa?

_ fungsinya sebagai wadah kita berbagi pengalaman dan memberikan manfaat seperti cek kesehatan dan lain-lain.

+ apakah anda pernah mengikuti pengajian setelah jadi “waria”

_ belum, belum pernah, karena tidak ada pengajian yang diperuntukan khusus untuk golongan kita.

+ di komunitas anda, apakah pernah mengadakan pengajian?

_ sejauh ini sii, blm pernah dan tidak ada, tapi kedepannya si mudah-mudahan ada.

+ seberapa sering sih, anda berdoa dan shalat dalam sebulan dengan kondisi anda sepertiini?

_ eemmm,,, ya kalo berdoa sih sering,,, tapi kalo shalat ya…..dalam sebulan 2-4 kali mungkin ada,,, hehe.

+ apakah ada perasaan takut menjadi seperti ini?

_ ya…. Ya jelas ada, yang pasti takut ketahuanorang tua di kampong.. karena mereka tidak tahu kalo saya seperti ini disini.

+ apa sih pandangan anda terhadap seorang da’i?

_ mereka bagus ingin menyadarkan orang, tapi saya tidak suka sama cara mereka dan bahasa mereka yang kasar, seorang berilmu bisa dong menggunakan bahasa yang sopan dan lembut, tidak melakukan kekerasan sama kita, karena kita juga manusia kan, sama-sama mahluk Allah..

+ adakah keinginan anda untuk berubah dan menjadi seseorang yang “normal”?

_ siapa sih yang tidak mau menjadi yang terbaik,,, pasti semuanya ingin lah, keinginan untuk berubah sii ada, tapi kapannya,,, ya kita jalani aja seperti ini.

Foto-foto

Disela-sela wawancara di Buah Batu, Bandung

Seorang waria sedang mengamen, Buah Batu, Bandung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun