Mohon tunggu...
Amiroh Untsal Asad
Amiroh Untsal Asad Mohon Tunggu... Freelancer - Bebaskan dan abadikan pemikiranmu dalam tulisan!

Saya adalah mahasiswa psikologi Universitas Airlangga yang menjadikan Kompasiana sebagai platform untuk menuliskan pemikiran saya seputar politik, sosial, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dikhawatirkan Melahirkan Banyak Klaster Baru, Bagaimana Eksistensi dan Urgensi Pelaksanaan Sekolah Tatap Muka?

15 Agustus 2020   15:33 Diperbarui: 15 Agustus 2020   15:41 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah tetap berjalan. Seluruh kegiatan belajar dan mengajar dialihkan kepada arus internet dan kerja sama antar koneksi ruang dan waktu. Siswa dan guru tidak saling menyentuh. Deru penjelasan dari chat dan file berbentuk video dan pdf semaking membingungkan. Tugas mengalir. Siswa dan guru pun mengapung.

Nampaknya begitulah potret kelas online yang sedang berjalan saat ini. Tidak mungkin tanpa kendala, tetapi juga menguntungkan pada sisi yang lain. Dari sisi siswa, banyak sekali materi yang harus dipahami dan tugas yang harus diselesaikan. Belum lagi saat stress ditimpa banyak tugas dan bingung digencar materi yang masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Sedangkan dari sisi guru, banyak cara penyampaian materi yang harus dikembangkan, dan target-target pendidikan yang harus dicapai.

Sejak Maret 2020 lalu, momen pendidikan ini bergulir. Menciptakan sebuah proses pendidikan baru. Hingga tiba-tiba pada akhir Juli kemarin, Mendikbud mengumumkan bahwa kegiatan belajar dan mengajar dapat diberlakukan kembali dengan memenuhi beberapa persyaratan. Mengutip dari JawaPos, terdapat empat syarat untuk melakukan pembelajaran secara tatap muka, yakni dilakukan di daerah yang berstatus zona hijau atau kuning yang ditentukan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19, bila pemerintah daerah memberikan izin, hanya jika telah memenuhi daftar periksa yang ditentukan, dan bila ada persetujuan orang tua.

Dengan berlakunya kebijakan tersebut, beberapa sekolah di zona hijau dan kuning akhirnya membuka sekolah sesuai dengan persyaratan, beserta beberapa modifikasi dalam hal waktu memasuki sekolah dan pergiliran siswa dari masing-masing kelas untuk menerapkan social distancing.

Ternyata, setelah beberapa hari penerapan pembukaan sekolah ini, hal yang ditakutkan pun terjadi. Muncul banyak klaster baru Covid-19. Mulai dari sekolah di daerah Tanggulangin hingga Sumedang. Menilik keadaan yang terjadi, deretan pertanyaan kembali menghuni berbagai pemikiran masyarakat. Terutama tentang kesiapan pembukaan sekolah di tengah keadaan pandemi yang belum stabil, nasib pendidikan Indonesia di tengah kendala pembelajaran jarak jauh, hingga permasalahan multidemensional lain seperti ekonomi.

Pertama, jika berbicara soal kesiapan pembelajaran tatap muka, menurut kacamata penulis sebagai pelajar, sebaiknya pelaksanaan pembelajaran secara tatap muka ini hanya dilakukan pada zona hijau saja, mengingat potensi timbulnya klaster baru masih sangat besar, dan penerapan protokol kesehatan masih sulit untuk diimplementasikan secara disiplin.

Contohnya saja mengenai pemakaian masker, masyarakat seringkali salah dalam hal penggunaannya secara baik dan benar, seperti menggunakannya sebatas menutup mulut bahkan diturunkan hingga ke leher. Selain itu, praktik mencuci tangan juga masih belum menjelma kebiasaaan bagi semua orang, terlepas sering diberikannya anjuran untuk melakukannya.

Dalam menjalankan pembelajaran secara tatap muka, seharusnya dialokasikan waktu yang tidak terlalu lama. Singkat namun berkualitas. Terlebih, pelaksanaannya hanya dikhususkan untuk pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa, seperti fisika dan matematika. Untuk sisanya, bisa dilakukan secara daring dengan konsep lebih matang untuk mempermudah siswa.

Kedua, tentang nasib pendidikan Indonesia. Selaras dengan penjelasan dari bapak Nadiem Makarim, pembelajaran jarak jauh (PJJ) juga mesti diimbangi dengan pembelajaran tatap muka demi kualitas pendidikan Indonesia dalam waktu jangka panjang. Beliau menekankan kepada daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) yang mengalami kendala besar saat melakukan PJJ. Dalam hal ini jurang kesenjangan sosial yang terjadi menjadi sangatlah besar sehingga perlu diadakan pembukaan sekolah kembali.

Keempat, berbagai dampak yang terjadi akibat Covid-19 tidak hanya dalam satu aspek saja, yaitu kesehatan. Namun, berbagai aspek lain juga terpengaruh dasyat, seperti ekonomi dan teknologi. Mengingat Indonesia adalah negara berkembang yang masih berjalan dan merangkak untuk mencapai kemajuan, maka tidak boleh serta merta mengabaikan aspek-aspek yang lain dalam mengahadapi Covid-19 ini. Mari terus bersinergi, berkontribusi, dan bereksplorasi untuk Indonesia tercinta ini. Salam pendidikan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun