Mohon tunggu...
Rahmi
Rahmi Mohon Tunggu... Mahasiswa -

IG: de_ami445

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kartu Closed User Group (CUG)

5 Juni 2016   16:28 Diperbarui: 5 Juni 2016   17:42 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 

Tulaliit… Tulaliit… Beberapa kali kucoba menghubungi nomornya, tetapi tetap tak ada jawaban. Aku benar-benar dibuat kesal olehnya. Lalu kukirimkan pesan singkat, “Apa Kamu lupa kalau kamu punya pacar?”, pesan berhasil terkirim. Aku menunggu balasan darinya. Aku terus memandangi layar ponsel yang sengaja kubiarkan tergeletak di lantai, berharap nama ‘kesayanganku’ akan muncul di situ. Namun, kenyataan yang ada membuatku bertambah kesal. Aku mulai negative thinking tentangnya. Aku curiga dia sedang bersama gadis lain. Kampret. Bagaimana bisa aku berpikiran seburuk ini tentang kekasihku. Aku mencoba menepis rasa curigaku. Tapi saat ini aku benar-benar ingin menangis. Tidak. Aku memang sudah menangis.

Akhirnya, aku benar-benar sudah tak tahan. Tanpa mematikan ponselku terlebih dahulu, langsung kulepas baterainya dan mengeluarkan kartu dari slotnya. Tanpa babibu langsung kupatahkan kartu CUG kebanggaan kami atau yang ngetrend dikalangan anak muda seperti kami ‘kartu pasangan’. Ceilee… Ah, aku tersipu. Eits apa-apaan ini, kenapa jadi baper begini, aku kan sedang marah padanya. #Ah, abaikan.

Kartu kebanggaan kami patah jadi dua. Kuaktifkan kembali smartphoneku. Di dalamnya hanya ada satu kartu, kartu biasa yang tariff nelpon dan smsnya mahal, lebih mahal daripada harga kopi sachet yang sering kubeli di kios depan lorong di pinggir jalan. Harga kopinya murah pake bgt lho. Beli seribu dapat dua. Oalah… Jalan apa yang telah kutempuh sehingga aku bisa tiba pada makhluk hitam pahit yang jika sudah dicampur gula berubah rasa menjadi manis yang bernama kopi itu? #Sekali lagi, abaikan saja kata-kata yang tidak termasuk kedalam kategori penting di atas. Kita kembali ke hape.

Aku kembali menatap layar ponselku. Berharap ada tanda-tanda kehadirannya di situ. Benar saja. Satu sms darinya. Langsung kubuka. “Pesek, aktifkan nomor kebanggaan Kita ya.” Apa katanya? Pesek? Ya, itu memang nama panggilan sayangnya untukku dan sudah melekat pada diriku sejak 8 bulan yang lalu. Nama panggilan yang begitu kusukai sebenarnya. Tapi saat ini aku sedang dalam keadaan marah. Aku jadi membenci si “pesek”.

“Kartu itu sudah Ku renggut kehidupan indahnya”, balasku. “Maksudnya?” Pertanyaan bodoh pikirku. Sebenarnya bukan pertanyaan bodoh sih, iya kan.Hihi.

“Tubuh mungilnya sudah kupatahkan menjadi dua bagian. Satu bagian Ku lemparkan ke barat, bagian lainnya Ku tiup ke timur”, aku puas dengan jawaban kerenku kali ini. Dia pasti sakit hati. Ya, sudah pasti. Balas dendam yang sangat indah menurutku.

Bla…bla…bla… Kiss…kiss…ringtone hapeku mengalun dengan syahdunya. Nama si kampret kesayanganku tertera di layar. “Apa?”,ketusku. “Kamu… egois, tak berperasaan, kamu… memang pantas disebut si ratu tega, dan … blablabla …” Sambungan telepon pun langsung terputus. Perlahan air mataku menetes. Aku sedih. Ah, tepatnya merasa bersalah. Ponselku kembali berdering. “Maaf, Aku…”, ucapanku terpotong, “Sudahlah, Aku memang masih marah, tetapi ya sudahlah. 

Jujur saja, Aku tidak bisa memaafkanmu. Caramu yang tidak bisa menghargai dan menjaga apa yang kuberikan itulah yang membuatku kecewa”, ujarnya pelan. Aku kembali terisak. Tangisku tak terbendung. Aku benar-benar merasa bersalah. “Aku mau ke toilet dulu”, kataku. Tanpa menunggu jawaban darinya, langsung kuputuskan sambungan telepon secara sepihak.

Kuraih jaketku yang tersimpan rapi di lemari, kupakai dan lalu kukenakan kerudungku. Aku keluar ke beranda. Gerimis mengundang. Aku tak peduli. Aku berjalan cepat setengah berlari menyusuri jalan setapak yang masih basah oleh sisa hujan tadi sore. Aku menuju counter terdekat. Maksudku sudah jelas. Aku ingin membeli kartu CUG. Sial. Jawaban pemilik counter itu membuatku panas dingin. “Tidak ada”, jawabnya enteng. Aku menuju counter lainnya yang berada lumayan jauh dari counter sebelumnya. Gerimis berubah menjadi tetesan air hujan. Sujud syukurku, yang aku cari-cari akhirnya kudapatkan. Setelah tawar menawar yang berlangsung selama satu jam satu menit satu detik dan kartu itu berpindah tempat ke tanganku, aku langsung berlari di bawah guyuran hujan yang kian deras.

Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu, aku langsung meraih ponselku. Ketika sedang sibuk mencari namanya di daftar kontak, ada panggilan masuk. Ternyata Della, sahabatku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun