Mohon tunggu...
Johan Lamidin
Johan Lamidin Mohon Tunggu... Freelancer - Aktivis dan Jurnalis Freelance asal Pattani, Thailand

Aktivis dan Jurnalis Freelance asal Pattani, Thailand

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Afghanistan, Negara Perang dan Buku

7 April 2018   04:58 Diperbarui: 7 April 2018   05:40 1382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Afghanistan sedang membaca puisi di sebuah toko di Kabul. Fenomena peningkatan minat baca buku bisa menjadi cara terbaik dalam situasi konflik perang sipil saat ini. (The New York Times/Mauricio Lima)

"Buku itu selalu kuat, di manapun dia berada. Bahkan di negara-negara seperti Afghanistan. buku itu bisa mempertahankan hidup, " 

Afghanistan adalah negara yang terbengkalai. Selama bertahun-tahun dalam pergolakan perang sipil, mata uang asing telah membuat ekonomi jatuh ke dalam keadaan inflasi, sampai industri lokal ambruk. Dan hari ini hanya ada sedikit yang tidak harus diimpor negara ini. Salah satunya adalah opium, dan satu hal lagi adalah bukunya.

Sementara banyak lembaga penerbit Negara ini sedang berjuang dengan penurunan bisnis media cetak. Selama tiga tahun terakhir, media cetak di Afghanistan telah berkembang pesat. Sebaliknya, secara statistik, negara ini memiliki tingkat ilmuan literatur yang sangat rendah.

Hanya dua pertiga orang Afghanistan yang menjadi literatur. Dan mereka itu sepertinya belajar membaca, sementara negara ini masih penuh dengan kekerasan, perang dan konflik politik.

Mungkin karena dalam masyarakat seperti itu. Fenomena peningkatan minat baca buku bisa menjadi cara terbaik.

"Saya pikir bahwa dimanapun kita berada dalam situasi lingkungan - khususnya keadaan perang. Membaca itu akan membantu menciptakan ruang untuk bisa bernapas dari hari ke hari. Dan ia bisa memisahkan pembaca dari hal-hal yang mengelilinginya saat membaca. " kata Jamshid Hashimi, administrator perpustakaan online dan pendiri klub buku di Afghanistan,

Ia menambahkan bahwa buku adalah sesuatu kekuatan yang bisa bertahan dalam situasi yang buruk,

"Buku itu selalu kuat, di manapun dia berada. Bahkan di negara-negara seperti Afghanistan. buku itu bisa mempertahankan hidup, " Tegas Hasyimi.

sebuah toko buku yang masih aktif di kota Kabul. (The New York Times/Mauricio Lima)
sebuah toko buku yang masih aktif di kota Kabul. (The New York Times/Mauricio Lima)
Tidak heran, penerbit di negara ini selalu diinvestasikan oleh warganya sendiri. Dan paling istimewa bahwa Bisnis tersebut tidak pernah bergantung pada subsidi negara atau eksekutif asing.

"Semua ini milik orang Afghanistan. Dibangun oleh orang Afghanistan, " kata pemilik sebuah penerbit dan sebuah toko buku yang masih aktif.

"Ini adalah saat yang sangat mengasyikkan bagi dunia buku. Penerbit mencoba menemukan buku baru. Anak-anak mencari buku baru untuk dibaca dan penulis mencari penerbit. Ini adalah suasana yang sangat energik dan bebas, sejak ini, kita tidak berhubungan lagi dengan orang asing. " ujarnya.

Kabul merupakan ibu kota Afghanistan, memiliki tingkat pertumbuhan populasi yang sangat cepat. Dan sekarang ada lebih dari 5 juta orang dan 22 penerbit lainnya tersebar di seluruh provinsi. Bahkan di daerah yang terkena situasi perang.

Sebelumnya, Dampak dari perubutan kuasa oleh Taliban dari tahun 1996-2001, hanya tersisa dua penerbit yang masih hidup.

Kendati demikian, krisis Pencetakan mulai sangat murah dan pembajakan yang mahal yang terjadi, semua dikendalikan oleh pemerintah diktator.

Seperti krisis produksi tanaman pangan, sereal dan buah-buahan di negara ini, pemerintah Afghanistan yang baru harus membangun misi besar semula untuk menciptakan sistem pendidikan yang selama dekade menimpa perang sipil dan lima tahun perubutan kuasa dari Taliban.

Lima tahun dibawah pemerintah Taliban, pemerintahnya menutup sekolah dan menghancurkan buku-buku bahasa asing, jutaan buku pelajaran dan buku sekolah yang cetak di negara semua menjadi abu.

Dalam proses rekonstruksi, pemerintah baru harus menandatangani kontrak dengan beberapa penerbit lokal utama.

Demikian Buku pelajaran telah menjadi langkah awal dalam proses restorasi di industri percetakan. Penerbit tersebut harus segera mencetak buku sekolah. Kemudian kelompok penerbit lain akan mulai menerjemahkan teks-teks Barat ke dalam bahasa Pachtu atau Bahasa resmi Afghanistan

"Mereka tertarik untuk mengetahui dan berkeinginan untuk mengenal dunia. Dan mereka juga ingin mengetahui worldview tentang negara sendiri Afghanistan, maka industri saat ini penerbitan telah berkembang secara pesat karena kelaparan ilmu pengetahuan warganya." kata Hasyimi

Namun saat ini, Hasyimi mengatakan bahwa industri pencetakan masih mempunyai masalah pembajakan yang kronis. Karena penerbitnya merilis ribuan buku. Pembajakan didistribusikan lebih dari empat ribu eksemplar dengan harga lebih murah.

"Pemerintah harus melakukan sesuatu untuk menghentikannya."tegasnya

Ia mengharap bahwa Hak cipta dan hak kekayaan intelektual yang telah terbengkalai sejak lama, demi kepentingan pemerintah harus segara membangunkan dengan serius. Untuk membuat industri percetakan tumbuh tanpa ancaman dan masalah.

Sumber:

-The Paperless

-Asia Pacific "Most Afghans Can't Read, but Their Book Trade Is Booming

-Most Afghans Can't Read, but Their Book Trade Is Booming

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun