Riuh rendah publik membincangkan ijazah seseorang yang diduga palsu. Jangan terjebak amphiboli, ijazahnya yang diduga palsu, bukan orangnya yang palsu. Semarak juga yang menggaungkan pertanyaan apa manfaat dari mengungkit-ungkit sesuatu yang sudah berlalu. Dalam konteks moral politik bisa jadi hal tersebut penting untuk menilai penerapan etika dalam penyelenggaraan negara, namun tulisan ini tidak akan masuk ke ranah tersebut karena sudah banyak yang mendiskusikannya.
Mari melihat hal tersebut dari aspek yang lebih fenomenologis.
Dari perspektif fenomenologis, keinginan seseorang untuk mendapatkan dan menggunakan gelar, meskipun tidak secara objektif berpengaruh signifikan terhadap karier, harus dipahami dalam konteks pengalaman subjektif seseorang.
Gelar mungkin memiliki makna personal yang mendalam terkait dengan identitas, harga diri, aspirasi, dan rasa pencapaian. Mari bersikap adil dengan menggunakan pendekatan fenomenologi yaitu berusaha untuk memahami "esensi" dari sebuah pengalaman bagi individu, tanpa mereduksinya hanya pada pertimbangan status sosial atau fungsi objektif. Dengan cara pandang tersebut, sebuah gelar tentu saja penting. Hanya karena ada makna yang signifikanlah maka seorang individu menikmati pengalaman tersebut dan sekaligus memengaruhi pengalaman "menjadi" dirinya.
Gelar akademis, tanda pangkat tentara dan hiasan tatoo seorang panglima perang dari suku pedalaman pada dasarnya memiliki kesamaan simbolis. Untuk memahaminya dan mengetahui persamaannya tentu harus dikenali konteks sosiologis maupun antropologisnya.
Tanda pangkat dan tatoo merupakan representasi visual dari kekuasaan, status tinggi, dan identitas penting dalam kelompok sosial mereka. Keduanya berfungsi sebagai penanda status sosial, peran, dan identitas individu dalam kelompoknya. Gelar akademis, pekerjaan, atau kebangsawanan menunjukkan posisi seseorang dalam hierarki sosial modern. Demikian pula, tato tradisional sering kali menandakan tahapan hidup misalnya inisiasi afirmasi kelompok, afiliasi kelompok, prestasi (berburu, perang), atau status perkawinan. Demikian juga gelar akademik merupakan representasi dari sebuah hirarki dalam dunia pendidikan.
Bahkan dari sudut pandang antropologis gelar dapat berfungsi sebagai bentuk komunikasi nonverbal yang menyampaikan informasi tentang individu tanpa perlu kata-kata. Melihat seseorang dengan gelar profesor atau "datuk" memberikan kesan tertentu tentang pendidikan atau kedudukan mereka. Begitu juga, melihat seseorang dengan tato tertentu dalam masyarakat tradisional akan langsung memberikan informasi tentang latar belakang atau pengalaman mereka.
Di sisi individu yang bersangkutan, gelar dan titel juga dapat menjadi bagian dari bagaimana individu melihat dan mengekspresikan diri mereka. Sebagaimana tato tradisional seringkali memiliki makna pribadi dan menjadi cara individu mengekspresikan keyakinan atau pengalaman mereka, seseorang yang bekerja keras untuk mendapatkan gelar doktor mungkin merasa gelar tersebut adalah bagian penting dari identitas profesionalnya.
Apakah urusan titel, gelar, pangkat atau tatoo adalah urusan individu semata?
Nyatanya tidak sesederhana itu. Sosiologi menekankan bahwa identitas sosial, termasuk yang ditandai oleh gelar dan titel merupakan sebuah konstruksi sosial. Seberapapun kuatnya keinginan seseorang untuk meneguhkan identitas dirinya melalui gelar, pangkat, titel atau taoo tersebut, tetap saja makna dan nilai yang melekat diciptakan dan dipelihara melalui interaksi sosial dan norma-norma budaya.Â