Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kompetensi Guru, Tanggung Jawab Siapa?

2 Agustus 2020   16:23 Diperbarui: 3 Agustus 2020   08:15 1320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru di depan kelas, ilustrasi (Photo by Zhu Peng from Pexels)

Bagaimana dengan pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang bertanggung-jawab terhadap kompetensi guru?

Kalau mengacu kepada perundang-undangan dan konstitusi, maka jelaslah itu menjadi tugas negara yang secara teknis dilaksanakan oleh kementerian terkait. Dengan posisi tersebut maka Kemendikbud lah yang menjadi ujung tombak dan sekaligus penanggung jawab utama tinggi rendahnya kompetensi guru. 

Dengan kekuasaan mengeluarkan regulasi, kewenangan menyelenggarakan program ditambah lagi dengan telah kembalinya Pendidikan Tinggi menjadi bagian dari struktur Kemendikbud maka praktis semua sumber daya sudah dimiliki.

Lembaga yang dijadikan konsultan oleh Kemendikbud untuk menyeleksi proposal hampir pasti mempekerjakan lulusan mayoritas dari persekolahan yang diselenggarakan oleh Kemendikbud, entah itu jenjang SD, SMP, SMA atau mungkin Perguruan Tinggi. 

Artinya Kemendikbud membutuhkan masukan dan saran dari mereka yang pernah diberi ilmu oleh Kemendikbud sendiri!

Misalnya kita fokus pada perguruan tinggi yang menjadi muara proses panjang belajar sebelum seseorang menyandang gelar Sarjana Pendidikan. Adakah lulusan perguruan tinggi keguruan yang tidak menulis skripsi tentang pendidikan? 

Ribuan skripsi tentang pembelajaran, tentang deteksi potensi peserta didik maupun tentang kurikulum dihasilkan setiap tahunnya. Tidak adakah di antara ribuan tulisan itu yang bisa disarikan menjadi potret kondisi pendidikan, tantangan membangun pendidikan dan strategi meningkatkan mutu pendidikan yang berbasis riset?

Kecuali kalau dikatakan bahwa kualitas skripsi mahasiswa-mahasiswa itu sangat rendah mutunya sehingga hanya bernilai saat yang bersangkutan akan menghadapi ujian akhir. Setelah wisuda maka skripsi hanya tinggal cerita.

Kalau ini yang menjadi kondisi, maka yang harus diragukan sebenarnya proses belajar di fakultas keguruan sendiri yang membuat jurang antara kualifikasi sarjana dan kompetensi sebagai pendidik. Dan perguruan tinggi itu ada di bawah kendali Mendikbud!

Kerabunan ini barangkali berkorelasi dengan gaya berpakaian Mas Menteri dulu saat menghadiri pelantikan Rektor salah perguruan tinggi besar. Dress code yang tidak lumrah dapat saja menggambarkan bahwa Mas Menteri Nadiem tidak menganggap perguruan tinggi sebagai salah satu tanggung-jawabnya. 

Perguruan tinggi dan fakultas keguruannya yang mencetak calon guru setiap tahunnya tidak menjadi bagian dari komunitas yang dipahami oleh Mas Menteri, sehingga komunitas yang digandeng dalam POP adalah komunitas yang untuk seleksinya pun menggandeng konsultan, yang lagi-lagi tidak melibatkan para pakar pendidikan yang bertaburan gelar, keahlian, dan kompetensi di setiap fakultas keguruan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun