Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sesat Nalar, Sesat Bertindak

7 Juli 2020   14:32 Diperbarui: 7 Juli 2020   15:58 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Photo by Miguel . Padrin from Pexels)

Dalam kelas Hitler kecil duduk dengan tenang, tekun dan tertib mengikuti pelajaran dari gurunya dan matanya berbinar-binar terutama saat mengikuti pelajaran sejarah. Tidak ada yang menyangka saat itu bahwa Hitler sedang mulai membangun konstruksinya sendiri tentang keagungan Jerman dengan konsep Ras Aria-nya yang dia anggap unggul. 

Kekalahan Jerman dalam Perang Dunia Pertama ternyata sangat membekas dan membangkitkan rasa pedih yang menusuk jantungnya. Memori yang diwariskan melalui proses pembelajaran itu merangsang Hitler untuk menuntut balas dan selanjutnya seperti apa sepak terjang Adolf Hitler dalam Perang Dunia Kedua kita semua sudah tahu.

Bagian terakhir ini mungkin lebih tepat diuraikan lebih jauh dalam konteks filsafat pendidikan dan dengan perspektif teknik pembelajaran. Tulisan ini lebih kepada menggugah kepada pertanyaan kenapa kita sering gagal memilah dan memilih respon yang tepat yang memampukan kita mampu memilih tanaman bergizi ketimbang tanaman berduri.

Jika kembali kepada tawaran bernalar sebagaimana diajarkan oleh teknik logika, yang merupakan isi dari buku yang saya maksud di bagian awal tulisan ini, ternyata

ada banyak potensi dan kejadian kesesatan berfikir yang sering tanpa sadar kita lakukan. 

Keseimpulan yang meyimpang karena diambil berdasarkan rasa takut kepada kekuasaan (argumentum ad baculum), kesimpulan sesat karena belas kasihan atau simpati (argumentum ad misericordiam), kesimpulan menyimpang karena eksploitasi perasaan publik (argumentum ad populum) ataupun kesimpulan sesat karena tidak berkaitan langsungnya premis dan simpulan (ignoratio elenchi). 

Dibungkus dengan uraian yang berkilau terkadang kita tidak bisa mendeteksi paralogis, penalaran yang kelihatan logis padahal sebenarnya tidak memenuhi kaidah logika, yang berseliweran di media dan ruang publik. Jelang Pemilukada nanti sepertinya kita akan banyak mendapat contoh dari suguhan para juru kampanye, atau mungkin anda bagian dari tim kampanye?

Mungkin karena pelajaran logika disampaikan sebagai bagian dari pelajaran matematika membuat kita jeri menelaahnya di bangku sekolah. Ups kembali ke pendidikan lagi ternyata. Belum lagi saran menggunakan simbol sebagai ganti pernyataan dalam kalimat biasa terkesan memutus kita dari dunia nyata. 

Jika A adalah B dan B adalah C maka A adalah C contohnya. Padahal penggunaan simbol merupakan salah satu cara logika membersihkan muatan-muatan yang tidak penting dari rangkaian pernyataan.

Selain jebakan kesesatan yang sepintas terlihat logis, salah hal yang juga sering membawa kepada kesesatan tersebut adalah kegagalan mendeteksi klasifikasi dari pernyataan tertentu. Kegagalan deteksi ini akan membawa kepada pemahaman konsep yang tidak utuh beserta segala rangkaian rujukannya.

Menyetarakan pernyataan tentang kucing, misalnya, dengan konsep binatang secara umum adalah contoh kegagalan klasifikasi dimaksud. Atau lebih sempit lagi menyamakan semua jenis kucing antara kucing rumahan dan kucing hutan juga sering tanpa sadar kita lakukan karena kegagalan mengenali bahwa harimau pun sebenarnya termasuk klasifikasi kucing juga.

Tanpa bermaksud mengajarkan logika kepada pembaca semua, karena saya juga masih belajar tentang ini, kondisi dan situasi semacam ini seringkali terjadi dan celakanya tanpa sadar kita jadikan sebagai dasar untuk menghujat dan acuan dalam bertindak. Jadilah riuh rendah silang pendapat di antara para pembicara yang tidak memiliki kemampuan saling mendengar. Atau ibarat perdebatan sekelompok orang buta yang mendeskripsikan tentang gajah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun