Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sakti-kah Pancasila Menghadang Corona?

20 April 2020   07:48 Diperbarui: 20 April 2020   10:46 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Dok: Diego F Parra/pexels.com)

Apa yang sedang terjadi dan siapa yang sedang berjuang lebih mudah kita kenali sebagai bagian dari identitas "setiap" tadi, bukan wakil dari pengertian "semua". 

Setiap komunitas agama silahkan menyesuaikan ritualnya. Setiap komunitas kantoran silahkan mengatur sendiri cara bekerjanya dan setiap komunitas pendidikan dipersilahkan meninjau kembali teknik pembelajarannya.

Dan warga negara pun memperkuat proteksi diri dengan mengidentifikasi kembali di dalam kelompok komunitas mana dia berada, karena di luar ada identitas baru yang kini membayang, Orang Dalam Pengawasan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), bahkan Orang Tanpa Gejala (OTG) dan di ujung bagi mereka yang ternyata menjemput takdirnya adalah jenazah dengan Protap Covid-19. Setiap yang mendapat labelnya masing-masing hanya akan ditandai dengan nomor!

Di mana negara hadir?

Dalam situasi grafik kasus Covid-19 terus meningkat, arah dan bentuk seperti apa hari esok, minggu depan, bulan mendatang dan tahun baru yang akan kita jelang nanti sebagai bangsa yang bersatu sayangnya tidak cukup mengemuka ke publik. 

Tenggelam dalam silang pendapat para pejabat negara, maladministrasi hubungan Staf Khusus dengan pejabat daerah, wajah kecewa ASN yang sebagiannya tidak akan mendapat THR atau tertunda tunjangan profesinya, Pancasila yang diharapkan sebagai PENUNTUN sepertinya masih menjadi PENONTON.

Kesaktian Pancasila sedang diuji, bisakah dia menuntun kita keluar dari pandemi ini?

Meski bukan anggota BPIP, saya, sebagai bagian dari "kita", sah-sah saja menatap ke citra yang dulunya gagah perkasa membendung komunisme itu. Komunisme dulu hadir dalam fikiran pengusungnya, dan Pancasila mampu menyatukan bangsa membendung dan lalu menghancurkannya.

Tidak bisakah kini Pancasila juga kita hadirkan membendung pandemi yang juga tidak kasat mata itu? Sebagai ideologi, tentu Pancasila sebagai penuntun lah yang dibutuhkan, bukan Pancasila sebagai penuntut ketidakpatuhan warga kepada elit apalagi Pancasila dalam bentuk dan citra seekor burung bernama Garuda.

Penyelenggara negara yang terjebak atau tercebur dalam bermacam kalkulasi menghadirkan kecemasan psikologis di setiap sudut pemukiman berportal, bahkan sampai ke areal pemakaman yang prosesi pemakaman pun sering dikawal polisi!

Ketika penganut agama dengan alasan social distancing diminta kembali ke dalam ruang privat masing-masing untuk menjalankan ritualnya, bukankah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sedang diuji bahkan pada tingkat individu, setiap dari "kita" kini berdiri sebagai individu menghadap Tuhan kita masing-masing.

Resiprokal antara ritual individu dan anjuran negara mestinya akan saling menguatkan dan lalu mewujud dalam dimensi kemanusiaan. Sudah beradab dan adilkah perlakuan kita sebagai manusia beriman terhadap jazad yang menjemput takdir gegara corona, bahkan pejuang medis pun masih sering kita beri perlakuan diskriminatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun