Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Awas Virus Penunggang Covid-19: Hoaks

25 Maret 2020   14:26 Diperbarui: 25 Maret 2020   15:37 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jalanan sudah mulai sepi, kerumunan di tempat-tempat yang biasanya ramai kini berangsur surut. Kampanye memutus rantai penyebaran Covid-19 dengan memperbesar jarak fisik  dengan sesama rupanya mulai berterima di masyarakat. Dan nampaknya tingkat penerimaan itu berkorelasi dengan informasi peningkatan kasus atau keterpaparan suatu tempat. Semakin banyak berita kasus Covid-19 semakin banyak warga yang akhirnya patuh. Takut juga rupanya, he he.

Ketika kasus Covid-19 muncul tapi masih nun jauh di Wuhan, publik justru menjadikannya sebagai bahan candaan. Sebagian kalangan malah menghubungkannya dengan isu agama. Namun saat Covid-19 menyapa Iran, lalu Saudi isu agama kemudian menyurut berganti dengan isu ekonomi, pariwisata dan sedikit kemanusiaan.

Hari ini 25 Maret, ketika Indonesia menurut situs worldometers.info  mencatat 686 kasus dengan 55 meninggal dunia kesadaran bahwa virus ini bukan sesuatu yang pantas dijadikan bahan olok-olok atau candaan sudah semakin kuat. Nyatalah bahwa tingkat kepedulian terhadap suatu isu atau masalah berhubungan langsung dengan kedekatan terhadap sumber masalah. Teringat kembali Hukum Geografi Pertama dari Tobler, "segala sesuatu berhubungan, semakin dekat maka semakin kuat hubungan itu".

Penyambung utama rangkaian kejadian dari Wuhan, respon Saudi, kalangkabutnya Italia, canggihnya Korea Selatan, tangguhnya Singapura dan belepotannya Indonesia menghadapi isu Covid-19 adalah informasi yang mengalir 24 jam dalam seminggu tanpa jeda. Informasi itu berseliweran di setiap sudut akun media sosial kita, sahut-menyahut menggema dalam ruang pertemanan dan grup yang kita ikuti. Untuk sebagian grup sih lebih tepat kalau menyebutkan "kita diikutkan".

Jujur saja seberapa kuat sebenarnya kita tahan menelaah dan menggulung layar di akun Twitter, Facebook, Instagram, Whatsapp dan lainnya untuk melihat apa saja komentar dari warga grup atau pengikut? Apatah pula menilai valid tidaknya informasi yang silih berganti berkelebat di layar gawai kita?

Di luar tembok pekarangan rumah, bayang-bayang ancaman Covid-19 semakin tebal menggelayut di awan ruang publik. Semakin kuat pula himbauan para pejabat dan pemangku kepentingan lainnya agar kita mengurangi aktifitas di luar rumah, bahkan ke kantor dan sekolah pun sangat dibatasi. Ke kantor kurangi, sebisa mungkin bekerjalah dari rumah. Sekolah ditutup, belajar dari rumah saja.

Semakin tebal awan menggelayut semakin kita didorong tidak beraktifitas di luar ruangan. Berpindahlah semua hingar-bingar, hiruk-pikuk, silang seteru dan saling meneguhkan di jagat pergaulan kita hari-hari sebelumnya ke ruang maya. Seketika tiap diri kita kini ditandai dengan akun, alamat email, foto profil dan sejenisnya yang bagaimanapun bukanlah wajah kita sesungguhnya.

Secara fisik, ruang maya yang katanya luas tak terbatas, hanya bisa dibatasi oleh paket data atau kuota (hehehe), pintunya sempit hanya seukuran layar gawai. Bayangkanlah kemudian bagaimana banjir informasi dari segenap penjuru mata angin keluar-masuk berdesakan melewati pintu sempit itu. Mungkin kita bisa mengatakan bahwa pintu sempit akan memudahkan untuk melakukan pemeriksaan setiap kabar yang datang dan meringankan kita untuk mewartakan informasi yang kita anggap penting lalu kita bagikan atau teruskan.

Pada kondisi normal dan tenang jawabannya memang ya. Pelan dan hati-hati kita bisa menelusuri setiap kata dan kalimat yang datang. Kita bisa menyimak ujaran dari setiap scene video yang datang. Apalagi kalau ditemani secangkir kopi, proses verifikasi yang dianjurkan para pakar dapat kita terapkan. Namun seberapa kuat atau sabar kita menelaahnya satu per satu? Membuka inbox di email saja terkadang rasanya membebani mental melihat daftar yang belum dibuka, apalagi dibaca, boro-boro dibalas. Ditambah lagi sinyal peringatan (alert) yang setia memberi isyarat tanpa perasaan.

Seberapa "tega" kita tidak segera membalas komentar atau colekan pengikut kita? Terkadang jumlah pengikut jadi ukuran eksis tidaknya kita di sebuah platform, sehingga tumbuh kewajiban untuk merawat jumlah tersebut. Hmm.. terdengar seperti calon di ranah politik yang selalu berusaha merawat konstituennya he he.

Pelan-pelan tingkat kesadaran dan ke-awas-an kita menurun karena hujan informasi yang menggedor pintu sempit gawai kita. Pilih dan pilah menjadi sesuatu yang mahal. Belum lagi kalau ada "ledekan" dari admin grup kepada anggota yang tidak pernah "muncul". Dengan bekal kedalaman pemahaman yang sebenarnya masih kurang, secara halus kita dipaksa untuk juga berperan aktif. Pada tahap ini sebenarnya belum ada masalah sepanjang keaktifan tersebut adalah dalam rangka mempertajam pemahaman atau memperluas kesadaran. Istilahnya melakukan verifikasi atau validasi setiap info yang datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun