Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sensus Penduduk, Mengulang Sejarah atau Memperbaiki Kegagalan?

22 Februari 2020   21:46 Diperbarui: 26 Februari 2020   11:13 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi jumlah penduduk. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Sebagaimana biasa setiap 10 tahun pada tahun yang berakhir genap, negara kita memiliki gawe besar yaitu Sensus Penduduk. Tahun 2020 ini kita kembali akan dicacah oleh negara. Mengikuti kemajuan jaman, sensus tahun ini akan memanfaatkan teknologi informatika yaitu sensus dalam jaringan alias online.

Sebagai bangsa tentu kita harus bangga karena teknologi diyakini akan meningkatkan efisiensi dan akurasi pendataan. Harus diakui bahwa statistik di negeri ini sering dipandang sesuatu yang mudah dipelintir, dianggap sering dimodifikasi menyesuaikan keinginan penguasa.

Anggapan yang berulangkali dibantah oleh penanggung jawab statistik dengan beragam argumentasi ilmiah. Fakta adalah satu hal, persepsi hal lain.

Apakah penggunaan teknologi informatika akan mendekatkan persepsi dan fakta? Waktu yang akan menjawabnya. Sambil menunggu hasil SP 2020 mari sekilas membaca sejarah sensus penduduk.

Sensus penduduk menurut sejarah sudah dilakukan sekira 6000 tahun lalu oleh bangsa Babylonia dengan menghitung jumlah penduduk, jumlah ternak, dan sejumlah bahan pangan lainnya. 

Sensus penduduk terpenting dalam konteks sejarah barangkali adalah sensus yang dilakukan oleh Kaisar Romawi, Caesar Augustus di tahun 2 Sebelum Masehi (SM) sampai tahun 0 (nol).

Untuk mengikuti kegiatan sensus ini, Joseph dan Maria melakukan perjalanan dari An-Nasira (Nazareth) ke Bait al Ham (Betlehem). Sejarah mencatat pada periode sensus yang fenomenal inilah Yesus dilahirkan.

Sensus dalam lingkup terbatas yang pertama dilakukan di Nusantara adalah pada tahun 1815 pada masa pemerintahan Thomas Raffles. Sensus penduduk Hindia Belanda dalam skala lebih luas dilaksanakan pada tahun 1920 atau seratus tahun lalu. 

Sepuluh tahun berikutnya yaitu 1930 sensus serupa dilakukan lagi oleh pemerintah kolonial Belanda. Sensus penduduk 1930 ini dipandang sebagai sensus yang terbaik di Asia, bahkan dunia, pada masanya (Jousairi Hasbullah, 2012).

Dari sejarah kita jadi tahu bahwa bangsa ini sudah berpengalaman selama 100 tahun melakukan sensus penduduk. Pengalaman melakukan sensus penduduk ternyata umurnya lebih panjang dari pengalaman bernegara. 

Kalau sensus penduduk tahun 1930 dipandang salah satu sensus terbaik di dunia, kenapa sensus-sensus berikutnya di zaman merdeka tidak pernah ada lagi klaim terbaik? Jangankan klaim di tingkat dunia atau regional, klaim terbaik di tingkat nasional kita tidak pernah berani melakukannya.

Rupanya ada saling tidak percaya antara negara selaku penyelenggara statistik dengan publik selaku pengguna informasi. Publik mencurigai penguasa memanipulasi metodologi dan penyajian data statistik untuk memoles prestasi pembangunan dan sekaligus menutup kekurangannya. 

Penguasa tidak cukup percaya bahwa publik akan mampu mencerna data dasar dengan benar dan dewasa dan karenanya butuh sajian infografis yang sederhana agar mereka paham informasi yang tersaji.

Bagi penguasa data tidak bisa bicara sendiri, melainkan harus dibunyikan. Ungkapan "biarkan data yang berbicara" ibarat melepas macan yang bisa menerkam balik.

Literasi mungkin menjadi jawaban kesenjangan persepsi tersebut. Literasi statistik, peningkatan kemampuan bernalar secara logis dan pendewasaan tradisi demokrasi menjadi tugas bersama agar bangsa ini bisa beranjak dari bertengkar tentang akurasi dan definisi data ke tingkatan yang lebih tinggi yaitu menjadikan statistik yang dihasilkan dari kegiatan sensus sebagai cermin introspeksi bersama.

Berapa sebenarnya penduduk negeri ini yang menjadi petani, petani yang memiliki lahan sendiri? Dari jumlah ini berapa yang betul-betul miskin? 

Kalau pertanyaan ini diajukan ke instansi pemerintah, kita akan dibanjiri data yang sayangnya beda instansi akan memberikan data yang berbeda tentang hal yang sama. Muncul guyonan kemudian, "semua data ada, kecuali yang dibutuhkan".

Ironi kalau sampai menjelang 100 tahun usia republik, negara ini belum mampu menghitung berapa sebenarnya jumlah penduduknya yang masih miskin, karena secara tidak langsung data ini menjadi dasar untuk menilai apakah tujuan kemerdekaan sudah kita dekati atau tidak. 

Tanyakan jumlah penduduk suatu wilayah di Dinas Pencatatan Sipil lalu bandingkan dengan data BPS setempat. Kita tidak akan mendapatkan data tersebut, yang akan kita peroleh adalah penjelasan kenapa data mereka berbeda-beda.

Jangan pula tanyakan data transaksional (data yang dihimpun dari hasil aktifitas tertentu) yang dinamis, data dasar pun terkadang belum bisa dijadikan dasar.

Apakah penggunaan teknologi informatika akan meretas kegagalan berulang tersebut? Karena teknologi hanya algoritma yang menerjemahkan kerangka pikir perancang dan pola tindakan pengguna maka penggunaan teknologi dapat mereduksi kesalahan yang sifatnya manusiawi. 

Perkembangan teknologi sering tidak menyediakan ruang bagi kita untuk sejenak memikirkan jawaban siap atau tidak, kita hanya diberi opsi ya atau tidak. Tidak manusiawi? 

Memang tidak, bahkan kedua opsi jawaban itu pun nantinya diterjemahkan dalam bahasa mesin menjadi angka 1 dan 0. Penyelenggara statistik kita yakini sudah melakukan segala hal terkait teknis dan metodologis dari SP 2020 online agar legitimasi hasilnya dapat meningkat.

Kalau sensus penduduk Hindia Belanda 90 tahun lalu dianggap terbaik pada masanya, maka SP 2020 dengan label online akan dicatat oleh sejarah dengan label apa kira-kira? 

Mari menjadi responden yang bertanggung jawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun