Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Birokrasi di Indonesia, Sebuah Paradoks Budaya

21 Januari 2020   10:41 Diperbarui: 21 Januari 2020   11:04 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil di tengah sawah, Desa. Poto: Kab. Sumbawa

Birokrasi di Indonesia diidentikkan dengan pemerintahan. Birokrat karenanya adalah mereka yang bekerja di instansi pemerintahan. Ungkapan terlalu birokratis selalu diartikan sebagai pelayanan aparat pemerintah yang bertele-tele, lambat dan terkadang berbiaya tinggi. 

Padahal Bapak Birokrasi, Max Weber (1864-1920) hanya memberi arti birokrasi sebagai bentuk organisasi yang memiliki hirarki, struktur dan proses kerja yang terformalkan dan karenanya merupakan struktur sosial yang ideal. Ciri menurut Weber tersebut sejatinya dapat juga dilekatkan kepada organisasi swasta.

Alih-alih menjadi struktur ideal di mata masyarakat, birokrasi justru lekat dengan stereotype yang berbeda, lamban bekerja, selalu minta dilayani dan beberapa citra negatif lainnya dan selalu dibandingkan dengan sektor swasta secara diametral.

Birokrasi sebagai bentuk organisasi dalam bentuk yang kita kenal dewasa ini sesungguhnya kita warisan dari kolonial Belanda. Ketika Serikat Dagang Hindia Belanda (VOC) mulai mengalami pelapukan dari dalam karena praktik korupsi pejabatnya, Pemerintah Belanda kemudian secara perlahan mengambil alih konsesi dan semua hak dan tanggung jawab yang melekat yang sebelumnya dimiliki VOC di Nusantara (karena nama Indonesia awalnya belum dikenal). 

Semua perjanjian dagang VOC dengan kesultanan di Nusantara beralih kepada Kerajaan Belanda termasuk penguasaan wilayah. Perlu dicatat bahwa penguasaan wilayah VOC sebenarnya lebih kepada pengamanan aktifitas dagangnya sehingga terpusat memperhatikan daerah tambang, perkebunan dan pelabuhan.

Karena diberi hak oleh Kerajaan untuk membentuk armada militer, membuat perjanjian dengan negara atau raja-raja lain, VOC yang sebenarnya adalah perusahaan swasta multinasional namun dalam praktiknya bertindak selayaknya negara dalam negara. Peran ini yang membuat VOC mampu membangun dan mengembangkan jejaring yang luas di kepulauan Nusantara.

Ketika Kerajaan Belanda mengambil alih, para gubernur jenderal kemudian melakukan perbaikan manajemen organisasi. Ikatan dagang dengan para raja Nusantara dirombak. 

Para raja dan jajarannya diberi jabatan formal dengan gaji tertentu dari Kerajaan Belanda. Model hubungan ini merubah ikatan antara para raja dengan Belanda dari awalnya hanya pemenuhan butir-butir perjanjian dagang antara kedua belah pihak beserta segala hak dan kewajiban yang melekat lalu ikatan itu berubah menjadi hubungan atasan-bawahan.

Namun Belanda tidak merombak struktur kekuasaan atau pemerintahan di bawah para raja tradisional. Artinya struktur kerajaan masih berlaku di setiap wilayah dengan pengecualian para raja kini menjadi orang yang meski suksesinya mengikuti tatanan tradisional namun pengangkatannya harus mendapat pengesahan dari Ratu Belanda dan karenanya para raja berhak atas gaji rutin.

Pola dan struktur pemerintahan tradisional secara faktual namun secara formal disahkan oleh Ratu Belanda dan mendapat pengawasan dari Residen, Kontrolir dan Gubernur Jenderal. 

Pada pucuk diterapkan model birokrasi modern namun struktur akar di bawahnya yang langsung berhadapan dengan rakyat masih mempraktikkan pola dan struktur paternalis lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun