Mohon tunggu...
amin yeremia siahaan
amin yeremia siahaan Mohon Tunggu... Lainnya - penyuka buka fiksi dan sejarah...

Historia Magistra Vitae

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menolak Ayah

20 November 2020   14:49 Diperbarui: 20 November 2020   14:57 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kemerdekaan adalah kemenangan bagi suatu bangsa yang berperang. Tetapi tidak semua yang ikut berperang dapat menikmati kemenangan itu".

(Menolak Ayah, halaman 237)

Cerita novel berbasis latar belakang sejarah selalu menarik untuk diikuti, apalagi kalau peristiwa sejarah itu berdampak besar bagi jalannya roda kehidupan satu bangsa. Demikianlah novel Menolak Ayah karya Ashadi Siregar yang merujuk satu rangkaian kejadian sejarah yang dimulai dari PRRI, Nasakom-nya Soekarno, dan Gestok sebagai akhir orde lama dan awal dari orde baru-nya Soeharto.

Tokoh utama bernama Tondi, anak muda yang sejak kecil ditinggal Ayahnya yang memilih karir ketentaraan sebagai prioritas utama. Pilihannya ini membuat ia harus meninggalkan istrinya dan anaknya. Istrinya itu tidak dicerai, tapi di tempat baru ia menikah lagi dengan perempuan Jawa dan mempunyai tiga anak perempuan. 

Pernah sekali ia datang ke kampung dengan pangkat tinggi ketika ibunya meninggal dunia. Itu adalah pertama kali Tondi bertemu dengan Ayahnya namun ada keterasingan di antara mereka. Keterasingan yang memuncak pada ketidakpedulian Tondi ketika tragedi menimpa Ayahnya justru pada saat ia berada di puncak karirnya sebagai tentara loyalis Soekarno. Tondi kecil tinggal bersama Kakeknya, seorang tokoh adat yang masih memeluk teguh Parmalim, agama leluhur orang Batak. Tondi diajari kitab pustaha, yaitu kitab yang berisi tentang pengobatan, memanggil leluhur, dan petunjuk hidup berdasarkan ajaran nenek moyang.

Kisah hidup Tondi dimulai ketika ia menerima ajakan seorang tentara rakyat bernama Pardapdap untuk ikut berperang melawan Soekarno, yang dinilai telah menganaktirikan daerah dalam pembangunan, padahal daerah berkontribusi besar dalam penyediaan sumber daya alam namun keuntungannya lebih banyak dinikmati pusat (baca: Jakarta). Tondi menerima ajakan ini bukan karena ia tertarik dengan politik, tetapi ia melihatnya sebagai peluang mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Petualangan Tondi dimulai. Ia bergabung dengan PRRI, yang oleh Pusat disebut pasukan "pemberontak", namun bukan pertempuran yang akan mengubah jalan hidupnya. Ia ditugaskan untuk mengantar surat penting ke Bukit Tinggi, yang merupakan pusat komando, melalui jalan darat. Sebelum berangkat, ia menemui Ompu Silangit, kakek dari pihak ayah. Ia dititipi pesan untuk tidak makan sembarang selama di jalan. Kakeknya itu meyakinkannya bahwa ia tidak akan tersesat selama di hutan menuju Bukittinggi. Tondi percaya meskipun ia tidak tahu sama sekali rute Parapat-Bukit Tinggi. Tondi memang pernah berprofesi sebagai kenek bus Sibualbuali rute Medan-Bukittinggi tetapi rutenya tentu berbeda.

Di hutan belantara, Tondi berpapasan dengan pasangan suami istri. Ia dijamu dengan ramah dan diajak untuk menginap. Tetapi siapa sangka itu menjadi pengalaman spiritual Tondi. Ketika tidur ia bermimpi berada di satu tempat dengan kultur yang amat berbeda, lebih mirip dengan ajaran yang ada di kitab Pustaha. Tiga malam ia ada di sana dan oleh si penguasa tempat itu ia diminta untuk tinggal lebih lama namun Tondi menolak karena ia punya tugas penting. Orang-orang yang dijumpainya itu ternyata penghuni alam lain, dikenal dengan Bunian. Dan ternyata Kakeknya pun pernah mengalami hal yang sama dan kemampuan gaib Kakeknya berasal dari tempat itu.

Pengalaman kedua di hutan belantara adalah di tempat bernama Sarulla, ia bertemu dengan satu keluarga yang terdiri dari Ibu, Ayah dan sepasang suami-istri. Nestapa bagi si Longgom, si istri, karena suaminya mendapat guna-guna di malam pertama sehingga ia tidak pernah mendapatkan kenikmatan batin. Pertemuannya dengan Tondi mengakhiri penantiannya itu. Di luar rumah di malam hari mereka bergelut dan Longgom merasa yakin hubungan sesaat akan berbuah keturunan dari Tondi.

Pengalaman Tondi berlanjut ketika ia bertemu pasukan Bagio. Petualangan Tondi sebagai "pemberontak" berakhir di sini, tetapi menjadi awal petualangan hidup baru yang telah lama ia nantikan. Pasukan ini terisolasi dari komunikasi luar sehingga tidak tahu perkembangan perang. Didesak itu dan ditambah kekurangan logistik, Tondi bersama Masrul, dikirim ke Sidempuan mencari onderdil untuk memperbaiki radio serta mencari perbekalan. Misi pertama aman. Kembali oleh Bagio mereka diperintah keluar dari hutan, kali ini ke kota kecil bernama Pargarutan. Sial bagi mereka. Selepas sholat azan, keduanya ditangkap tentara dan semenjak itu terpisah.

Petualangan baru Tondi bersama Kapten Sunarya, perwira yang terkesima kecakapan Tondi dalam memperbaiki mesin mobil. Singkatnya, Tondi diboyong ke Jawa dan tinggal bersama keluarga Sunarya. Kepandaiannya di seluk beluk mobil membawanya pada ide rental mobil yang berjalan sukses. Tidak hanya itu, bisnis Tondi merambah ke dunia malam, tepatnya bisnis esek-esek.

Seksualitas, mistik, politik

Apa pesan novel ini? Benar sejarah adalah peristiwa masa lalu. Tetapi sejatinya sejarah bukan kejadian di ruang hampa, ia memiliki dimensi besar pada perubahan zaman. Sejarah melintasi ruang waktu. Ia memiliki pesan, baik untuk mereka yang hidup sezaman dengan kejadian itu, bagi kita saat ini, dan bagi generasi mendatang. Sejarah adalah pesan (message). Bagi saya, setidaknya, Ashadi Siregar ingin menyampaikan tiga perkara yang tidak pernah basi untuk dibicarakan: seksualitas, mistik, politik. Tokoh Tondi memainkan baik ketiga hal ini.

Soal seksualitas, dapat dilihat dalam adegan intim Tondi bersama Habibah dan Masrul (pasangan suami istri), Longgom (yang suaminya impoten), dan Mami Ana (mucikari). Sosok Tondi bukan hanya anak muda yang memiliki birahi yang besar, tetapi ia tokoh, baik ia sadari atau tidak, yang ingin mendobrak tabu. Pertama, terhadap institusi pernikahan. Di usia remaja ia telah mengenal persetubuhan pertama kalinya bersama Habibah, di kursi belakang bus lintas provinsi. Kedua, apa yang disebut homoseksual. Meski tidak terlalu kentara, bisa dikatakan Tondi memiliki pengalaman intim dengan Masrul, suami Habibah. Masrul yang terlebih dahulu bergabung dengan pasukan Bagio, merasa cocok dengan kehadiran Tondi. Keyakinan Masrul dibuktikan ketika Tondi memanggil arwah leluhur, sosok Masrul yang terpilih sebagai perantara.

Ketiga, soal pelacur, profesi tua yang kehadirannya sezaman dengan usia umat manusia di bumi. Tondi tidak hanya menikmati tubuh Mama Ana, tetapi mengajaknya untuk bekerja sama mengembangkan jasa lendir ini. Paradoks. Bisnis ini dilarang hukum, tetapi kehadirannya turut dinikmati aparat hukum.  Mengapa Tondi melakukan ini semua? Tondi ingin berpesan bahwa apa yang ditabukan oleh orang banyak, belum tentu diikuti dengan taat. Diam-diam apa yang ditabukan itu dilanggar, tentunya dengan berbagai alasan, mulai dari ingin merasakan sensasi kenikmatan atau jalan pintas memupuk kekayaan. Ini realita yang seharusnya menjadi pertimbangan kita. Apakah yang disebut tabu itu masih pantas untuk dipertahankan, atau berani untuk mengoreksinya. Tentang homoseksual, misalnya. Norma agama dan hukum positif melarang keberadaan dan segala aktivitas mereka. Sebagian penguasa menegaskan kembali  di dalam peraturan daerah, yang tak jarang dilandasi semangat sektarian.

Soal mistik. Pengalaman transenden Tondi tidak lepas dari peran Kakek (Ompung) yang mengajarinya sejak kecil soal leluhur. Dalam perjalanan rahasia ke Bukit Tinggi, Kakeknya memberi jimat agar Tondi selamat. Di dalam hutan ia bertemu Bunian dan diajak ke alam mereka. Tondi diminta tinggal namun menolaknya. Dalam novel ini Tondi dibesarkan secara Kristiani, agama luar yang mulai banyak dianut orang Batak seiring datangnya misionaris Eropa. Misi penginjilan mempunyai kesamaan dengan kolonialisme: ekspansi. Kolonialisme menjelajah dunia luar untuk mencari dan menguasai kekayaan alam nusantara yang menjadi komoditi di pasar Eropa. Sedangkan para misionaris melakukan ziarah iman dengan tujuan mengkristenkan penduduk lokal supaya mereka mendapatkan keselamatan.

Sepanjang cerita tidak ditemukan pertentangan antara agama leluhur dan agama Kristen. Bisa jadi Ashadi Siregar ingin berpesan bahwa dua keyakinan berbeda ini dapat hidup bersama tanpa perlu ada negasi. Masing-masing mempunyai ajaran atau doktrin tentang aturan selama hidup di dunia dan kehidupan baru pasca-kematian. Relasi intim antara Ompung dan Tondi adalah kritik terhadap cara pikir dan perilaku yang tidak adil kepada agama leluhur, termasuk pengikutnya. Mereka dianggap belum "lahir baru" atau belum bertobat. Cara pandang terhadap mereka masih sama seperti awal kedatangan misionaris: manusia yang masih berada di kegelapan dan harus dibawa ke dalam terang. Sebagai warga negara pengikut agama leluhur masih mendapatkan diskriminasi, misalnya, dalam membuat data kependudukan semisal KTP, atau kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Soal politik. Arah mata angin berubah begitu cepat. Kepemimpinan nasional berubah dari Soekarno, dicap rezim orde lama, berganti ke Soeharto, sebagai rezim orde baru. Peristiwa gerakan satu Oktober atau Gestok mengubah segalanya. Soekarno yang tadinya dipuja-puji menjadi pesakitan dalam tahanan rumah sampai akhir hayatnya. Begitu juga dengan PKI, yang dituduh menjadi dalang utama, mereka dihancurkan, termasuk anggota, simpatisan, atau yang dituduh komunis. Mereka ditangkap, dipenjara tanpa ada proses pengadilan yang adil, dan yang paling barbar, banyak yang dibunuh. Mayat mereka dibuang ke sungai atau dikubur di satu tempat. Dalam novel ini, Pardomuan, ayah biologis Tondi, turut menjadi korban. Istri kedua dan tiga anaknya terbengkalai, untungnya Tondi mencari, menemukan, dan membantu ekonomi mereka.

Tondi tidak peduli dengan pergolakan politik nasional. Baginya yang terpenting adalah bisnisnya tetap jalan, tidak peduli siapa yang menjadi pemimpin. Dalam hal ini Tondi menjadi tokoh oportunis. Bisa dimaklumi karena sejak awal Tondi berkeinginan mengubah nasib, dari miskin menjadi kaya. Positifnya Tondi bukan manusia rakus. Ia membantu usaha ibunya, menolong anak-anak Habibah, dan ibu tirinya.

Adapun kritik saya terhadap novel ini adalah soal relasi Tondi dengan perempuan. Pada akhirnya ia memang mencari kembali Longgom dan Habibah setelah sekian lama berpisah. Tondi tidak hanya menolong mereka secara ekonomi tetapi hidup bersama. Longgom dan Habibah seakan potret dari banyak perempuan yang tidak berdaya menolak hidup bersama di bawah kendali satu orang laki-laki yang telah mapan ekonomi. Benar, hal ini tidak lepas dari kondisi atau latar belakang yang mengiringi peran Habibah dan Longgom. Dua perempuan ini menyatakan cintanya, namun karena kondisi zaman ketika itu di mana akses pendidikan masih minim, membuat mereka tidak mempersoalkan hubungan ini. Pesan terselubung yang saya tangkat, pendidikan maju adalah kunci untuk mengikis budaya patriarki. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun