Mohon tunggu...
Amien Laely
Amien Laely Mohon Tunggu... Administrasi - menyukai informasi terkini, kesehatan, karya sendiri, religiusitas, Indonesia, sejarah, tanaman, dll

menulis itu merangkai abjad dan tanda baca, mencipta karya seni, menuangkan gagasan, mendokumentasikan, mengarahkan dan merubah, bahkan amanah serta pertanggungjawaban

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mangrove vs Limbah di Pantai Utara Bekasi

30 Maret 2014   13:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:17 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_329191" align="aligncenter" width="300" caption="Mangrove di Pantai Utara Bekasi (Koleksi Pribadi)"][/caption]

Kota Bekasi vs Kabupaten Bekasi

Kata “Bekasi”, sering dikonotasikan sebagai wilayah padat aktifitas bisnis di sebelah timur Jakarta. Kadang ada yang salah kaprah menyebut Bekasi dengan “Jakarta”, karena Bekasi  adalah wilayah ramai yang langsung bersambung dengan keramaian Jakarta.

Namun jika sedikit menjauhi pusat kota Bekasi, akan ditemui pemandangan dan suasana yang sama sekali berbeda. Tidak ada keramaian orang, barang, atau bangunan-bangunan modern. Yang ada adalah ‘keramaian’ ala sawah, empang, lumpur, air, semak, atau ilalang.

Bekasi yang dikenal kebanyakan orang adalah wilayah pemerintahan Kota Bekasi. Tidak banyak yang memahami bahwa ada wilayah pemerintah lain yang juga bernama “Bekasi”, yaitu Kabupaten Bekasi. Kota Bekasi beribukota di Bekasi, sedangkan Kabupaten Bekasi beribukota di Cikarang, berjarak 15 km di sebelah timur Kota Bekasi.

Kurang dari dua tahun yang lalu Saya termasuk satu di antara orang yang menganggap Bekasi adalah Kota Bekasi, hampir-hampir tanpa memberikan ruang imajinasi bahwa ada “Kabupaten Bekasi” yang luas dan sebagian besar wilayahnya adalah kawasan sepi bahkan terpencil.

Hingga dalam satu setengah tahun terakhir ini saya banyak menjelajah wilayah-wilayah pedalaman Kabupaten Bekasi, baru saya tahu bahwa ada kesenjangan besar antara Ibu Kota Jakarta dan tempat-tempat lain yang mengelilinginya. Kontras dan terkadang membuat saya tidak habis pikir, dalam jarak ‘sedekat’ itu dari Jakarta ada keterbelakangan.

Pantai Utara Jawa yang Berawa-rawa

Akhir Maret 2014 pekan yang lalu saya kembali berkesempatan menjelajah wilayah pedalaman Kabupaten Bekasi di bagian utara, ke arah pantai Laut Jawa. Rupanya puluhan atau setidaknya belasan kilometer sebelum garis pantai utara, kondisi alam Pulau Jawa berawa-rawa. Kurang lebih kondisinya mirip dengan sekitar kota Palembang ketika 10 tahun lalu saya masih berada di Sumatera Selatan,  yang juga berawa-rawa. Bahkan sepertinya kondisi rawa-rawa di Kabupaten Bekasi bagian utara lebih ‘menantang’, jika tidak disebut lebih parah.

Dengan sebuah kendaraan medan berat 4 WD, tim kami menyusuri jalan yang dibangun oleh Pertamina. Jalan tersebut membelah kawasan berawa-rawa, sehingga tidak heran jika kiri-kanan jalan adalah rawa, empang, sungai, atau tanah berair lainnya. Sebenarnya jalan perintis tersebut adalah jalan yang menghubungkan lokasi-lokasi aktifitas Pertamina, namun masyarakat umum boleh menggunakannya.

Menurut teman pemandu, jalan tersebut belum lama di bangun, baru kurang dari dua tahun yang lalu. Jalannya pun masih jalan sederhana, tanah, tapi cukup padat. Banyak bagian jalan yang bergelombang dan sangat becek. Jika turun hujan tak terbayangkan betapa akan lebih becek dan pasti banyak genangan air.

Semakin mendekati pantai kondisi semakin sepi. Beberapa kali terlihat satu dua orang sepeda motor melintas, atau satu dua orang sedang memancing. Beberapa empang sesekali ditemukan, terlihat dari hamparan genangan airnya yang rapi dan terawat serta tidak terlalu luas. Petani empang menanam kakap putih, bandeng, atau udang, kata pemandu. Empang-empang itu banyak bermunculan sejak dibangun jalan perintis itu. Namun tetap saja suasana sepi sangat terasa.

Hawa menyeramkan sedikit mengusik ketika Mas Pemandu berkisah bahwa sebelum ada jalan, tak jarang ditemukan mayat manusia di rawa-rawa. Kesulitan akses ke lokasi berawa-rawa sebelum ada jalan tersebut menyebabkan mayat-mayat itu tidak jelas nasibnya., apakah dimakan binatang liar, hancur oleh jasad renik, atau dimakan ikan.

Konservasi Mangrove

Perjalanan semakin menarik dan tidak menyeramkan lagi ketika di kanan-kiri, pada jarak yang agak jauh banyak ditemui tumbuhan mangrove. Rupanya di sana ada lokasi konservasi mangrove atau bakau. Deretan dan kumpulan mangrove tertata rapi ataupun tumbuh liar alami tampak di sana-sini. Ternyata sebuah produsen mobil ternama di Indonesia menjadikan kawasan pantai utara kabupaten bekasi itu sebagai kawasan konservasi mangrove. Sepertinya kawasan konsevasi tersebut masih baru, terlihat dari sekumpulan tanaman mangrove kecil di beberapa titik area. Mangrove-mangrove kecil itu tingginya kurang lebih satu meter dan akar-akarnya belum kekar saling tersulam seperti mangrove-mangrove dewasa yang tumbuh tak jauh dari para juniornya.

[caption id="attachment_329195" align="aligncenter" width="300" caption="Mangrove Kecil (Koleksi Pribadi)"]

1396136235237924379
1396136235237924379
[/caption]

Pantai dan mangrove adalah dua makhluk Tuhan yang saling bersahabat. Kepada manusia Tuhan menitipkan agar mereka berdua disatukan serta ditumbuhsuburkan di sebanyak mungkin tempat di pinggir laut. Untuk hal tersebut acungan jempol patut diberikan bagi produsen mobil ternama yang telah menjadikan pantai utara Kabupaten Bekasi sebagai kawasan konservasi mangrove. Ada rasa bahagia dan bangga sempat terbersit dalam hati saya karena saya menggunakan produk produsen mobil itu.

Lalu berapa jarak kawasan konservasi mangrove itu dengan garis pantai utara Kabupaten Bekasi? Saya sendiri tidak tahu, karena sejauh pandangan, saya tidak melihat ada laut, menunjukkan bahwa kawasan rawa-rawa itu mencakup hamparan yang sangat luas. Padahal areal rawa-rawa adalah areal permukaan bumi yang tidak produktif dan pada umumnya tidak banyak dijamah oleh manusia. Barangkali itulah alasan mengapa kawasan ini sangat terbelakang dan relatif tidak ada aktifitas produktif, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh dari Jakarta. Kalaupun ada beberapa empang untuk membudidayakan beberapa jenis komoditas air payau, jumlahnya sangat sedikit, dan hanya berupa usaha ekonomi perorangan.

Tempat Membuang Limbah Industri

Mungkin karena alasan sepi, bahkan sangat sepi, serta belum banyak dijamah manusia itulah muncul gagasan negative. Mumpung masih sepi, tidak ada yang memperhatikan, begitu barangkali awal munculnya gagasan itu, di beberapa titik di pinggir jalan yang kami lalui terdapat gundukan materi berwarna keputih-putihan dan sedikit mengkilap memantulkan sinar matahari. Itulah gundukan materi limbah industry. Tingginya lebih dari satu meter. Pada saat hujan, percikan materi limbah menyebabkan gatal-gatal pada kulit, kata Mas Pemandu.

[caption id="attachment_329196" align="aligncenter" width="300" caption="Gundukan Limbah di Kawasan Konservasi Mangrove (Koleksi Pribadi)"]

13961367381670262837
13961367381670262837
[/caption]

Yang lebih menyedihkan atau menyebalkan adalah lokasi ‘bukit-bukit’ limbah itu berada di kawasan konservasi mangrove. Konon sebagian modusnya dilakukan dengan cara, industry menjual limbah kepada siapa saja yang mau, seharga beberapa ratus ribu rupiah untuk sekali angkut, kemudian satu dua orang bersedia, dan mengangkut materi limbah itu ke lokasi-lokasi sepi, di antaranya ke kawasan konservasi mangrove di pantai utara Kabupaten Bekasi. Sangat memprihatinkan, bukan? Di satu sisi ada upaya pelestarian alam, ada juga aktifitas membangun infrastruktur untuk menjangkau kawasan-kawasan mati, namun di sisi lain ada pula aktifitas merusak kelestarian alam.

Jika tidak segera ditertibkan, pastilah lokasi-lokasi tersebut cepat atau lambat akan menjadi kawasan pembuangan limbah yang merusak lingkungan dan membahayakan manusia. Keindahan mangrove yang berjejer cantik akan ternoda oleh polusi limbah. Mungkin sekarang baru dampak gatal-gatal bagi kesehatan kulit pada saat turun hujan, namun suatu saat ketika limbah sudah sedemikian banyak memenuhi kawasan berawa-rawa itu, aroma tak sedap, gangguan pernapasan, satwa rawa mati, tumbuhan kering, dan entah apalagi, akan menjadi pemandangan tak diharapkan. Semoga itu tidak terjadi.

Hanya saja tindakan penertiban atau penindakan bagi pembuang limbah sembarangan itu bukanlah hal mudah. Membuang limbah sembarangan di kawasan konservasi mangrove sarat dengan problem sosial ekonomi layaknya lingkaran setan. Lemahnya penegakan hukum yang berhubungan dengan AMDAL, sikap efisiensi dunia industry yang menabrak kelestarian alam, rendahnya kemampuan ekonomi dan kesadaran lingkungan sosial masyarakat sekitar, problem sosial hukum berupa masih berlakunya praktek hukum rimba di daerah-daerah terpencil dan terbelakang, serta sederet problem yang lain adalah sumber-sumber permasalahan itu. Maka sesungguhnya solusi bagi masalah ini tidak bisa dilepaskan dari menyelesaikan sumber-sumber masalah tersebut.

[caption id="attachment_329198" align="aligncenter" width="300" caption="Potensi Wisata Pantai dan Mangrove (Koleksi Pribadi)"]

13961370161989368672
13961370161989368672
[/caption]

Jika langkah sistematis dan mendasar tidak bisa dilakukan, setidaknya perlu dilakukan langkah-langkah praktis parsial yang sedikit banyak bisa mengurai masalah di atas satu demi satu. Sebagai contoh ada dua langkah solusi yang bisa dilakukan:

Pertama, menelusuri sumber penghasil limbah, yaitu industry. Ada asap pasti ada api. Setiap industry pastilah memiliki karakteristik limbah tertentu. Materi limbah yang bergunduk-gunduk cukup untuk menelusuri industry mana yang tidak bertanggung jawab membuang limbahnya sembarangan. Mereka harus mengambil kembali limbah tersebut, diberikan teguran dan sanksi yang sepadan, serta setelah itu akan ditutup usahanya jika masih ditemukan limbahnya di sembarang tempat. Verifikasi atas AMDAL-nya pun jangan lupa untuk dilakukan.

Kedua, berkaitan dengan adanya sebagian warga masyarakat yang ‘terpaksa’ menerima ‘jasa menerima limbah’, perlu dilakukan pendekatan sosial ekonomi. Asumsinya, mereka adalah masyarakat kurang terdidik dan kurang memahami kelestarian lingkungan, di sisi lain merekapun tidak memiliki akses yang cukup untuk mendapatkan penghasilan sehingga menerima uang jasa ratusan ribu itu untuk setiap kali menerima (dan kemudian membuangnya di sembarang tempat) limbah industri. Karakteristik warga masyarakat seperti ini pada umumnya masih menjunjung nilai-nilai kemasyarakatan di komunitas social dan keluarganya. Maka menegur mereka, atau bahkan menekan mereka agar tidak menerima dan membuang limbah sembarangan, melalui tokoh-tokoh masyarakat atau pemimpin keluarga mereka, seringkali menjadi langkah yang efektif. Lebih bagus lagi jika dilakukan pemahaman kepada mereka mengenai kelestarian lingkungan dan aspek hukum bagi para pelanggarnya.

Langkah lain yang lebih solutif adalah dengan mengoptimalkan peran mereka dalam kegiatan konservasi, memacu mereka agar membudidayakan rawa-rawa untuk aktifitas produktif, bahkan jika dilakukan upaya serius, ada potensi wisata mangrove dan pemancingan yang sangat menarik. Kerjasama dengan perusahaan-perusahaan besar bertema pelestarian alam dengan memilih lokasi di kawasan berawa-rawa Kabupaten Bekasi bisa ditingkatkan agar memberikan manfaat bagi warga masyarakat sekitar, utamanya manfaat ekonomi dan wawasan lingkungan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun