Mohon tunggu...
Ellys Utami Purwandari
Ellys Utami Purwandari Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Pecinta travelling, fotografi, dan masih terus belajar dalam menulis. Mimpi terbesar adalah ingin menimba pengalaman dari berbagai belahan dunia. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Indonesia (Masih) Primitif..?

13 Juli 2012   19:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:59 1464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita tentang hilangnya rapor seorang siswa kelas 4 saat akan naik ke kelas 5 di sebuah sekolah dasar di Gowa, Sulawesi Selatan mengingatkan saya pada peristiwa yang sama beberapa tahun yang lalu.  Walaupun peristiwa yang menimpa anak saya itu tidak sampai menyebabkan dia harus mengulang kelas seperti halnya Aldy namun cukup membuat tekanan psikologis pada anak saya lantaran takut jika bertemu gurunya itu.

Peristiwa hilangnya rapor terjadi pada semester genap kelas 3 sekolah dasar di sebuah sekolah negeri di Pekanbaru, Riau. Waktu itu sepulang sekolah, anak saya menyampaikan pesan dari gurunya bahwa rapor harus segera dikumpulkan karena satu bulan lagi ujian akhir semester sudah dimulai. Lalu saya bilang padanya, bukannya rapor sudah dikumpulkan waktu masuk semester genap yang lalu. Karena memang sudah menjadi kebiasaan saya menyuruh anak saya mengumpulkan rapor di awal semester.

Hari berikutnya dia menyampaikan hal yang sama, bahwasanya rapor harus segera dikumpulkan. Saya lalu berpikir apa mungkin saya yang lupa, jangan-jangan memang rapor belum dikumpulkan dan masih ada di rumah. Segera saya cari rapor anak saya itu, dan saya tak menemukannya. Baru saya yakin kalau memang rapor itu memang sudah dikumpulkan setelah libur semester ganjil. Berikutnya, lagi-lagi si anak menyampaikan pesan dari sang guru kelas bahwa rapor tidak ada di sekolah.

Segera saya menuju sekolah untuk menanyakannya pada ibu guru kelas anak saya. Tahukah apa jawaban dan ekspresi wajahnya???? "Mana saya tahu??!  Dengan ekpresi wajah cuek seakan tak ikut bertanggung  jawab. Waktu itu anak saya juga berada dalam kelas bersama saya. Sang guru bilang bahwa rapor pernah dipinjam anak saya untuk keperluan MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah) karena anak saya juga sekolah di sebuah madrasah saat sore hari. Saya pun heran dengan keterangan ibu guru itu, karena untuk apa MDA meminta rapor sekolah umum karena memang tidak ada hubungannya. Saya tanyakan juga pada anak saya waktu itu apakah benar dia pernah meminjam rapor untuk keperluan MDA, dengan terisak-isak dia mengatakan bahwa tidak pernah meminjam rapor untuk keperluan itu.

Raut muka ibu guru itu semakin terlihat  tidak ramah mendengar keterangan muridnya itu. Lalu dengan nada tinggi beliau berkata,"Ibu ingat kamu meminjamnya..!" Mendengar itu, anak saya semakin terlihat takut dan tertekan. Lalu saya bilang pada beliau, jika rapor diperlukan untuk MDA tidak mungkin saya tidak mengetahuinya. Dalam hati saya yakin rapor itu hilang atau terselip di sekolah. Karena menurut ibu guru itu rapor yang sudah dikumpulkan diletakkan di laci meja guru di kelas (bukan di dalam sebuah lemari di kantor guru). Sedangkan kelas juga dipakai oleh 2 kelas berbeda, kelas pagi dan kelas siang.

Penyelesaian tidak kunjung diberikan oleh sang guru saat itu. Yang ada berulang kali dia menyalahkan anak saya yang waktu itu umurnya baru 8 tahun. Saya juga agak naik darah dibuatnya, bukannya berusaha menyelesaikan masalah malah membuat tekanan mental pada anak-anak. Hingga akhirnya seorang guru lain mendengar debat kusir dalam ruangan kelas itu, dengan nada yang cukup bijak bapak guru itu bilang kepada saya bahwa rapor hilang bisa diganti dengan membayar Rp. 10.000,- sebagai pengganti buku rapor. Saya jadi berpikir, kenapa ibu guru kelas itu tidak memberikan solusi itu sejak awal??? Kenapa harus menekan mental anak-anak dulu??

Sejak peristiwa itu, anak saya seperti tertekan jika akan berangkat ke sekolah. Dia seperti mendapatkan intimidasi dari guru kelasnya, tapi untungnya hal itu tidak berlangsung lama karena beberapa bulan kemudian dia sudah naik ke kelas yang lebih tinggi dan berganti guru kelas.

[caption id="attachment_193939" align="aligncenter" width="315" caption="Rapor SD Negeri th 1988"][/caption] [caption id="attachment_193940" align="aligncenter" width="332" caption="Rapor SMP Negeri th. 2010"]

13422026661986276687
13422026661986276687
[/caption]

Yang saya pikirkan setelah kejadian itu, bagaimana mungkin di era teknologi informasi seperti saat ini, penulisan rapor dan penyimpanan arsipnya masih dilakukan secara manual?? Rapor masih ditulis dengan tangan sedangkan penghitungannya masih menggunakan kalkulator. Ini sistem yang sudah out of date kan? Bayangkan saja jika dalam satu kelas terdiri dari 30 - 40 siswa? Saya rasa cukup merepotkan. Bukannya sudah ada perangkat lunak yang memudahkan kita memasukkan data lalu menghitungnya secara otomatis, misalnya dengan Microsoft Excel?

Bagaimana jadinya jika seluruh rapor siswa hilang atau rusak karena terbakar? Atau sekolah tiba-tiba dilanda banjir namun belum sempat menyelamatkan rapor siswanya? Apakah seluruh siswa harus mengulang seperti yang terjadi pada Aldy?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun