Mohon tunggu...
Ami Ibrahim
Ami Ibrahim Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jazz, Amran, dan Demonstrasi

18 Juni 2018   14:59 Diperbarui: 18 Juni 2018   17:44 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca 98-99

Catatan Kemahasiswaan Seorang Pembantu Rektor

Tidak banyak yang bisa diceritakan lagi karena buku ini sudah bercerita banyak tentang gejolak reformasi di Makassar kurang lebih dua puluh tahun lalu. Amran Razak, penulisnya, adalah tokoh sentral gerakan ketika itu, dengan posisi unik, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, Universitas Hasanuddin. Seorang yang dipandang sebagai legenda hidup dunia kemahasiswaan di Makassar. Seorang demonstran dan kini guru besar. 

Tidak banyak yang bisa diceritakan sebab cerita dalam buku yang diterbitkan Pustaka Pranala ini, merekam nyaris lengkap aksi-aksi mahasiswa menjelang dan paska lengsernya Soeharto, nyaris day-to-day. Judulnya pun unik: 98-99, Catatan Kemahasiswaan Seorang Pembantu Rektor. Metode penulisannya juga khas. Direntang seperti time-line dengan ujaran setara penulisan berita, dengan kutipan komentar dari para pelaku dan dimuat apa adanya. Sehingga buku ini dapat dianggap menggunakan sudut pandang aktor, dimana mereka saling melengkapi dan mengkonfirmasi, untuk konstruksi cerita. Proses penyuntingan, lebih untuk keperluan sistematika. Dan Amran adalah titik sentralnya. 

Kalau buku ini kita letakkan sebagai sebuah rekam jejak, maka hampir dapat dipastikan bahwa ini adalah rekam jejak seorang Amran Razak, tokoh dengan julukan "demonstran dari lorong kambing." Frasa terakhir ini adalah judul buku Amran sebelumnya dan 98-99 ini adalah sequelnya. Sebagai Pembantu Rektor, ketika aksi-aksi reformasi berlangsung, terpapar jelas cara Amran "mengurus" mahasiswanya.

Selain sebagai inspirator, pendorong dan pelindung, dia tampak tak pernah sanggup menanggalkan predikat demonstrannya. Pada berbagai momen, dia berada di tengah-tengah dan pada momen lain berada di depan. Menggagas kerangka aksi, menyemangati, menyediakan logistik, menertibkan barisan, bernegosiasi dengan aparat, melindungi dan pada kadar tertentu hanya menjadi pendengar di tengah kerumunan para aktivis mahasiswa binaannya. Buku ini mengukuhkan pandangan bahwa Amran Razak adalah seorang demonstran sejati hingga kini. 

Tetapi jangan salah. Amran tetap seorang akademisi dengan jabatan buru besar, meski pada era itu belum menyelesaikan pendidikan doktoralnya. Jejak yang ditorehkan, sebagai terpapar dalam buku ini adalah kegigihan memperjuangkan otonomi daerah dengan basis provinsi. Sebagaimana diungkap Andi Mallarangeng dalam pengantarnya, buah reformasi yang kita nikmati saat ini, salah satunya adalah otonomi daerah. "Dalam beberapa hal strategis-konseptual, mahasiswa Unhas mampu menunjukkan respon mereka lebih awal dalam konteks gerakan Reformasi Indonesia.

Salah satu bentuk kegigihan mereka adalah memperjuangkan Otonomi Daerah sebagai agenda reformasi nasional," tulis Andi. Perguatan konseptual strategis tentu lahir dari atmosfir kampus dan situasi kemahasiswaan yang sehat. Dan Amran Razaklah, tentu, yang menjadi sumbu terciptanya "syarat dan kondisi" itu sebab dia tengah berada pada posisi sentral, Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan. 

Pada saat yang sama, sebagai pendamping Rektor, Amran juga hadir dalam pusaran persiapan dan pembentukan Forum Rektor, sebuah forum yang kemudian menjadi elemen penting dalam reformasi. Dalam catatan Radi A. Gany disebut bahwa cikal bakal Forum Rektor adalah Majelis Rektor Perguruan Tinggi dan Radi adalah Ketua Majelis pertama. Sehingga bisa dipahami kalau kemudian terbentuknya Forum ini tak lepas dari peran penting Radi dan Amran Razak terlibat langsung di dalamnya terutama dalam isu dan sikap Forum Rektor mendorong lengsernya Soeharto.

Buku ini juga menyiratkan pesan penting bahwa Amran Razak adalah seorang yang ditakdirkan untuk selalu berada dalam pusaran perubahan. Seorang yang menyediakan diri bahkan menjadi tumbal pertama hiruk pikuk demonstrasi dan panasnya perdebatan konseptual-strategis yaitu kesepian. Seorang yang seusai huru hara, duduk sunyi di ruang tamu Direktur Pasca Sarjana, menunggu untuk mengurus studi doktoralnya.

"Seandainya gerakan reformasi gagal, Orde Baru makin berjaya, entah dimana diriku digantung atau ditembak," adalah ungkapan liris dari seorang romantis yang tahu pada posisi mana dia harus berada. "Aku pahami diriku/aku bukan politisi/aku hanya seorang demonstran," begitu ungkapannya pada bagian lain buku ini. Sebagai penghayat musik jazz, Amran tentu tahu, bahwa kehidupan, sebagaimana jazz memerlukan kerendahatian untuk berbagi ruang bahkan pada puncak coda, semacam tanda takzim atas nama harmoni, atas nama keindahan improvisasi dan kebersamaan permainan. 

Dengan buku ini, Amran Razak adalah seorang yang merunduk khusyuk memainkan instrumen apapun yang dipegangnya, patuh pada partitur dasar yang tercipta dari kebersamaan, untuk keindahan kehidupan. Buku ini adalah jazz. Buku ini adalah Amran Razak banget.

Makassar, 18 Juni 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun