Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidya_ Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Feminitas di Mata Semesta

13 Juli 2020   18:19 Diperbarui: 15 Juli 2020   05:50 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simbol kesetaraan gender | Photo by Dainis Graveris on Unsplash

Catcalling dan Kesadaran Feminitas 
Jangan kira feminisme hanya sekadar gerakan politik untuk memenuhi hak dasar perempuan. Feminisme tidak sesederhana itu. Feminisme sejatinya adalah tentang bagaimana cara kita memandang perempuan.

Jika seorang gadis melenggang di depanmu dan kamu bersiul seolah-olah fakir perhatian, cara pandangmu terhadap perempuan sudah minus. Jika seorang wanita berjalan seorang diri dan kamu menawarkan "mau ditemani", cara pandangmu terhadap perempuan sudah keliru.

Siulan atau teguran tidak senonoh itu lazim disebut catcalling. Pelakunya kadang dari kalangan yang sudah atau sering "makan bangku sekolah". Mereka kenyang ilmu, tetapi tidak tahu bagaimana memandang dan memperlakukan perempuan. Otak mereka pintar; hati mereka bodoh.

Cara pandang terhadap perempuan berada di dalam pikiran. Meminjam istilah Pram, adillah sejak dalam pikiran. Perempuan berhak memiliki otoritas atas tubuhnya. Merdeka memilih pakaian yang akan dikenakan, misalnya, termasuk dari otoritas atas tubuh.

Ketika Julia Kristeva meradang saat sekelompok perempuan muda Arab diusir dari sekolahnya gara-gara berjilbab, Kristeva sedang memperjuangkan otoritas perempuan. 

Selama perempuan berjilbab atau berhijab atas kemauan sendiri, itu hak pribadi. Begitu pula dengan hak perempuan untuk memilih gaun berdada rendah.

Ketika Kartini berjibaku memperjuangkan hak kaumnya lewat surat-suratnya kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminis dari Belanda, ia sebenarnya ingin menghapus penjajahan laki-laki atas perempuan. Kartini ingin melihat perempuan Indonesia, saat itu masih Hindia Belanda, hidup layak sebagai manusia.

Bukan Cinta yang Mengubahmu Menjadi Serigala
Di atas mobil, Mehrin membisu. Ia terkejut melihat perubahan sikap Denniz yang terjadi sangat tiba-tiba. Belum sekilo dari gedung tempat Denniz berpidato, lelaki berbadan tinggi kekar itu menepikan mobil dan menyuruh Mehrin gantian menyetir.

"Aku capek," desis Denniz ketika Mehrin hendak menyanggah. "Laki-laki dan perempuan itu setara. Kamu yang nyetir!"

"Tadi di depan orang-orang kamu begitu elegan menggandeng tanganku dan membukakan pintu mobil," kata Mehrin sambil tertawa lirih. "Saat enggak ada yang lihat, sifat aslimu nongol. Bukankah selama ini selalu aku yang nyetir dan jadi supir pribadi yang ngantar kamu ke mana-mana? Percuma kamu koar-koar tentang kesetaraan gender, Denniz!" Mehrin terkekeh-kekeh.

Tetapi Denniz tidak peduli. "Kamu harus nurut apa kata laki-laki, Mehrin!"

Mehrin mengangguk-angguk. "Sepertinya aku harus siap-siap mempelajari cara meninggalkan serigala berbulu domba!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun