Laju pertumbuhan dan perkembangan teknologi informasi, semisal media sosial, merupakan bumerang yang sewaktu-waktu dapat menyerang kita apabila jiwa kita rentan tergesek atau tergosok oleh perbedaan. Padahal, media sosial dapat kita pandang sebagai anugerah besar dalam menjalani kehidupan yang kekinian.
Media sosial menyiapkan ruang interaksi tanpa batas bagi kita untuk bercengkerama, berdiskusi, atau bertukar gagasan dengan siapa saja. Sayangnya ruang interaksi tanpa batas itu kerap kita selewengkan. Ada warganet yang dengan sadar atau tanpa sadar menjadi konsumen dan produsen ujaran kebencian, kemudian kerap menggunakan media sosial sebagai "ruang tikai" alih-alih "ruang rukun".
Dampaknya hebat karena satu letupan teks picisan di media sosial dapat dengan mudah meledakkan amarah warganet. Pengaruhnya pun dahsyat. Pertama, nilai toleransi terkikis. Erosi menerpa karang kebangsaan kita. Toleransi menjadi barang mewah yang harganya melangit. Keteladanan semakin langka akibat tidak sedikit tokoh menjadi "toko" yang memperdagangkan kebencian untuk meraup keuntungan pribadi.
Kedua, kita terbiasa mengedepankan tukar pukulan daripada tukar pikiran sehingga benih konflik tumbuh subur. Tradisi musyawarah dipenjara oleh budaya intoleran. Semakin tinggi intensitas tukar pukulan, semakin jauh budaya tukar pikiran dan semakin tumpul kemampuan kita dalam menerima perbedaan.
Ketiga, segelintir di antara kita menyikapi penegakan hukum sebagai tindakan persekusi jika penegakan hukum itu berhubungan dengan keimanan dan keyakinan. Dengan demikian, kita mendorong aparat hukum agar "berdiri di bawah pohon simalakama" apabila menindak tegas pelaku kekerasan atas nama suku atau agama.
Â
Kita layak menyimak seruan Willy Midel Yoseph untuk mengembalikan Pancasila pada khitahnya, sebab Pancasila mengandung filosofi luhur toleransi yang diperas dari pemikiran mendalam tentang nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Pada sisi lain, media sosial juga mesti kita kembalikan pada khitahnya. Kita gunakan media sosial sebagai modal sosial untuk mematangkan, mendewasakan, dan memperkaya pemikiran dan perilaku kita dalam menyikapi kebinekaan.
Memang pelik mencari jalan pintas dalam upaya merekat semangat kebangsaan, tetapi kita punya Pancasila. Media sosial dapat kita jadikan wadah memasyarakatkan nilai luhur Pancasila. Dengan begitu, media sosial akan menjadi modal sosial. Bukan modal sesal, apalagi modal sesat.
Amel Widya