Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidya_ Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sunda Empire di Antara Pertarungan Delusi dan Imajinasi

27 Januari 2020   19:28 Diperbarui: 28 Januari 2020   12:52 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu petinggi Sunda Empire Ki Ageng Rangga Sasana(KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA)

Liberosis. Kata ini benar-benar mewakili perasaan saya sejak gonjang-ganjing tentang Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire menjarah perhatian netizen. Apa hubungannya dengan liberosis? Jadi, begini. Liberosis adalah suasana hati ketika kamu tidak mau peduli terhadap sesuatu, padahal kamu peduli.

Apakah saya peduli pada Keraton Agung Sejagat? Tidak. Sekalipun Sinuhun Totok menguasai Jagat dan Akhirat, bodoh amat. Walaupun Keraton Agung Sejagat berganti nama menjadi Keraton Agung Seakhirat, bodoh amat.

Beda perkara dengan Sunda Empire. Sebagai perempuan Sunda, saya selalu tertawa setiap membaca atau menonton berita tentang Earth Empire yang berpusat di Bandung itu. Benar-benar tertawa sampai kadang mata sendu saya menitikkan air mata.

Marah karena semangat kesundaan saya terusik? Tidak, sih. Miris? Tidak juga. Saya malah tidak mau ambil peduli, padahal saya selalu peduli pada apa saja yang bersangkutan dengan Sunda. Sebut saja saya punya rasa cinta pada tanah air atau tanah kelahiran. Itulah liberosis.

Di sisi lain, saya merasa geli segeli-gelinya melihat tingkah Kaisar Rangga. Petinggi Sunda Empire ini membuat otak saya tergelitik. Balutan seragamnya yang digagah-gagahkan membuat saya tercengang-cengang. Komentar-komentarnya yang diinggris-inggriskan membuat saya terbahak-bahak.

Jadilah saya makin yakin terkena gejala liberosis, yakni tidak peduli padahal peduli. Berikut saya babarkan kenapa saya bisa terpapar liberosis. O ya, liberosis itu "intrik hati" belaka. Tidak ada bahayanya. Beda jauh dengan virus korona yang tengah mengguncang dunia kesehatan.

Pertama, Kaisar Rangga mengabaikan bahasa Sunda. Itu yang mengesalkan. Kenapa harus di-Inggris-Inggris-kan? Kalau memang Kaisar Rangga merasa Sunda selaku poros jagat, pakai saja bahasa Sunda. Kalau Kaisar Rangga emoh berbahasa Sunda, berarti tidak perlu sok-sokan memilih Bandung sebagai pusat dunia.

Kedua, sejarah Indonesia dan dunia pontang-panting. Naga-naganya saya harus memeriksa loker memori saya yang berisi pelajaran sejarah. Setelah beberapa kali saya cek, laci-laci ingatan saya tidak menyimpan sesobek atau secarik pun kabar tentang eksistensi Sunda Empire. Jangan-jangan saya keliru mengeja sejarah. Dan, gara-gara ini saya tertawa sampai menangis.

Ketiga, Kaisar Rangga Sasana pewaris Dinasti Pajajaran Siliwangi. Gara-gara menonton cuplikan obrolan tentang Sunda Empire di ILC, bahu saya terguncang-guncang karena tidak sanggup menahan rasa geli. Pentolan Sunda Empire ternyata sanggup membuat sejarawan Pak Anhar Gonggong, budayawan Babe Ridwan Saidi, dan seniman Om Sujiwo Tejo "terperangah".

Bagaimana denganmu? Silakan buka buku sejarah, siapa tahu ingatanmu kembali segar. Langsung saja masuk ke bagian kerajaan-kerajaan di tatar Sunda dan, saya jamin, kamu tidak akan menemukan apa pun terkait Sunda Empire.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun