Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidya_ Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ujian Nasional, Sensasi Kompetensi dan Kompetisi

15 Desember 2019   21:11 Diperbarui: 16 Desember 2019   13:40 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMPN 11 Kota Bekasi, Senin (22/4/2019).| Sumber: Kompas.con/Dean Pahrevi

Saya ingin membuka artikel ini dengan sebuah pertanyaan. Mengapa Ujian Nasional (UN) selalu memicu kehebohan? 

Pertanyaan tersebut tidak neko-neko. Itu pertanyaan ringan dan sederhana. Meski begitu, jawabannya sama sekali tidak enteng.

Kisruh soal ujian akhir sudah berlangsung selama 17 tahun, semenjak Ujian Akhir Nasional (UAN) diberlakukan pada 2002. Kala itu, Mendikbud dijabat oleh Abdul Malik Fajar. 

Kisruh menjadi-jadi setelah pada 2005 Ujian Nasional menggantikan UAN dan ditetapkan sebagai syarat kelulusan peserta didik. Saat itu, Mendikbud dijabat oleh Muhammad Nuh.

Puncaknya terjadi tahun ini saat Pak Nadiem menyatakan akan mengganti UN dengan kebijakan baru. Pernyataan tersebut beliau sampaikan ketika menghadiri Rapat Dengar Pendidikan (RDP) dengan Komisi X DPR RI (Kamis, 12/12/2019).

Menurut beliau, UN akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, mulai 2021, yang terdiri dari kemampuan bernalar dengan menggunakan bahasa (literasi) dan matematika (numerasi), serta penguatan pendidikan karakter.

Riak bermunculan. Ada pihak yang pro, ada pula yang kontra. Dari tahun ke tahun, UN memang selalu menjadi biang perdebatan tanpa ujung pangkal.

Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyatakan bahwa menghapus UN tiada berbeda dengan menciptakan generasi lembek. 

Beliau juga menegaskan bahwa semangat belajar siswa akan melempem jika UN dihapus. Intinya, beliau tidak setuju apabila standar kelulusan bernama UN itu "dialmarhumkan".

Dalam nada sedikit lebih lunak, Buya Syafii Maarif mengingatkan agar Mendikbud tidak grasa-grusu. Esensinya, beliau berharap agar Pak Menteri lebih berhati-hati. 

Pendidikan, di mata mantan Ketua Umum Muhammadiyah tersebut, urusan pelik  yang tidak dapat disamakan dengan mengurus Go-jek.

Kedua tokoh nasional tersebut jelas tidak salah. Bagaimanapun, harus ada standar yang berlaku secara nasional untuk mengukur mutu pendidikan. Dengan kata lain, Pak Menteri boleh menghapus UN asalkan beliau mampu menghadirkan kebijakan pengganti yang lebih berbobot.

Apakah mutu pendidikan ambrol kalau UN dihapus? 

Belum tentu. Supaya kita tidak terkungkung dalam tempurung buruk sangka, mari kita sisir. Ternyata ada negara yang tidak menggunakan UN, tetapi mutu pendidikan mereka tetap terjaga.

Finlandia. Negara di Eropa Utara ini kerap diakui sebagai negara dengan mutu pendidikan terbaik di dunia. Sistem pendidikannya diadopsi banyak negara. 

Di sana, siswa lebih banyak belajar sambil bermain dibanding belajar klasikal di kelas. Pekerjaan rumah juga sedikit, karena siswa sibuk dengan tugas mengembangkan kecakapan diri dan kemampuan bernalar.

Jerman. Negara yang sering didaulat sebagai negara dengan ekonomi terkuat di Eropa itu juga tidak menggunakan UN sebagai syarat kelulusan siswa. Pemerintah Jerman lebih memilih menyediakan fasilitas belajar bagi siswa daripada menghabiskan banyak anggaran untuk membiayai UN.

Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Di tiga negara tersebut, siswa tidak perlu frustrasi karena takut gagal UN, sebab tidak ada Ujian Nasional. Ujian periodik diberlakukan untuk hal-hal tertentu, seperti ujian masuk perguruan tinggi.

Semoga lima negara pembanding itu bisa menguak cakrawala berpikir kita. Setidaknya, menjauh dari paradigma saklek bahwa UN adalah satu-satunya cara untuk mengukur mutu pendidikan.

Lantas, mengapa UN selalu memicu kontroversi? Ini pertanyaan menarik.

Kita mundur sejenak ketika UN mulai diberlakukan, yakni pada 2005. Dua tahun sebelumnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diterapkan.

Mestinya UU Sisdiknas ini jadi payung hukum sistem pendidikan kita. Jika UU tersebut diterapkan secara sungguh-sungguh, UN tidak boleh diberlakukan. Kenapa? Mari kita sibak alasannya.

Pertama, UU Sisdiknas menegaskan bahwa kompetensi kelulusan meliputi aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). 

Faktanya, UN hanya mengukur aspek kognitif sebagai syarat kelulusan. Itu pun masih belong-betong atau sarat kekurangan di sana-sini.

Sekadar contoh, UN menggunakan pilihan ganda (multiple choice) sebagai model tes. Pilihan ganda punya banyak kekurangan untuk digunakan dalam mengukur kemampuan murid. Bagaimana mungkin kita sandarkan mutu pendidikan pada "tembok evaluasi" serapuh itu?

Jawaban pilihan ganda bisa karena memang siswa mampu menjawabnya, bisa karena tebak pilih, bahkan bisa karena untung-untungan. Siswa yang tidak belajar sekalipun bisa menjawab pilihan ganda apabila penulis soal kurang cermat.

Kedua, Pasal 29 ayat 2 UU Sisdiknas menjabarkan bahwa "pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran...". 

Faktanya, UN merampas hak guru dalam menilai hasil pembelajaran. Tanpa sadar, pemerintah "memperdayakan" alih-alih "memberdayakan" guru.

Ketiga, Pasal 57 ayat 2 menguraikan bahwa "mutu pendidikan dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan". Faktanya, UN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik sementara hasilnya menjadi acuan mutu pendidikan.

Tiga butir alasan tersebut merupakan bukti betapa UN berbenturan dengan UU Sisdiknas. 

Mengapa UN dipertahankan? Inilah yang menggelisahkan batin para pengamat pendidikan. Sekarang kita tilik ulang kembali tujuan penyelenggaraan UN.

Syarat kelulusan siswa. Itulah tujuan utama penyelenggaraan UN. Dalam Pasal 72 ayat 1 butir d Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa "peserta didik dinyatakan lulus pada pendidikan dasar dan menengah setelah lulus ujian nasional".

Tanpa sadar, UN menempatkan siswa dalam posisi serbasalah. Tidak belajar alamat terancam tidak lulus UN. Terlalu fokus pada mata pelajaran (mapel) dalam UN alamat abai pada mapel lain. Seperti disodori buah simalakama, tidak tersedia pilihan yang enak.

Padahal kalau kita mau berlapang dada, UN sedikit pun tidak menjamin siswa pasti mampu menempatkan nilai-nilai pengetahuan dalam memecahkan problem hidup sehari-hari. 

UN juga tidak memastikan siswa pasti sanggup menghadapi situasi di dunia kerja selepas sekolah, sekalipun nilai UN selangit.

Nahasnya, siswa digiring untuk berpikir pendek dan apatis. Masa bodoh dengan kejujuran, yang penting lulus UN. 

Siswa terpaksa ikut bimbel, les privat, uji coba (try-out), hingga seluruh waktu siswa tersita hanya untuk UN. Ujung-ujungnya frustrasi. Siswa yang cerdas saja stres, apalagi siswa yang setengah cerdas dan sedikit cerdas.

Lembaga sekolah ikut-ikutan bermasa bodoh. Alasannya sederhana, siswa gagal lulus UN berarti sekolah ikut gagal. Akhirnya sekolah mengambil jalan pintas. Alih-alih menjalankan kewajiban mengembangkan potensi siswa, sekolah malah sibuk memperjuangkan agar 100% siswanya lulus UN.

Dalam karya ilmiahnya yang mengulas sisik-melik UN (2007:129), Keksi Girindra Swasti menyatakan, "Ada banyak masalah yang muncul dengan diterapkannya kebijakan tersebut (UN). Soal ujian yang bocor sebelum ujian dilaksanakan, kunci jawaban yang tersebar, hingga guru yang nekat membetulkan jawaban siswanya."

Kajian Keksi bukanlah pepesan kosong. Tidak dapat dimungkiri, UN telah memantik kecemasan siswa, sekolah, dan pemerintah daerah. 

Dampaknya luar biasa bagi siswa, sebab beban yang dipikul makin berat. Tidak heran jika ada siswa yang frustrasi, ketakutan berlebihan, bahkan ada yang sampai bunuh diri.

Sungguh berat beban yang ditanggung oleh siswa, karena di pundaknya terletak nama baik sekolah dan daerah. Demi nama baik itulah bermunculan praktik kecurangan. 

Sia-sialah slogan "dilarang menyontek" yang setiap hari didengung-dengungkan di ruang belajar. Semua percuma karena guru dan sekolah ikut ambil bagian dalam praktik kecurangan itu.

Bocoran soal UN tiba di tangan siswa lengkap dengan lembar jawabannya. Guru-guru kongkalikong dengan pengawas ujian, lalu mengoreksi dan membetulkan jawaban siswanya yang keliru. 

Uang ikut bermain di ranah ini. Suap-menyuap pindah posisi dari ruang makan di rumah ke ruang ujian di sekolah. Ini bukan dongeng asal ngibul, ini rahasia umum yang seakan-akan dibiarkan terjadi.

Mengevaluasi mutu pendidikan. Itulah tujuan lain dari UN. Nuruddin dkk. dalam bukunya, Ujian Nasional di Madrasah: Persepsi dan Apresiasi Masyarakat (2007:7), menandaskan bahwa "UN dilaksanakan dengan maksud menyediakan informasi yang akurat kepada pengambil kebijakan dan konsumen potensial agar mereka dapat mengambil keputusan yang tepat".

Nah, ini yang menggelitik. Apakah pengambil kebijakan menutup mata terhadap praktik kecurangan dan dampak trauma psikologis akibat UN?

Kecurangan, manipulasi, dan ketidakjujuran terjadi di mana-mana selama bertahun-tahun. Di kota, di desa, di sekolah favorit, termasuk di sekolah berbasis agama.

Mungkin kita sudi merenungkan pertanyaan ini, "Mengapa tidak kita kembalikan tujuan pendidikan sesuai amanat UU Sisdiknas?"

Dalam UU Sisdiknas ditegaskan bahwa "pendidikan adalah usaha sadar dan sengaja untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya".

Sejatinya, mengganti UN adalah usaha sadar dan sengaja yang tengah dirancang oleh Pak Menteri dalam upaya pengembangan potensi siswa. 

Kritik Pak Jusuf Kalla dan nasihat Buya Syafii tentu patut dijadikan "lampu kuning" agar Pak Menteri lebih berhati-hati. Lagi pula, masih ada waktu hingga 2021 untuk mempersiapkan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter agar lebih bergigi.

Sepanjang riwayat ujian akhir di Indonesia, UN memakan waktu terlama sampai-sampai dipercantik dengan nama Ujian Nasional Berbasis Komputer pada era Pak Anies Baswedan. Hasilnya sama saja. 

UN tidak lebih dari sensasi kompetisi daripada ujian kompetensi. Sekolah cenderung banyak-banyakan siswa lulus UN ketimbang memperhebat kompetensi siswa.

Maka dari itu, layak ditunggu kiprah Pak Nadiem dengan gagasan barunya.

Amel Widya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun