Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidya_ Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menunggu Roket Buatan Indonesia Benar-benar Meroket

15 November 2019   17:43 Diperbarui: 15 November 2019   17:40 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

24 Agustus 1963. Kawasan Pantai Selatan Yogyakarta, tepatnya di Pakanewon Sanden, Bantul, diserbu manusia. Bukan untuk mandi-mandi atau menunggu penampakan Nyi Roro Kidul, melainkan untuk menyaksikan putra-putri bangsa meluncurkan roket ke angkasa. Tiga. Dua. Satu. Begitu hitung mundur selesai, roket Gama-1 meluncur mulus ke langit.

Sebagaimana dilansir oleh Historia.id., kerumunan seketika riuh. Roket rakitan mahasiswa UGM Yogyakarta yang tergabung dalam Perkumpulan Roket Mahasiswa Indonesia (PRMI) itu mengundang decak kagum. Tak urung, Presiden Soekarno pun memberikan ucapan selamat. Sebuah prestasi yang mengharukan dan mengharumkan nama Indonesia di kancah aeronautika dan astronautika internasional.

Dua tahun sebelumnya,  25 Mei 1961, Presiden AS John F. Kennedy berpidato di depan Kongres AS. Beliau menyulut nasionalisme dan patriotisme ilmuwan di Negeri Paman Sam. Betapa tidak, Rusia (saat itu masih Uni Soviet) sudah meninggalkan Amerika Serikat. Bersama roket Votsok 1, pada 12 April 1961, Yuri Alekseyevich Gagarin sudah "berjalan-jalan" selama 108 menit di luar angkasa.

Tidak mudah bagi ilmuwan Amerika Serikat untuk menjawab tantangan presidennya. Delapan tahun berlalu barulah tantangan itu terpenuhi. 21 Juli 1969. Neil Armstrong dkk berhasil menginjakkan kaki di bulan. Sebuah langkah kecil bagi [seorang] manusia, sebuah lompatan besar bagi umat manusia. Demikian proklamasi Armstrong ketika menapakkan kaki di bulan.

Akan tetapi, riwayat roket sesungguhnya tidak bermula dari Uni Soviet maupun Amerika Serikat. Pada mulanya, roket bermula dari teknologi mercon yang berkembang di Cina. Pada 1232, tentara Cina mengembangkan mercon sebagai peluncur panah api untuk mengusir tentara Mongolia.

Seabad kemudian, tahun 1379, Ludovico Antonio Muratori memunculkan istilah Rocchetta yang berarti sekering kecil. Kata dari bahasa Italia yang ditenarkan oleh ilmuwan Italia itu kemudian dipungut menjadi roket dalam bahasa Indonesia. Butuh 584 tahun setelah penamaan roket barulah Indonesia berhasil meluncurkan roket Gama-1.

Akan tetapi, terlambat memang lebih baik daripada tidak sama sekali. Dua tahun setelah koar-koar Presiden Kennedy di depan anggota Kongres AS, Presiden Soekarno telah memberikan selamat atas peluncuran Gama-1. Bahkan pada masa itu, baru ada dua negara di Asia yang sukses meluncurkan roket. Kedua negara itu adalah Jepang dan Indonesia. Cina belum "berbicara banyak", India juga begitu.

Bagaimana kondisi peroketan hari ini? Jepang dan Indonesia justru tercecer jauh dibanding Cina dan India. Tatkala kita terlena oleh buaian sejarah kegemilangan pada masa lalu, India malah serius menggumuli dunia astronautika. Hasilnya luar biasa. Pada 24 September 2014, India berhasil menempatkan satelitnya di orbit di sekitar Planet Mars. Tahun ini, jika berjalan lancar, India akan mendaratkan pesawatnya di bulan.

Indonesia sebenarnya tidak tertinggal jauh. Setidaknya ada fakta yang dapat kita jadikan pelipur lara. Pada 2015 dan 2016, Indonesia berhasil meluncurkan dua satelit  andalannya di angkasa luar. Kedua satelit itu adalah LAPAN A2/Orari dan A3/IPB. Hanya saja, kedua satelit itu tidak diluncurkan dengan menggunakan roket dari anak-cucu Gama-1, melainkan dari roket yang kita sewa dari India.

Mengapa roket buatan India bisa sedemikian meroket? Tampak jelas besarnya dukungan Pemerintah dan rakyat India. Tidak heran jika India kemudian berhasil memecahkan rekor peluncuran satelit ke angkasa luar. Semula rekor itu dipegang oleh Rusia yang pada 2014 meluncurkan 34 satelit dalam satu misi, tetapi India melewatinya dengan meluncurkan 104 satelit dalam satu misi.

Pada 15 Februari 2017, dikabarkan di Tirto.id., roket PSLV-C37 milik India berhasil mengangkut 104 satelit berbobot satu ton lebih. Lebih dahsyat lagi, roket rakitan ISRO (LAPAN versi India) itu "menggendong" satelit dari Amerika Serikat, Belanda, Swis, Saudi Arabia, Kazakhstan, dan Israel.

Kita kembali ke tanah air. Dukungan Pemerintah Indonesia terhadap riset roket juga tidak kurang. Proyek PRIMA (Pengembangan Roket Ilmiah Militer Awal) misalnya, digenjot oleh AURI, Pindad, dan ITB setelah mendapat mandat dari Presiden Soekarno. Hasilnya mengagumkan. Setelah tujuh bulan bekerja dengan menggunakan alat dan bahan dari dalam negeri, awak PRIMA berhasil merakit roket berdiameter 250 mm dan berbobot 220 kg. Kartika-1, nama pemberian Presiden Soekarno, diluncurkan pada 14 Agustus 1964 di Pantai Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat.

Gama-1 dan Kartika-1 sudah 50-an tahun berlalu. Apakah ada keturunannya yang cukup mengharukan dan mengharumkan nama bangsa? Tentu saja kita harus berterima kasih atas kiprah LAPAN yang terus memacu diri, tetapi patut pula kita merenung dan mengambil iktibar sebanyak-banyaknya. Sudah waktunya kita berdiri tegak dan bangga atas karya anak bangsa. Sudah waktunya satelit produksi anak bangsa diluncurkan oleh roket yang merupakan karya anak bangsa pula.

Pada era Orde Baru, aeronautika dan astronautika memang bukan primadona riset. Industri dirgantara saja baru dilirik setelah Pak Habibie kembali dari perantauan. Itu pun setelah melewati perdebatan wacana, pertarungan gagasan, dan petaruhan politik yang luar biasa. Setelah krisis keuangan melanda Nusantara, industri dirgantara macet. Riset roket tetap dipandang sebelah mata.

Setidaknya ada kabar menggembirakan. Jika program LAPAN berjalan mulus dan lancar, tahun depan (2020) kita akan memiliki bandar antariksa yang keren. Bandar antariksa itu dibangun di Pulau Biak, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Moga-moga pula, seperti harapan Kepala LAPAN, bandar antariksa di Biak sudah dapat digunakan sebagai tempat uji coba roket bertingkat.

Pada 7 Oktober 1974, R.J. Salatun bertandang ke Amerika Serikat untuk menemui Werner von Braun. Sang maestro roket itu tercengang saat menerima kenang-kenangan berupa wayang kulit Adipati Karna. Katanya, dikutip dari Majalah Angkasa No. 3 Desember 2003, "Membuat wayang kulit jauh lebih rumit daripada membuat satelit. Kuncinya, jangan melakukan riset dari awal."

Hanya saja, kenyataan tidak sesederhana itu. Wakil rakyat, terutama yang duduk di Komisi VII DPR RI selaku mitra kerja LAPAN, perlu "ikut turun tangan" dalam memperhatikan "nasib" riset roket di Indonesia. Pengembangan teknologi aeronautika dan astronautika bukan semata-mata tanggung jawab Pemerintah. Paling tidak, wakil rakyat tahu bahwa tiap tahun selalu ada lomba riset roket bagi anak-anak muda.

Sekalipun menunggu selalu membosankan, kita tentu tetap setia menunggu roket rakitan anak-anak bangsa benar-benar meroket di angkasa!

Amel Widya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun